Oleh: Weinata Sairin
_”Hai manusia telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allahmu?”_ (Mikha 6:8)
Umat yang percaya kepada Allah, umat yang mengaku beriman kepada Allah, acapkali dalam episode kehidupan mereka bertindak _paradoks_ yaitu dengan menampilkan hidup yang menentang Allah. Kata-kata, sikap dan perbuatan mereka tidak mencerminkan umat yang beriman kepada Allah. Ibadah mereka dipenuhi dengan kemunafikan, ibadah-ibadah mereka hanya sebuah sandiwara, penuh dengan roh formalisme dan tidak lahir dari nurani yang murni. Ada banyak hal yang membuat umat dalam kondisi seperti itu. Mereka ragu, skeptis terhadap kuasa dan power dari Allah. Mereka tegiur dan tergoda kepada ilah, dewa bangsa lain yang bisa terlihat dan dianggap memiliki kuasa yang besar dan berpengaruh. Kedalaman kerohanian mereka, tingkat spiritualitas mereka juga amat rendah sehingga mereka labil dan ambivalen. Status formal mereka beragama namun dalam kenyataan praksis mereka menolak Allah.
Kita semua tahu bahwa umat Israel gagal mengemban tugas besarnya sebagai umat pilihan, yang mesti memperkenalkan Allah kepada bangsa-bangsa disekitarnya, oleh karena mereka sendiri acap tidak setia kepada Allah. Hampir seluruh episode kehidupan umat Israel diwarnai oleh sikap memberontak kepada Allah. Dalam Kitab Hakim-hakim misalnya skema kehidupan Israel berada pada posisi yang sama dan terjadi berulang-ulang : Israel tidak setia kepada Allah -Allah mendatangkan hukuman- Israel menjerit-jerit memohon pertolongan Allah -Allah datang menolong. Dan begitu seterusnya berulang-ulang.
Nabi Mikha berasal dari daerah pedalaman lebih kurang 30an km diselatan Yerusalem. Ia menjalankan tugas pelayanannya disekitar tahun 700-an ditengah krisis politik yang melanda Timur Tengah khususnya di Yehuda, tempat ia bekerja pada zaman itu. Menurut seorang penafsir Mikha bernubuat antara tahun 725-701 pada masa pemerintahan raja Ahaz dan Hizkia. Pada zaman itu Yerusalem mengalami ancaman Asyur dan saat itu terjadi kemerosotan dibidang moral dan agama. Konteks itu amat memberi pengaruh pada ucapan Mikha pada zaman itu yang dengan tajam menyampaikan kritik sosial kepada umat.
Mikha hidup sezaman dengan Hosea di Israel Utara dan Yesaya di Yerusalem. Mikha yang berasal dari pedalaman amat concern pada rakyat kecil. Ia selalu menentang para pembesar dari kota yang acap mengeksploitasi rakyat kecil. Mikha 6 ayat 8 yang dikutip dibagian awal tulisan ini adalah ayat-ayat populer yang sering dikutip, dan dengan narasi yang imperatif menegaskan kembali kepada manusia apa yang mesti mereka lakukan sebagai umat beriman.
Ungkapan “hai manusia” disini menjadi amat spesifik dan secara asosiatif mengingatkan kembali tentang tugas hakiki manusia di era apapapun yang tidak akan berubah. Mengapa tidak dikatakan “hai umat Israel” agar lebih fokus. Penyebutan “hai manusia” dimaksudkan agar imperatif itu tidak hanya bagi Israel tetapi bagi kesegenapan umat manusia.
Ungkapan Mikha dalam ayat 8 ini ingin mengingatkan kembali formula standar yang mestinya sudah diketahui oleh setiap orang. Kata “yang baik” mengacu kepada berbagai aturan yang telah disampaikan oleh Allah melalui nabi, hakim, raja dalam seluruh proses perjalanan hidup umat Israel. Mereka diasumsikan sudah tahu apa yang Tuhan mau dari umat Israel. Yang menarik dalam ayat ini Mikha menyebut 3 hal yang eksplisit yang dianggap sebagai hal penting untuk diberlakukan oleh umat yaitu *berlaku adil*, *mencintai kesetiaan*, *hidup dengan rendah hati*.
Ketiga butir yang ditekankan Mikha itu adalah isu strategis yang tetap menjadi burning issues di setiap zaman. Tatkala keadilan bisa diintervensi dengan power, fulus, kekuatan massal; ketika orang menjadi munafik dan tidak setia kepada Firman Allah; ketika orang bersikap arogan, congkak, tidak *humble* bagaimana sebuah komunitas bisa eksis dan mampu berkontribusi bagi kehidupan yang lebih luas? Isu yang diungkap Mikha tahun 700an itu tetap saja relevan di zaman *Now* bahkan dengan tingkat keparahan yang makin tinggi. Gereja dan kekristenan harus mampu menjadi komunitas terdepan di negeri ini yang membela dan menegakkan keadilan, yang menyuarakan suara profetis berbasis Roh Kudus yang mencerahkan dan mencerdaskan, bersikap humble, elegan dan penuh kasih sayang kepada seluruh warga bangsa.
Umat Kristen tanggal 9 Juni 2019 ini merayakan Hari Pentakosta, hari pencurahan Roh Kudus ke atas semua orang percaya. Roh Kudus, Roh Penolong, Roh Penghibur, Parakletos, sebagaimana di janjikan Yesus adalah ruach yang akan menguatkan, memimpin,memandu umat sehingga umat mampu menampilkan kehidupan Kristen yang otentik sebagaimana yang diperintahkan oleh Yesus Kristus.
Selamat Merayakan Hari Pentakosta 9 Juni 2019. Selamat Merayakan Hari Minggu, Hari Tuhan, Hari Dominggo, The Day of The Lord. God Bless us. God bless NKRI!