Jakarta, Suarakristen.com
“Sejak tanggal 8 Mei 2019 hingga kini, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai leading sector yang ditunjuk Presiden untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) , mengadakan serangkaian pertemuan bersama Kementrian dan Lembaga terkait untuk memperkuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU P-KS yang akan dibahas bersama Komisi VIII DPR RI yang diagendakan pada masa persidangan tahun ini. Namun, dalam proses penyusunan DIM tersebut, KPPPA masih sangat minim melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya kelompok perempuan yang berkepentingan terhadap RUU P-KS, yakni mendorong RUU P-KS sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual. “
Sejak Februari 2017 RUU P-KS menjadi RUU Inisiatif DPR. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 65 menegaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang ditugasi (Pasal 1). Dan bila RUU berasal dari DPR, maka pemerintah menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas RUU yang diajukan DPR tersebut (Pasal 68 ayat 3)
Setelah mendapat desakan terus menerus dari masyarakat, pada awal 2019, dalam sebuah pertemuan yang diinisiasi Pemerintah dengan Komisi VIII (Panja RUU P-KS), Pemerintah dan DPR bersepakat untuk mengupayakan pembahasan RUU P-KS tetap berlangsung di masa Periode DPR tahun ini.
Di pihak pemerintah, sebenarnya KPPPA telah memberikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas RUU P-KS kepada DPR pada Mei 2017. Namun, dalam proses penyusunan DIM oleh Pemerintah, maupun diskusi-diskusi yang berlangsung hingga saat ini, keterlibatan masyarakat sipil masih sangat minim, terutama dalam perumusan substansi. Pemerintah terkesan menutup ruang diskusi terhadap kelompok masyarakat terutama kelompok perempuan yang sangat berkepentingan dengan hadirnya RUU ini. Dampaknya terlihat dari rumusan DIM yang masih jauh dari harapan, bahkan terkesan mereduksi terobosan-terobosan penting dalam RUU. Beberapa diantaranya:
1. Memangkas 9 tindak pidana kekerasan seksual menjadi 4 tindak pidana kekerasan seksual;
2. Mempersempit rumusan perkosaan yang sudah diperluas, dan masih digunakannya istilah persetubuhan dan pencabulan yang selama ini problematis dan mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban.
3. Menghilangkan hukum acara khusus untuk kekerasan seksual
4. Menghilangkan ketentuan terkait hak-hak korban.
Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) , yang terbentuk sejak 2005, merupakan jaringan masyarakat sipil yang peduli dengan proses legislasi yang sensitive gender dan pro kepentingan perempuan korban. JKP3 mengusung agenda legislasi yang terkait dengan kepentingan perempuan, sejak tahun 2005 dan salah satunya adalah RUU P-KS. Upaya advokasi yang dilakukan antara lain melalui penyusunan DIM versi masyarakat sipil sebagai cara masuk untuk mengawal agar substansi dan proses legislasi dapat mengakomodasi kepentingan perempuan khususnya terkait pengalaman korban dan pendampingannya dalam mengakses keadilan.
Perlu kami ingatkan, Indonesia adalah Negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang memiliki kewajiban salah satunya membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan dan menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap segala tindakan diskriminasi.
Terkait proses pembahasan RUU P-KS sejauh ini, kami, JKP3 mencermati, minimnya keterlibatan masyarakat sipil yang berkepentingan atas RUU P-KS, dalam pembahasan substansi RUU termasuk dalam penyusunan DIM oleh Pemerintah. Kami mencatat, setidaknya dalam tiga kali pertemuan antara Pemerintah dan masyarakat sipil pada akhir tahun 2018 dan awal 2019, KPPPA belum memberi ruang bagi Kami untuk menyampaikan masukan atas DIM yang disusun Pemerintah . Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, pihak KPPPA selalu menjanjikan adanya ruang diskusi bersama antara masyarakat sipil (antara lain JKP3) dan Pemerintah, namun hingga kini belum terlaksana.
Pemerintah terkesan menutup ruang diskusi dan enggan mendengarkan masukan masyarakat untuk memperbaiki DIM nya.
Sebagai masyarakat sipil, kami, meminta proses penyusunan RUU bukan hanya di DPR tapi juga di pemerintah agar sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011. Bab XI UU ini mengatur Partisipasi Masyarakat, menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 96 ayat 1).
Berdasarkan hal-hal diatas, kami menuntut:
1. Menolak DIM Pemerintah karena tidak partisipatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan dan pengalaman perempuan yang menjadi sasaran utama dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
2. Mendesak KPPPA untuk melibatkan masyarakat sipil yang berkepentingan atas RUU P-KS, dalam diskusi-diskusi substansi RUU sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3. Menuntut Pemerintah dan DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS menjadi UU tanpa mengorbankan prinsip partisipasi masyarakat dalam rangka mengawal mutu kualitas pembahasan dan muatan RUU menjadi lebih baik, sesuai dengan tujuan keberadaan RUU yakni sebagai terobosan hukum di Indonesia.
Jakarta, Rabu, 29 Mei 2019
Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)
Contact Person:
1. Ratna Batara Munti (Kordinator/0813-1850-1072)
2. Valentina Sagala (0878-8755-6055)
3. Asfinawati ( 0812-8218-930)
4. Siti Aminah (0819-0817-4177)
5. Siti Mazumah (0821-2591-2789)
6. Olin Monteiro (0812-1305-9955)