MANAHAN SIHOMBING, S.H., M.H. & MANGALABAN SILABAN, S.H., M.H., : BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) MELAKUKAN KEJAHATAN DI ATAS TANAH ADAT (GRANT SULTAN NO. 1 TAHUN 1935)

0
969
Adv. Manahan Sihombing, S.H., M.H.

 

Jakarta, Suarakristen.com

 

Untuk menata administrasi pertanahan di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat dan di Daerah seharusnya tunduk pada peraturan perundang-undangan, agar hak-hak masyarakat yang mungkin saja belum terlindungi secara hukum tidak menjadi korban dari kesewenang-wenangan aparat BPN. Sebagai acuan hukum, bagaimana aparat BPN untuk tidak menyimpangi kewenangan administratif pertanahan, Pasal 416 KUHP menyatakan : “Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus- menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Kejahatan BPN dalam melakukan “penyelundupan hukum” di atas tanah Adat (Grant Sultan No. 1 Tahun 1935/GS. 1/1935) sangat sistematik dan konspiratif. Hal ini terungkap melalui fakta-fakta setelah terjadinya gugat perkara tata usaha Negara (TUN) antara Ahliwaris Datuk Muhamad Cherr (Dt. M. Cheer) melawan BPN Pusat, Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan, Gubernur Sumatera Utara, Walikotamadya Medan, Yayasan Adi Upaya TNI-AU/YASAU, PT. Taman Malibu Indah/PT. TMI. Fakta-fakta apa saja yang membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh oknum tertentu dari BPN adalah suatu KEJAHATAN ? Di bawah ini akan diajukan beberapa perbuatan yang telah dilakukan BPN di atas tanah dat (GS. 1/1935).

Foto, Kika: Moderator Danny PH. Siagian, S.E.,M.M., Adv. Manahan Sihombing, M.H., Adv. Mangalaban Silaban, M.H., dan Kuasa Ahli Waris Sugiono

Berawal dari perluasan Pangkalan Udara Polonia Medan, berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Agraria No.1/HPL/DA/70 tanggal 3 Februari 1970, Panglima Komando Wilayah Udara (Pangkowilu) I Medan diberi tanah hak pengelolaan (HPL) seluas 1. 379. 659, 50 m2 yang terletak di Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan (termasuk tanah Grant Sultan No.1 Th.1935 seluas 35 Ha) dengan syarat antara lain :

a. Hak pengelolaan berlaku selama/sepanjang tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan pangkalan Angkatan Udara Medan;

b. Jika ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan hak miliknya atas tanah tersebut, maka pihak AURI harus bersedia membayar ganti rugi kepada yang bersangkutan;

c. Penerima hak pengelolaan wajib mengembalikan hak pengelolaannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian,apabila tidak dipergunakan lagi untuk keperluan pangkalan Angkatan Udara Medan;

d. Pemberian hak tersebut dapat dicabut atau ditinjau kembali,apabila pemberian hak tersebut ternyata keliru atau tidak tepat lagi, serta apabila luas tanah yang diberikan tersebut melebihi keperluan.

Hak pengelolaan (HPL) tersebut di atas dicabut dari Pangkowilu I Medan berdasarkan SK Dirjen Agraria No.150/DJA/82 tanggal 8 September 1982, akibat penyalahgunaan peruntukan tanah oleh Pangkowilu I Medan, dengan memberikan tanah HPL tersebut kepada PT. Surya Dirgantara yang dikuatkan oleh SK Dirjen. Agraria No.217/HP/DA/1976.
Beberapa tahun kemudian, disaat Sarwata, SH. menjabat Dirjen Agraria, yang bersangkutan menerbitkan SK.No.78/HP/DA/87 tanggal 25 Agustus 1987 yang isinya antara lain :

a. Membatalkan SK.No.217/HP/DA/76 tentang pemberian tanah Hak Pakai kepada PT.Surya Dirgantara;

b. Memberikan tanah Hak Pakai seluas 201.000.m2 kepada Yayasan TNI-AU “Adi Upaya” (YASAU);

c. Mempertimbangkan bahwa tanah yang dimohonkan dan diberikan kepada YASAU tersebut adalah “tanah Negara.”

Akibat keberatan para Ahliwaris Dt. M. Cheer atas perbuatan Pangkowilu I Medan, Dirjen Agraria Sarwata, SH., YASAU, dan PT. TMI yang membeli dan menduduki tanah Adat (GS. 1/1935), BPN cq. Deputi Bidang Pengawasan melakukan pemeriksaan di atas tanah Adat (GS. 1/1935), dan hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Analisa dan kesimpulan Laporan Deputi Bidang Pengawasan BPN.No.11/DV/LHP/K/ WI/1/91 tanggal 22 Januari 1991 menyimpulan : Secara juridis formal diakui adanya tanah ahliwaris Dt.M.Cheer seluas 35 Ha., yang terletak di Jl.Karangsari, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan. Dan ternyata sebagian dari tanah tersebut tumpang tindih dengan tanah Hak Pakai No.194/Polonia atas nama YASAU.

