Aspirasi Publik Menyongsong Indonesia 2045: Gotongroyong Keluar Dari Perangkap Keterbelakangan Untuk Mewujudkan Kehidupan Bersama Yang Setara, Mandiri, Rasional, Cerdas, Adil Dan Makmur.

0
524

Aspirasi Publik Menyongsong Indonesia 2045: Gotongroyong Keluar Dari Perangkap Keterbelakangan Untuk Mewujudkan Kehidupan Bersama Yang Setara, Mandiri, Rasional, Cerdas, Adil Dan Makmur.

 

Oleh: Merphin Panjaitan.

 

Pendahuluan.

Rakyat mendirikan negara untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, aman, damai, maju, adil dan sejahtera. Hampir semua manusia menjadi warga dari suatu negara, dan hampir semua daratan di muka bumi telah dijadikan wilayah dari negara-negara. Kepada negara dipercayakan kekuasaan yang sangat besar, lebih besar dari kekuasaan yang diberikan kepada persekutuan manusia yang lainnya. Banyak nyawa yang dikorbankan oleh pemiliknya untuk mendirikan negara, dan untuk mempertahankan keberadaannya. MUKI adalah alat milik bersama rakyat seluruhnya, dengan fungsi membantu masyarakat mendapatkan kehidupan yang lebih baik, aman, tertib, damai, adil, sejahtera dan bermartabat. Tetapi apabila negara berjalan lepas dari kendali rakyat, negara dapat menjadi monster yang justru akan menindas dan membunuh rakyat. Pada tgl. 1 Juni 1945, Soekarno mendapat giliran berbicara di dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia; sebelum menyampaikan gagasan tentang dasar negara, Soekarno terlebih dahulu menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia, dan menyatakan Indonesia harus segera merdeka, karena negara merdeka adalah tempat suatu bangsa menjalani hidup yang lebih baik, lebih sehat dan lebih kuat. Republik Indonesia didirikan untuk kepentingan rakyat Indonesia; penyelenggaraan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan seluruh rakyat.

Pengalaman bangsa Indonesia dalam mendirikan dan mempertahankan negaranya, yang meminta banyak korban, juga dialami oleh bangsa-bangsa lain. Di Eropa dan di wilayah lainnya, rakyat berjuang menuntut perubahan, dari negara yang tadinya monarki absolut, menjadi negara demokrasi, agar negara dapat membantu masyarakat mendapatkan kehidupan yang lebih baik, lebih manusiawi dan lebih bermartabat. Demikian pula, di bekas Uni Soviet dan negara-negara komunis di Eropa Timur, mereka mengubah negaranya menjadi negara demokrasi. Belum ada dalam sejarah, rakyat membubarkan negaranya, dan kemudian hidup tanpa negara. Kenyataan ini dengan jelas memperlihatkan, bahwa negara adalah alat milik manusia yang sangat penting, dan oleh karena itu dipelihara, diperbaiki, dan disesuaikan dengan dengan kebutuhan rakyat.

Tetapi yang terjadi tidak selalu sama dengan yang diharapkan. Di era orde baru, pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter dan sentralistik memacu pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi besar-besaran kekayaan alam dan upah buruh yang rendah. Disertai dengan politik yang tidak demokratis,yang terlihat dari tidak adanya kebebasan pers, kehidupan kepartaian yang tidak bebas, pemilihan umum yang tidak demokratis, dan banyak anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diangkat tanpa melalui pemilihan umum. Pemilihan Umum di era orde baru berlangsung selama enam kali, dalam periode tahun 1971 sampai dengan 1997; dan Pemilihan Umum ini dirancang untuk pelestarian kekuasaan, membuat tujuan pendidikan politik bagi masyarakat terabaikan, bahkan Pemilihan Umum dianggap proses pembodohan terhadap masyarakat, terutama lapisan bawah dan tidak terdidik. Pemilihan Umum di era orde baru lebih berfungsi sebagai alat legitimasi utama bagi pemerintah, ketimbang sebagai alat kontrol rakyat terhadap penguasa. Militer selain menjalankan fungsi pertahanan juga melakukan fungsi politik. Pemerintahan tidak transparan, pengadilan tidak independen, dan legislatif yang lemah membuat masyarakat tidak berdaya. Kebebasan politik dihambat, hak politik rakyat dibelenggu, warganegara tidak bebas membuat partai politik, dan partai politik peserta pemilihan umum hanya tiga, tidak boleh ditambah. Presiden dipilih MPR dengan calon tunggal, yaitu Presiden Soeharto sendiri. Kebebasan pers tidak ada, dan media massa dapat ditutup begitu saja oleh Pemerintah. Kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan tidak bebas, dan masyarakat takut menggunakan hak politiknya. Banyak aktivis politik diculik dan bahkan ada yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Bahkan cengkeraman penguasa menjalar sampai ke dunia bisnis, untuk menimbun kekayaan para penguasa dan keluarganya. Ketidakadilan terjadi hampir disemua aspek kehidupan, menyisakan kemiskinan yang luas, pengangguran yang terlalu banyak, dan keterbelakangan pendidikan.

