Oleh : Jerry Massie (Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies)
Pada intinya demo mahasiswa ini harus jelas arah tujuannya kemana baik secara esensi, eksitensi dan substansi. Kalau hanya gerakan emosional dan represif semata maka ini demo yang gagal. Begitu pula pertanyaannya siapa penggeraknya? Lantaran dilakukan secara massal.
Kalau saya pelajari ini demo terstruktur bukan hanya sekadar demo-demoan belaka. Ada indikasi menyerang presiden bahkan sampai ke arah penggagalan inauguration (pelantikan presiden).
Barangkali pendekatan intelektual harus dikedepankan selain pendekatan persuasif.
Tapi, saya heran anak-anak di bawah umur sampai digerakan dan dengan uang Rp30 ribu serta nasi bungkus. Ini jelas melanggar Undang-undang Perlindungan Anak 2014. Dalam Pasal 15 menyebutkan Anak-anak harus dilindungi dari penyalah-gunaan politik pelibatan dalam gerakan kerusakan sosial dan pelibatan dalam peristiwa mengandung kekerasan.
Jadi ini bukan aksi mahasiswa lagi tapi anak-anak pun diikut sertakan. Ini bukan demo bagaimana menyampaikan aspirasi lagi tapi bagian anarkisme.
Demo 1998 saat rezim orde baru diruntuhkan secara esensi itu jelas lantaran sosial politik dan ekonomi bergejolak. Sebetulnya saya tidak apatis dengan kawan-kawan mahasiswa berdemo namun lebih baik hearing atau dialog terbuka di Kantor DPR atau DPRD itu adalah cara terhormat, bukan merusak dan membakar sarana prasarana yang ada. Pihak legislatif ingin minta masukan yang positif.
Tidak ada undang-undang melarang aksi demo dan ini dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 28 UUD 1945 tertera dan tercantum : ” Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pkiran dengan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Begitu pula menyampaikan pendapat tercantum dalam Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Bentuk penyampaian dapat dilakukan lewat unjuk rasa arau demonstrasi, pawai , mimbar bebas dan rapat umum.
Namun, kali ini hanya sikap arogansi mahasiwa yang nampak yakni perusakan fasilitas negara.
Kalau RUU KHUP di demo sah-sah saja apalagi terkait UU Pemasyarakatan yang jelas menguntungkan koruptor.
Jadi, poin penting perlu di kritik terkait rancangan UU ini. Demo tertib tak masalah yang penting tak anarkis. Saya nilai DPR sepertinya kejar target kalau di sinetron kejar tayang. Bagaimana mungkin RUU pangan dan penyiaran tak pernah kelar tiba-tiba tak ada angin dan badai mau revisi sejumlah Undang-undang. Secara akal sehat tak dapat diterima. Bagi saya imposible dalam beberapa pekan menyelesaikan sejumlah RUU. Ini saya kira taktik saja agar publik menilai DPR punya peran penting. Padahal ini saya kira pengalihan isu ada politik mengelabui saja.
Sebaiknya, mahasiswa harus paham mana yang UU yang relevan lagi dan yang bukan.
Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa harus lebih bijak dalam bersikap. Memang pelaku reformasi tapi ini tak ada lagi reformasi jilid II hanya ada penyampaian aspirasi. Tapi kenapa dilakukan jelang pelantikan presiiden yang aneh lagi UU ini mencuat secara bersamaan.
Yang paling bahaya ada penyusup di balik aksi demo ini.
Dalam setiap demo ditumpangi kepentingan politik. Bahaya demo bermuara ke demo crazy.
Jangan sampai demokrasi itu dibajak oleh oknum-oknum perusak demokrasi itu sendiri.