2. Hasil pemeriksaan Deputi Bidang Pengawasan BPN (Badan Pertanahan Nasional) No.38/ND/DV/I1/91 tanggal 26 Februari 1991 menyimpulkan : Keberadaan atau eksistensi tanah Grant Sultan No.1 Th.1935 tercatat atas nama Tengku Otteman dan telah diserahkan kepada Dt.M.Cheer, dan terdaftar di Kantor Asisten Wedana Kecamatan Delitua tahun 1950.

Sampai di sini, secara resmi BPN menyatakan bahwa tanah yang sekarang diduduki oleh PT. TMI adalah eks tanah Adat (GS. 1/1935).

Ternyata, ketika Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan menerbitkan Hak Pakai No. 194/Polonia/1989 an. YASAU, dan HGB No.1/1990 an. PT. TMI di atas tanah yang diduduki oleh PT. TMI, tanah tersebut dikatakan sebagai eks tanah Negara (Blad C 4, 5, dan 6). Bukti atau fakta tersebut terlihat dari surat-surat tersebut di bawah ini :

a. Surat Kepala BPN No.570.22-2565, menyatakan Blad C 4, 5, dan 6 sebagai asal tanah Hak Pakai No.194/Polonia/1989 an. YASAU;

b. Nota Dinas Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah BPN No.39/ND/PTIP/VU90 tanggal 19 Juni 1990, menyatakan pendapat BPN bahwa Blad C 4, 5 dan 6 adalah asal tanah yang dikuasai oleh YASAU;

c. Surat Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan No. 2.30-3592/J/PKM/89 tanggal 18 September 1989, menyatakan Blad C 4, 5 dan 6 sebagai asal tanah Hak Pakai No.194/Polonia/1989 atas nama YASAU.

Dengan adanya fakta hukum atau bukti yang menyatakan bahwa tanah yang diduduki oleh PT. TMI adalah eks tanah Adat (GS. 1/1935), sementara Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan ketika menerbitkan HGB No.1/1990 an. PT. TMI menyatakan tanah tersebut adalah eks tanah Negara, maka sudah seharusnya HGB No. 1/1990 an. PT. TMI batal demi hukum. Sebab, demi suatu kepastian hukum, sertifikat yang diterbitkan oleh BPN harus merujuk kepada objek yang dikuatkan oleh peristiwa-peristiwa hukum di atasnya. Dengan kata lain, BPN telah melakukan kejahatan sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 416 KUHP jo. Pasal 263 ayat 1 KUHP.

Pemanipulasian data “tanah Adat (GS. 1/1935)” menjadi “tanah Negara (Blad C 4, 5, dan 6)” inilah yang senantiasa dijadikan dasar kepemilikan tanah oleh PT. TMI di dalam perkara TUN, Perdata, dan Pidana. Ironisnya, sebagian besar hakim di ketiga peradilan tersebut mengenyampingkan KEJAHATAN BPN yang sudah sangat jelas di dalilkan Ahliwaris Dt. M. Cheer di berbagai proses persidangan (een waarheid als een koe). Inilah salah satu alasan, mengapa mantan ketua MA Sarwata, SH. melanggar ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 tentang larangan hakim untuk mengadili perkara yang objeknya terkait langsung atau tidak langsung dengan diri sang hakim, ketika memeriksa dan memutus perkara peninjauan kembali No. 27 PK/TUN/1997. Sebab, di dalam putusan kasasi No. 56 K/TUN/1996 yang kemudian dibatalkannya, hakim kasasi telah membatalkan SK. Dirjen Agraria (Sarwata, SH.) No. 78/HP/DA/87, Hak Pakai No. 190/Polonia an. YASAU, dan HGB No.1/1990 an. PT. TMI, akibat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh Pangkowilu I Medan, BPN, YASAU maupun PT. TMI.

Perlindungan terhadap kejahatan BPN tersebut bukan hanya datang dari dunia peradilan (TUN, Perdata, dan Pidana), tetapi juga dari Kepolisian RI. yang tidak henti-hentinya menerbitkan SP3 setiap kali para ahliwaris mengajukan laporan tentang kejahatan di atas eks tanah Adat (GS.1/1935) baik terhadap PT. TMI maupun terhadap BPN. Anehnya, ketika laporan polisi datang dari pihak YASAU dan PT. TMI, maka dapat dipastikan akan selalu berujung di pengadilan. Tidak salah apabila para ahliwaris Dt. M. Cheer meyakini sedalam-dalamnya bahwa KEBENARAN DAN KEADILAN BUKAN DITENTUKAN OLEH HAKIKAT HUKUM ITU SENDIRI MELAINKAN OLEH SYAHWAT APARAT HUKUM.