Semua ini terjadi setelah berjuta-juta barel minyak bumi dihisap dari perut bumi, bahan tambang digali, hutan digunduli, lingkungan hidup dirusak, dan kebebasan warganegara dirampas habis, dan warganegara yang berbeda pendapat dengan penguasa dianggap musuh dan oleh karena itu ditindas. Hasilnya, Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun dengan keluarga yang sangat kaya, didampingi segelintir konglomerat yang kaya raya, dan sejumlah pejabat negara kaya, jauh melebihi gaji yang diterimanya. Orde baru juga menciptakan kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur politik, ekonomi dan sosial dibentuk sedemikian rupa, yang memperkecil akses kaum miskin untuk mendapatkan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan, dan lain-lain, yang seharusnya adalah hak mereka. Pada bulan Maret 1998 Soeharto ditetapkan kembali menjadi Presiden, dan demonstrasi masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa semakin luas dan kuat, dengan tuntutan Presiden Soeharto segera turun. Menghadapi demonstrasi yang semakin besar ini pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto turun panggung dan digantikan oleh B.J. Habibie. Pembangunan ekonomi selama puluhan tahun, yang tampaknya begitu mempesona dan memberi harapan, ternyata rapuh. Kita bisa sampai pada kesimpulan: pembangunan ekonomi yang tidak adil, dalam kehidupan politik yang tidak demokratis, disertai dengan banyak pelanggaran hak asasi manusia, akhirnya terbukti sia-sia. Satu-satunya hasil sampingan yang pantas kita sebut keuntungan adalah turunnya Presiden Soeharto, dan dengan demikian reformasi dapat dilaksanakan, dan sekarang Indonesia telah melewati masa transisi demokrasi dan meningkat ke konsolidasi demokrasi.

Presiden Habibie memulai reformasi dengan memperbarui struktur dan prosedur politik untuk mewujudkan tatanan kenegaraan yang demokratis, adil dan manusiawi. Pada tanggal 26 Oktober 1998 Presiden Habibie mensahkan Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang politik diubah dan Pemilihan Umum dipercepat menjadi tahun 1999. Percepatan Pemilu ini memperlihatkan bahwa rakyat tidak mempercayai lembaga-lembaga negara hasil Pemilihan Umum tahun 1997. Undang-undang politik yang diubah adalah UU Kepartaian, UU Pemilihan Umum, UU Susduk dan UU Pemerintahan Daerah. Pada tanggal 4 Mei 1999 Presiden B.J. Habibie mensahkan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi pemberian otonomi daerah kepada pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Selanjutnya pada tanggal 19 Mei 1999 Presiden B.J. Habibie mensahkan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Pada tanggal 23 September 1999 Presiden Habibie mensahkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami 4 kali perubahan.

