Jakarta, Suarakristen.com
Paska dorongan masyarakat secara nasional dari berbagai daerah pada aksi
Pawai Akbar 8 Desember 2018 lalu oleh Gerakan Aksi Masyarakat Sipil,
telah berhasil membuka dialog DPR-RI terutama Komisi 8 bersama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak agar membahas dan
mengesahkan RUU tersebut. Hasil dari dialog tersebut adalah DPR-RI
menaruh komitmen politik untuk membahas dan mengesahkannya pada masa Sidang 2019.
Namun akhir-akhir ini, terdapat penyebaran HOAX diantaranya:
1.Pesan-pesan secara sistematis dan meluas bahwa RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual menyarankan perzinahan atau free sex, dan pesan-pesan negatif lainnya yang membuat kesalah-pemahaman masyarakat terhadap substansi dari RUU tersebut;
2.Pesan-pesan negatif tersebut mengakibatkan pro-kontra di masyarakat
dan menjadi tidak berakhir dan tidak berujung pada penyelesaian;
3.Pesan-pesan tersebut beredar tanpa adanya konfirmasi, dialog, dan
pembahasan yang sehat sehingga situasi menjadi tidak kondusif.
Prinsip kerja Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah membangun situasi yang kondusif bagi perempuan Indonesia dari kekerasan berbasis gender, oleh karena itu melihat
perlunya merespon situasi tersebut sebagai berikut.
1.Bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilatarbelakangi oleh
hambatan-hambatan yang dialami korban kekerasan seksual terutama
perempuan dan anak dalam mengakses pemulihan dan keadilan;
2.Akibat dengan tidak adanya perlindungan hukum, para korban kekerasan seksual dan keluarganya mengalami penderitaan terus menerus. Hukum yang berlaku hanya menempatkan kasus kekerasan seksual sebagai kasus kesusilaan, bukan sebagai kasus kejahatan;
3.Komnas Perempuan sepanjang tahun 2013-2017 menerima laporan 28.019
kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak baik
terjadi di ranah pribadi atau personal maupun komunitas (publik).
Terdapat diantaranya 15.068 kasus kekerasan seksual yang terjadi di
dalam rumah tangga (relasi personal) dan terdapat 12.951 kasus kekerasan
seksual terjadi di ranah komunitas (publik);
4.Dampak yang dialami korban kekerasan seksual diantaranya kehamilan yang tak dikehendaki hingga lahirnya anak;
5.Korban terus bertambah diantaranya mengalami stress, depresi hingga
gangguan jiwa dan percobaan bunuh diri;
6.Minimnya partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menangani korban
kekerasan seksual, perlu difasilitasi melalui regulasi sehingga mereka
dapat optimal dalam memberikan dukungan penuh untuk menikmati hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara;
7.Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (Jaringan Organisasi
Masyarakat Pendamping Perempuan dan Anak Korban Kekerasan) sejak tahun
2015 telah menyusun Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan draft tersebut sudah diserahkan ke Pimpinan DPR RI pada tahun 2016.
Badan Legislasi DPR RI telah membahas draft tersebut dan melakukan
beberapa perbaikan. Melalui Sidang Paripurna DPR RI, RUU itu disetujui
sebagai RUU inisiatif DPR RI dan menunjuk Komisi 8 untuk memimpin
pembahasan. Pada tahap ini Draft RUU P-KS sudah menjadi Naskah RUU P-KS
yang akan dibahas oleh DPR RI bersama Pemerintah;
8.DPR RI sudah mengirimkan Naskah RUU kepada Pemerintah dan Presiden
sudah menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai leading sector pembahasan. Pemerintah sudah menyampaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) terkait RUU tersebut kepada Komisi 8;
9.Terhadap Naskah RUU dan DIM Pemerintah, Komnas Perempuan juga telah menyampaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU P-KS di Komisi 8.
Bahwa hingga saat ini belum ada satupun regulasi di Indonesia yang
secara spesifik memberikan jaminan perlindungan atas kasus kekerasan
seksual. Oleh karenanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merespon darurat kekerasan seksual dan memperbaiki penanganannya yang lebih manusiawi dan bermartabat (yang menjadi prinsip-prinsip universal
seluruh ajaran agama).
Untuk itu Komnas Perempuan mengajak dan menghimbau:
1.Pihak-pihak yang melakukan pembohongan publik dengan menyebarkan informasi yang tidak benar tentang RUU P-KS supaya segera menghentikan tindakannya, supaya situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan
seksual di Indonesia di tengah kondisi yang darurat kekerasan seksual
ini, dapat diupayakan;
2.Masyarakat sebelum menyebarkan informasi, untuk klarifikasi,
mengkonfirmasi terlebih dahulu sehingga pesan-pesan negatif tentang
substansi RUU P-KS tidak menjadi hoax. Informasi tersebut dapat dilihat
melalui website DPR-RI dan Komnas Perempuan;
3.Para pihak yang mengkritisi RUU tersebut untuk mendialogkan dan
mendiskusikan diantaranya bersama DPR RI, Komnas Perempuan, jaringan
masyarakat sipil yang relevan yang selama ini mendampingi kebutuhan
korban atas akses keadilan;
4.Panja Komisi VIII DPR – RI untuk tetap fokus membahas RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual sebagai regulasi yang mengatur jaminan perlindungan
negara terhadap para korban yang mengalami kekerasan seksual;
5.Pemerintah tetap berkomitmen untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka
mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual di DPR.
Narasumber:
Mariana Amiruddin, Komisioner (081210331189)
Sri Nurherwati, Komisioner (087887233388)
Imam Nahei, Komisioner (082335346591)
Nina Nurmilla, Komisioner (085814479624)