Para ahliwaris Dt. M. Cheer pernah berharap bahwa BPN yang dianggap memiliki rasa hukum dan keadilan, akan membatalkan HGB No. 1/1990 an. PT. TMI demi hukum akibat kejahatan yang dibuatnya sendiri. Ternyata hal tersebut merupakan impian kosong belaka, ketika permohonan pembatalan yang diajukan oleh para ahliwaris Dt. M. Cheer selalu ditolak berulangkali, dengan alasan adanya putusan peninjauan kembali No. 27 PK/TUN/1997.

Harapan terakhir terhadap supremasi hukum yang semakin pudar ditelan waktu lebih dari 30 tahun, adalah adanya sedikit kemauan Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali untuk mendengar dan meluruskan keadilan bagi para ahliwaris Dt. M. Cheer yang telah uzur.

*****

HGB NO. 1 TAHUN 1990 AN. PT. TAMAN MALIBU INDAH DI ATAS TANAH GRANT SULTAN SALAH LOKASI

Apa dan bagaimana konsekwensi dari suatu kesalahan atau kekeliruan administratif yang dilakukan oleh BPN, ketika menerbitkan suatu alas hak atau sertifikat? Pertanyaan ini secara hukum sangat penting untuk ditelusuri dan diteliti, guna menentukan apakah alasan BPN yang selalu berlindung di balik suatu putusan pengadilan dapat dibenarkan ? Sebab dalam kasus tanah Grant Sultan (GS. 1/1935) antara para Ahliwaris Dt. M. Cheer melawan BPN, Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan, YASAU, dan PT. Taman Malibu Indah, BPN selalu berlindung pada putusan peninjauan kembali No. 27 PK/TUN/1997 yang telah terbukti CACAT HUKUM, sebagaimana telah diuraikan dalam artikel “Kejahatan Hukum Ketua MA” yang menguraikan pelanggaran ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 oleh Ketua MA Sarwata, SH., di mana yang bersangkutan mengadili objek perkara TUN yang terkait langsung dengan dirinya (SK. Dirjen Agraria No. 78/HP/DA/87).

Baca juga  Azarine Cosmetics Raih Penghargaan Alle Awards Kategori Most Significant Formula

Sebelum merujuk peraturan perundang-undangan yang mengikat BPN dalam hal terjadinya kesalahan administrasi ketika menerbitkan sertifikat, terlebih dahulu menelusuri seberapa jauh kesalahan atau bahkan kejahatan hukum yang telah dilakukan oleh BPN dalam rangka pengambilalihan dan perkeyasaan tanah Grant Sultan menjadi “tanah Negara”.

Pelekatan “tanah Negara” di atas tanah Grant Sultan dilakukan sejak terbitnya SK. Dirjen Agraria (Sarwata, SH.) No. 78/HP/DA/87 yang memuat antara lain:

a. Membatalkan SK.No.217/HP/DA/76 tentang pemberian tanah Hak Pakai kepada PT.Surya Dirgantara ;

b. Memberikan tanah Hak Pakai seluas 201.000.m2 kepada Yayasan TNI-AU “Adi Upaya” (YASAU);

c. Mempertimbangkan bahwa tanah yang dimohonkan dan diberikan kepada YASAU tersebut adalah “tanah Negara”.

Padahal, melalui isi SK. Dirjen Agraria No.217/HP/DA/76 yang dibatalkan tersebut, jelas memperlihatkan bahwa “tanah Negara” yang diberikan kepada YASAU sesungguhnya adalah tanah Adat yang kemudian hari dikenal sebagai tanah Grant Sultan No. 1 Tahun 1935. Hal ini dapat dirujuk kepada fakta-fakta berikut :

a. Surat Kuasa Ahliwaris Dt. M. Cheer tentang pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk mengalihkan hak tanah adat (GS.1/1935), yang didaftar di hadapan Notaris A.P. Parlindungan,SH.

b. Surat Keterangan DELI MAATSCHAPPIJ tertanggal 30 Agustus 1892 dan tanggal 3 Februari 1946 tentang perjanjian sewa lisan antara perusahaan Deli Maatschappij dengan Dt.M.Cheer sebagai pemilik;

c. Surat Pernyataan Penanggalan Hak No.76/1974 tanggal 17 Desember 1976 dihadapan Kepala Kantor Agraria Medan, tentang penanggalan hak ahliwaris atas tanah adat (GS.1/1935) kepada PT.Surya Dirgantara;