Indonesia mencapai banyak kemajuan di bidang politik; tetapi masih terbelakang di berbagai bidang kehidupan lain; Indonesia terperangkap dalam keterbelakangan; antara lain keterbelakangan pola pikir dan perilaku masyarakat, yakni masyarakat emosional berorientasi status; dan keterbelakangan dalam bidang ilmu dan teknologi; keterbelakangan dalam pembuatan peralatan material; masyarakat Indonesia terlalu cepat menjadi konsumen, tetapi terlalu lambat menjadi produsen; dan angka pertumbuhan penduduk terlalu tinggi, yaitu 1,5 % per tahun. Sekarang ini, masyarakat kita lebih mengedepankan status ketimbang prestasi; pangkat dan jabatan; gelar akademik dan gelar lainnya; dan harta kekayaan. Gelar pendidikan dipajang berderet-deret, tetapi tidak disertai dengan prestasi kerja. Jabatan politik diburu, kalau perlu dengan menuang banyak uang; dan kalau sudah didapat tidak digunakan untuk melayani rakyat, tetapi digunakan untuk menumpuk kekayaan yang kemudian digunakan untuk mendapat jabatan yang lebih tinggi; karena jabatan itu bukan untuk melayani publik, tetapi untuk meningkatkan statusnya. Status sosial adalah segala-galanya; prestasi kerja tak punya makna; pola pikir dan perilaku seperti ini sayangnya mendapat pembenaran di tengah masyarakat.

Baca juga  Seluruh Korban Kecelakaan di Km 58 Teridentifikasi, Jasa Raharja Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Emosi dipupuk dan rasio dikubur; dan dalam interaksi dengan warga masyarakat yang berbeda, terutama yang berbeda agama, kebencian dan permusuhan dikobarkan; dan bersamaan dengan itu persaudaraan kebangsaaan Indonesia dilupakan. Masyarakat lebih mengedepankan emosi ketimbang rasio; dan dalam interaksi dengan warga masyarakat yang berbeda, terutama yang berbeda agama, kebencian dan permusuhan dikobarkan; dan bersamaan dengan itu persaudaraan kebangsaaan Indonesia dilupakan. Kita sering konflik dengan sesama warga bangsa, dan tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk memperkuat daya saing nasional; dan sering lupa dengan kehormatan bangsa. Masyarakat Indonesia harus berubah dari masyarakat emosional berorientasi status menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi, agar cita-cita nasional menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat terwujud. Perlu segera ditanggulangi, antara lain: kerusakan bumi; angka pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi; dan maraknya kebencian dan permusuhan di antara berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Pola pikir dan perilaku ini membuat kita sulit maju dan sering kalah dalam persaingan global.

Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat; tetapi Indonesia belum bisa keluar dari perangkap keterbelakangan, yang telah membuatnya terpuruk dan menderita; sangat tergantung kepada pihak lain; kalah bersaing di pasar global; kurang percaya diri; dan kurang setia menjaga kehormatan bangsa. Indonesia harus segera keluar dari perangkap keterbelakangan ini, dengan melanjutkan Revolusi Indonesia, yaitu dengan Revolusi Ilmiah, Revolusi Industri, dan Revolusi Kesadaran Kedua. Kita harus kerja keras untuk keluar dari perangkap keterbelakangan ini; kerja keras memelihara bumi; menurunkan angka pertumbuhan penduduk; dan memperkuat perempuan; menghentikan kebencian dan permusuhan di antara berbagai kelompok masyarakat, dan menggantikannya dengan toleransi, dialog yang setara, dan hidup rukun. Indonesia harus mandiri dan memperkuat daya saing nasional di pasar global; mampu mengatasi permasalahan bangsa yang menghadang, antara lain pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi; harus berubah dari masyarakat emosional berorientasi status menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi. Kita harus bergotongroyong untuk kemajuan bersama seluruh rakyat Indonesia; mengembangkan segala potensi yang ada, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjadi kekuatan Indonesia.

II. Mendirikan Negara-Bangsa Yang Demokratis.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat gotongroyong. Gotongroyong adalah kerjasama sukarela dalam persaudaraan, setara, dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. Gotongroyong telah berlangsung di Indonesia sejak puluhan ribu tahun lalu, dimulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, sejak sekelompok manusia mulai berburu hewan besar. Mereka bekerjasama, mulai dengan mengatur siasat, mempersiapkan alat, kemudian bersama-sama memburu hewan, menangkap dan melumpuhkan, membawa pulang ke pangkalan dan membagi hasil buruan kepada semua warga kelompok. Perburuan hewan besar hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa, perempuan dan anak-anak serta orang tua tinggal di pangkalan dengan tugas mengumpulkan bahan makanan dari sekitarnya seperti hewan kecil, buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian dan daun-daunan.

Masyarakat gotongroyong, lahir dan hidup bersama dalam semangat persaudaraan. Nilai persaudaraan diwujudkan dalam pola pikir dan perilaku: “semua bertanggung jawab untuk semua”. Semua warga dapat berbagi rasa dan berbagi beban, berbagi suka dan duka. Individu yang satu dengan yang lain bisa saja memiliki pemikiran dan kepentingan yang berbeda, tetapi dalam kehidupan kemasyarakatan, mereka bersedia hidup bersama dalam persaudaraan; penderitaan seseorang dapat dirasakan yang lain, dan kemudian bersama-sama mengatasinya. Nilai persaudaraan adalah perkembangan dari persaudaraan yang tumbuh dalam keluarga, kemudian masuk ke masyarakat, dan selanjutnya berkembang menjadi persaudaraan kebangsaan Indonesia. Gotongroyong diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan bertahan sampai sekarang. Dibagian akhir pidato 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI, Soekarno menyatakan bahwa Negara Indonesia haruslah Negara gotongroyong. Gotongroyong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Soekarno mengusulkan gotongroyong dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang akan membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kerjasama sukarela, bantu membantu dan tolong menolong, keringat semua buat kebahagiaan semua, semua bekerja dan semua berbahagia. Gotongroyong mewujud dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya yang disampaikan di depan Sidang MPR RI setelah usai mengucapkan sumpah jabatan, 20 Oktober 2014, menyatakan, bahwa tugas sejarah yang berat ini bisa dipikul bersama dengan persatuan, gotongroyong dan kerja keras. Persatuan dan gotongroyong adalah syarat untuk menjadi bangsa besar. Indonesia tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelakangan dan keterpecahan, dan tidak akan pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.

Sriwijaya dan Majapahit.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat gotongroyong; masyarakat egaliter dengan kepemimpinan primus inter pares; dengan organisasi sosial berdasarkan kerjasama kekeluargaan. Kehidupan bersama diatur dalam musyawarah, dengan pemimpin yang dipilih berdasarkan keunggulan tertentu. Dalam perjalanan sejarah, masyarakat gotongroyong di Nusantara berjumpa dengan berbagai peradaban lain. Raja dan penguasa lain di Nusantara sebelum kedatangan Peradaban India kekuasaannya kecil dengan wilayah tidak luas. Diperkirakan negara-negara ini pengembangan awal dari pemerintahan desa, yang pemimpinnya di pilih dari dan oleh penduduk setempat.

Peradaban India yang datang dari India Selatan menambah kemampuan memerintah para raja dan bawahannya; dan ditambah dengan kepercayaan tentang kedudukan raja sebagai keturunan dewa, membuat negara menjadi lebih besar, lebih kuat, dengan wilayah yang lebih luas. Dilihat dari besarnya kekuasaan pemimpin dan luasnya wilayah negara, kehadiran Peradaban India membawa kemajuan besar. Raja-raja Nusantara mengadopsi berbagai unsur Peradaban India, terutama tentang upacara keagamaan dan organisasi negara, tetapi hanya dilapisan atas masyarakat dan disekitar istana. Pada masa itu, Peradaban India mempunyai pengaruh besar di Asia Tenggara, antara lain tentang struktur negara yang sangat hirarkis; dan Raja dianggap keturunan dewa, yang bersifat keramat, merupakan puncak segala hal dalam negara, dan merupakan pusat alam semesta. Perjumpaan dengan Peradaban India diawali dengan perdagangan antara Nusantara dengan India. Pedagang dari India datang ke Nusantara; demikian sebaliknya pedagang dari Nusantara pergi ke India, dan melihat sendiri kemajuan di sana. Raja-raja Nusantara tertarik dengan kemajuan India, dan dalam upaya memajukan negerinya mengundang golongan Brahmana. Para pelayar Nusantara sejak zaman prasejarah telah sanggup mengarungi lautan lepas, dan diduga banyak orang Indonesia dengan menggunakan kapal layarnya sendiri datang berdagang ke India. Sejak zaman prasejarah, Asia Tenggara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan, dan kegiatan perdagangan menjadi pemersatu wilayah ini. Diduga perdagangan dengan India bertumpu pada pola-pola perdagangan regional, antara Asia Tenggara dengan India; dan inisiatif perdagangan datang dari kedua pihak, India dan Asia Tenggara. Besar kemungkinan banyak orang Indonesia yang pergi belajar ke India, mempelajari berbagai kemajuan yang ada, seperti tentang agama, tata negara, tulisan, kesenian dan arsitektur. Suatu kemajuan penting hasil dari kontak Nusantara dengan India adalah penggunaan tulisan India di Nusantara; peninggalan purbakala, seperti bangunan candi, patung, prasasti, dan ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Nusantara yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.

Baca juga  Indonesian American Lawyers Association (IALA) Sampaikan AMICUS CURIAE Kepada Mahkamah Konstitusi RI  

Pada masa kontak dengan Peradaban India, Nusantara telah cukup maju, dan memiliki pengetahuan dan teknologi, serta tradisi yang cukup untuk menerima beberapa unsur Peradaban India. Diduga India tidak pernah membangun kolonisasi di Indonesia, dan penyerapan unsur-unsur Peradaban India dilakukan secara selektif oleh cendekiawan Nusantara. Kehadiran Peradaban India membawa kemajuan besar dilihat dari besarnya kekuasaan pemimpin dan luasnya wilayah negara. Perubahan ini meningkatkan interaksi antar penduduk, antar pedagang dan penguasa di berbagai wilayah di Nusantara, dan interaksi ini ikut bekerja dalam proses integrasi bangsa Indonesia. Negara-negara yang mengadopsi konsep kerajaan dari Peradaban India, seperti Sriwijaya dan Majapahit berkembang menjadi negara besar dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Jauh sebelum Peradaban Barat datang, masyarakat Nusantara telah terlatih dengan beberapa kerajaan besar. Sriwijaya hadir pada abad keenam, dan letaknya mungkin di Palembang atau di pertengahan aliran sungai Kampar atau di kota Jambi sekarang. Sriwijaya selama beberapa abad menguasai perdagangan laut di Nusantara bagian Barat. Dengan perekonomian yang hampir seluruhnya perdagangan, menggunakan sistem pemerintahan negara kota yang tidak membutuhkan wilayah pedalaman yang luas dengan masyarakat petani di desa. Segala potensi dan kekuatan masyarakat dikerahkan untuk membangun armada dagang dan kapal perang. Negara-negara yang mengadopsi konsep kerajaan dari peradaban India, seperti Sriwijaya dan Majapahit berkembang menjadi negara besar dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Sriwijaya menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Nusantara, sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatra Utara, dan Selat Sunda. Majapahit mencapai puncak kejayaannya dalam pertengahan abad ke-14. Pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, pada tahun 1331 M terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta; pemberontakan ini dapat dipadamkan Gajah Mada. Dan setelah itu, Gajah Mada bersumpah dihadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa dia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik. Sumpah ini kemudian dikenal dalam sejarah dengan sebutan Sumpah Palapa. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Gajah Mada meneruskan gagasan Politik Nusantara yang telah dicetuskan dalam Sumpah Palapa. Dan dalam menjalankan Politik Nusantara, satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukan. Hasilnya, wilayah kekuasaan Majapahit menjadi sangat luas, hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi Sumatra di bagian barat sampai ke Maluku dan Papua di bagian timur, dan bahkan sampai ke beberapa daerah di negara tetangga di Asia Tenggara. Armada perang Majapahit memegang kekuasaan maritim di Nusantara.

Muh.Yamin dan Soekarno dalam pembicaraan tentang dasar negara Indonesia, melihat ke Sriwijaya dan Majapahit, sebagai negara Indonesia pertama dan kedua. Pemikiran ini memperlihatkan, bahwa bangsa Indonesia tidak muncul kepermukaan hanya karena penderitaan yang sama di bawah penjajahan Belanda, dan kemudian berjuang bersama mengusir penjajah, agar menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara Indonesia. Tetapi perasaan sebagai suatu bangsa telah tumbuh di Nusantara sejak lama, karena kedekatan budaya dan geografis. Dan kalau ditelusuri lebih jauh kebelakang, sejak zaman prasejarah, interaksi antar penguasa, pedagang, dan masyarakat Nusantara cukup intensif, yang tentu membangkitkan rasa kedekatan dan kebersamaan. Cara hidup gotongroyong yang berlangsung di seluruh Nusantara, adalah satu bukti kedekatan budaya. Perluasan wilayah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, adalah juga bagian dari upaya penguasa Nusantara pada waktu itu untuk hidup dalam satu negara. Jauh sebelum Peradaban Barat datang, masyarakat di Nusantara telah terlatih dengan beberapa kerajaan besar. Selanjutnya Hatta mengingatkan kembali, bahwa Sriwijaya dan Majapahit akhirnya juga runtuh karena terjadi perpecahan dari dalam kerajaan itu sendiri. Pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena sejarah ini, dalam menghadapi penguasa penjajah atau kekuatan lain, Indonesia harus bersatu dan tidak terpisah-pisah.

Negara-negara pesisir.

Negara-negara pesisir di Nusantara pada mulanya adalah kota-kota pelabuhan, yang berkembang berkat perdagangan rempah-rempah. Pada waktu Sriwijaya mundur, perdagangan di bagian barat Nusantara dijalankan oleh bangsa-bangsa asing dari Parsi dan Gujarat yang memeluk agama Islam, dan pedagang dari Muangthai, Laos dan Champa. Pada waktu Majapahit mulai mundur pada akhir abad ke-14 yang berlanjut ke abadke-15, kekuasaan maritimnya juga surut dari pantai-pantai strategis di Nusantara. Sepanjang abad ke-15 di kota-kota pantai ini tumbuh dan berkembang menjadi negara-negara pantai, dan merongrong kekuasaan Majapahit. Muncul antara lain negara Malaka di Semenanjung Malaya, Aceh di bagian utara Sumatra, Banten di Jawa Barat, Demak di pantai utara Jawa Tengah, dan Goa di Sulawesi Selatan. Proses berdiri dan berkembangnya negara-negara pantai di Nusantara di pengaruhi oleh agama Islam yang dibawa oleh pedagang Parsi dan Gujarat.

Pada masa kedatangan orang-orang Muslim ke Sumatra dan Jawa, kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Kemunduran Sriwijaya akibat ekspansi Singasari dan Majapahit, disamping kemungkinan perluasan pengaruh Cina dan kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara. Majapahit dilemahkan oleh perselisihan politik dalam negeri sendiri, yaitu sengketa dan pemberontakan dari anggota keluarga raja. Bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa melepaskan diri bukan hanya faktor politik, tetapi juga akibat hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim. Banyak dari antara mereka tinggal di perkampungan, menerima adat kebiasaan setempat, dan ada juga yang kawin dengan perempuan setempat yang telah mereka islamkan. Dengan cara perkawinan pula Islam memasuki lapisan masyarakat bangsawan. Masyarakat sekitar tertarik menjadi Islam, karena pedagang muslim dapat menunjukkan tingkah laku yang baik dan pengetahuan agama yang tinggi. Islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dua pihak, yakni orang-orang muslim yang datang dan mengajarkan agama Islam, dan masyarakat Nusantara yang menerimanya. Dalam masa goncangan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di Nusantara, Islam dengan mudah memasuki masyarakat Nusantara yang sedang mencari pegangan hidup baru. Terlebih lagi cara yang ditempuh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam disesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang sudah ada.

Pekabaran Injil.

Pekabaran Injil adalah jawaban Gereja dan orang percaya terhadap panggilan Tuhan, untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus kepada semua bangsa, demi Kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia. Para Pekabar Injil mendapat kuasa, dan Pekabaran Injil berlangsung sepanjang masa dan di segala tempat. Tahun 1820 NZG mengutus rombongan zendeling berjumlah 5 orang; 1823 Joseph Kam mengunjungi Maluku Selatan. Tahun 1831 Zending menetap di Minahasa, dan tahun 1836 Zending menetap di Kalimantan. Tahun 1843 sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya. Tahun 1845: Mojowarno didirikan. Tahun 1861 babtisan pertama di Tapanuli Selatan. Tahun 1862 Nommensen tiba di Sumatera. Tahun 1865 RMG mulai bekerja di Nias. Tahun 1866 UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. Tahun 1878 Seminari Depok dibuka. Tahun 1890 NZG mulai bekerja di Tanah Karo. Tahun 1901 RMG mulai bekerja di Mentawai. Tahun 1927 Huria Christen Batak, yang kemudian berubah menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI) berdiri. Tahun 1928 Sumpah Pemuda. Tahun 1931 GKJ dan GKJW mandiri. Oktober 1933 KGPM berdiri. Tahun 1934 GMIM, GKP, dan GKI Jatim mandiri. Tahun 1935 GPM dan GKE mandiri. Juli 1940 HKBP mengadakan “Sinode Kemerdekaan” dan memilih Pendeta K.Sirait menjadi Ephorus yang pertama dari suku Batak. Tahun 1947, GMIT, GKS, GMIST, GT, dan GKST mandiri; dan tahun 1948 pembentukan GPIB. Pada 1860 Kristen Protestan di Indonesia antara 100.000- 120.000 orang, kurang dari 1 % penduduk Indonesia. Masyarakat Kristen Protestan pribumi di Indonesia telah hadir di Maluku, Minahasa, Sangir Talaud, dan NTT. Belum ada masyarakat Kristen pribumi di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Jumlah warga Kristen pribumi di masing-masing wilayah tersebut hanya ratusan orang. Tahun 1938 Kristen Protestan di Indonesia: 1.665.771 orang, sekitar 2,5 % penduduk Indonesia.

Baca juga  Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) Meyakini Hakim MK Gunakan Hati Nurani dan Akal Sehat

Fakta di atas memperlihatkan bahwa kehadiran gereja-gereja di Indonesia adalah hasil kerja para Penginjil yang diutus oleh berbagai lembaga penginjilan di Eropa. Pekabaran Injil di Indonesia telah berlangsung selama berabad-abad, dan hasilnya jutaan warga gereja yang berhimpun dalam ratusan organisasi gereja, tersebar di seluruh Indonesia. Warga masyarakat Indonesia banyak yang menjadi pengikut Yesus Kristus, pada awalnya terutama warga masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman, yang jauh dari pusat-pusat peradaban, dan dari sana menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Pemahaman Bersama Iman Kristen Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pasal 20 menyatakan bahwa Tuhan sendiri menempatkan Gereja di Indonesia untuk melaksanakan tugas panggilannya di tengah bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang diyakini sebagai anugerah Tuhan. Kehadiran gereja-gereja di Indonesia merupakan pengutusan Tuhan sendiri agar gereja-gereja secara aktif mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan di Indonesia. Injil Yesus Kristus tersebar luas di Indonesia, dan gereja-gereja tumbuh dengan suburnya. Kemajuan ini adalah berkat Tuhan bagi Indonesia, bangsa merdeka yang menyelenggarakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu negara besar di Asia Tenggara. Negara-bangsa yang demokratis, yang menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan beragama. Kehadiran Injil Yesus Kristus di Indonesia membawa pencerahan bagi bangsa ini; mendorong kemajuan bersama sebagai suatu bangsa yang berjuang untuk kebaikan dan kemajuan bersama; kehadiran Injil Yesus Kristus di Indonesia adalah berkat Tuhan untuk Indonesia.

Pergerakan Nasional.

Sejarah mencatat bahwa perlawanan masyarakat dan raja-raja Nusantara akhirnya gagal; pemerintah kolonial Belanda justru semakin kuat, dan terus menjalankan perang kolonial untuk memperluas daerah kekuasaan, sehingga di awal abad ke-20, hampir semua wilayah Indonesia telah dikuasainya. Kenyataan ini menghadirkan suatu komunitas kreatif di Indonesia, yang terdiri dari kaum terpelajar, yang melihat penguasa Hindia Belanda berlaku tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif. Mereka menyadari bahwa Kerajaan Belanda tidak berhak memerintah di Indonesia. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Nusantara adalah satu bangsa, yakni bangsa Indonesia, dan sama dengan bangsa-bangsa lainnya, berhak menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara sendiri. Mereka mengubah cara melawan penguasa penjajah, dengan berjuang, belajar dan mengambil sebagian unsur-unsur Peradaban Barat. Melalui perjumpaan dengan ideologi nasionalisme yang datang dari Peradaban Barat, timbul kesadaran kebangsaan Indonesia, yang menjiwai para tokoh pergerakan nasional, dan kemudian meluas ke berbagai kelompok masyarakat.

Pergerakan Nasional Indonesia adalah proses pertumbuhan nasionalisme Indonesia, yang antara lain mewujud dalam berbagai organisasi pergerakan, melahirkan banyak tokoh pergerakan, dan menghasilkan banyak gagasan tentang Indonesia merdeka. Membangkitkan kesadaran nasional dan mendorong munculnya kemauan bersama untuk menjadi bangsa Indonesia. Pergerakan Nasional Indonesia adalah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Dibawah penjajahan Belanda masyarakat Indonesia sangat menderita, dan penderitaan ini menjadi tantangan yang membutuhkan jawaban yang setimpal; dan untuk menjawabnya muncul kaum pergerakan nasional yang menyadari bahwa penjajahan menjadi penyebab penderitaan. Atas kesadaran tersebut, kaum pergerakan nasional Indonesia mengajak masyarakat luas berjuang menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara berdaulat. Pergerakan nasional memperjuangkan kesederajatan manusia, kemerdekaan, keadilan, dan mengarahkan pembentukan suatu unit geopolitik baru sebagai wadah bersama masyarakat Indonesia yang majemuk. Perlawanan terhadap penguasa kolonial dengan cara tradisional yang berideologi religio-magis dan kepemimpinan kharismatik telah gagal; dan dibutuhkan cara perjuangan modern, dan untuk itu perlu mengambil beberapa unsur Peradaban Barat. Habitat dan cara hidup perlu diubah; Hindia Belanda di ganti dengan Republik Indonesia; dan masyarakat feodalistik-hirarkis diubah menjadi masyarakat gotongroyong yang egaliter. Cara perjuangan tradisional diganti dengan cara perjuangan baru yang rasional dengan ideologi nasionalisme dan organisasi modern.

Pergerakan nasional Indonesia adalah suatu fenomena sejarah hasil integrasi dari berbagai faktor, yaitu sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Pergerakan ini bisa saja dimulai dengan gerakan sosial, atau kultural, atau ekonomi, tetapi semua itu akhirnya bermuara pada gerakan politik, karena penyebab dari semua permasalahan itu adalah politik kolonial Belanda. Perilaku kolektif masyarakat dalam berbagai organisasi pergerakan nasional membuat organisasi tersebut menjadi wahana perjuangan politik. Kondisi ini mendorong proses integrasi kaum terpelajar, melintasi batas-batas profesi, golongan, daerah, etnis, dan agama. Meskipun banyak perbedaan di antara mereka, seperti perbedaan politik dan ideologi, tetapi kaum pergerakan komunikatif satu dengan yang lain. Komunikasi politik di antara kaum pergerakan cukup lancar, walaupun banyak pembatasan oleh penguasa kolonial; bahkan semakin represif penguasa kolonial, semakin kuat solidaritas antar organisasi pergerakan. Perjuangan kemerdekaan semakin terintegrasi, dan kaum pergerakan bersama semua komponen bangsa sepakat untuk segera merdeka. Penderitaan masyarakat dilihat sebagai akibat dari ketidakadilan penguasa kolonial, dan oleh karena itu penderitaan ini hanya akan dapat disingkirkan kalau kekuasaan negara berada ditangan bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran ini mendorong kaum pergerakan mendirikan organisasi modern sebagai alat pergerakan nasional. Dr. Sutomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo memperkenalkan kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yaitu organisasi yang mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Hampir semua pimpinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasionalis Indonesia pada permulaan abad ke-20 pernah ada di Budi Utomo, atau paling kurang telah mempunyai kontak dengan Budi Utomo. Peranan Budi Utomo dalam kemajuan politik di Indonesia sangat besar, dan itulah sebabnya mengapa hari kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dari sini tumbuh cita-cita pembentukan nasion Indonesia, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928, yang dipakai sebagai tonggak integrasi bangsa Indonesia.
Pada 26-28 Oktober 1928, di Jakarta dilaksanakan Kongres Pemuda II, yang menggabung semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kongres ini membawa semangat nasionalisme ke tingkat yang lebih tinggi, dan semua utusan yang datang mengucapkan sumpah setia “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia”. Sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dalam penutupan Kongres dinyanyikan lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.Supratman, dan bendera Merah Putih juga dikibarkan mengiringi lagu kebangsaan itu, sehingga tercipta kesan yang mendalam bagi para peserta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here