Pelekatan “tanah Negara” selanjutnya di atas tanah Grant Sultan, dilakukan oleh BPN ketika menerbitkan Hak Pakai No. 190/Polonia an. YASAU yang kemudian berubah berubah menjadi HGB No. 1/1990 an. PT. Taman Malibu Indah (PT. TMI), setelah terjadinya jual beli tanah antara YASAU dengan PT. TMI. Hal tersebut dapat dilihat melalui fakta-fakta berikut :

a. Surat Kepala BPN No.570.22-2565, menyatakan Blad C 4, 5, dan 6 sebagai asal tanah Hak Pakai No.194/Polonia/1989 an. YASAU;

b. Nota Dinas Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah BPN No.39/ND/PTIP/VU90 tanggal 19 Juni 1990, menyatakan pendapat BPN bahwa Blad C 4, 5 dan 6 adalah asal tanah yang dikuasai oleh YASAU.

c. Surat Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan No. 2.30-3592/J/PKM/89 tanggal 18 September 1989, menyatakan Blad C 4, 5 dan 6 sebagai asal tanah Hak Pakai No.194/Polonia/1989 atas nama YASAU;

Ternyata pemanipulasian “tanah Negara” di atas tanah Grant Sultan tersebut di atas dianulir atau dibatalkan sendiri oleh BPN melalui fakta-fakta berikut :

a. Hasil pemeriksaan Deputi Bidang Pengawasan BPN (Badan Pertanahan Nasional) No.38/ND/DV/I1/91 tanggal 26 Februari 1991 menyimpulkan : Keberadaan atau eksistensi tanah Grant Sultan No.1 Th.1935 tercatat atas nama Tengku Otteman dan telah diserahkan kepada Dt.M.Cheer, dan terdaftar di Kantor Asisten Wedana Kecamatan Delitua tahun 1950.

b. Analisa dan kesimpulan Laporan Deputi Bidang Pengawasan BPN.No.11/DV/LHP/K/ WI/1/91 tanggal 22 Januari 1991 menyimpulan : Secara juridis formal diakui adanya tanah ahliwaris Dt.M.Cheer seluas 35 Ha., yang terletak di Jl.Karangsari, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan. Dan ternyata sebagian dari tanah tersebut tumpang tindih dengan tanah Hak Pakai No.194/Polonia atas nama YASAU.

c. Surat Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan No. 600.666/04/PKM/2001 tanggal 17 April 2001 tentang kesalahan lokasi “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 yang diduduki PT. Taman Malibu Indah, sebagaimana tersebut di bawah ini:

a. Blad C 4 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Anggrung dan Kelurahan Jati;

b. Blad C 5 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Jati dan Kelurahan Polonia;

c. Blad C 6 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Hamdan dan di Jalan Juanda, Kelurahan Sukadamai;

d. Lokasi Perumahan Taman Malibu Indah ternyata tidak terdapat pada Blad C 4, C 5 dan C 6.

Bukti kesalahan bahwa PT. TMI tidak menduduki “tanah Negara” melainkan tanah Grant Sultan, sekalipun Mahkamah Agung melalui Putusan No. 27 PK/TUN/1997 tidak menggubrisnya, seharusnya BPN yang telah melakukan dan mengakui kesalahannya membatalkan sendiri HGB No. 1/1990 an. PT. TMI yang diterbitkannya (Confessio facta in judicio omni probatione major est). Sebab Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 telah mengatur mengenai pembatalan sertifikat sebagaimana tersebut di bawah ini.
Pasal 1 angka (14) :
Pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 106 ayat (1) :
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
Pasal 106 ayat (2) :
Permohonan pembatalan hak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 107 :
Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) adalah:
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Fakta atau bukti bagaimana PT. TMI dapat menikmati hak-hak keperdataan yang diperoleh dari kejahatan BPN di atas tanah Grant Sultan, sangat meluluhlantakkan kehidupan para ahliwaris Dt. M. Cheer selama kurang lebih 30 tahun (Nemo ex suo delicto meliorem suam conditionem facere potest).

Harapan terakhir para ahliwaris Dt. M. Cheer yang telah uzur, setelah dua puluh tahun lebih BPN berulangkali menolak permohonan pembatalan HGB No. 1/1990 an. PT. TMI, berharap agar Presiden RI. berkenan menegur Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk membatalkan HGB No. 1/1990 an. PT. TMI yang terbukti CACAT HUKUM.

*****

PUTUSAN PK 3 KALI DALAM SATU PERKARA

Hukum acara untuk pemeriksaan permohonan peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur di dalam Pasal 66 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 menyebutkan : “Permohonan peninjauan kembali diajukan hanya 1 (satu) kali”. Lalu, apabila Hakim Agung sendiri yang melabrak ketentuan tersebut dengan cara melakukan pemeriksaan PK hingga tiga (3) kali, akankah putusan yang demikian ini layak dihormati sebagai putusan yang berkeadilan dan berkekuatan hukum tetap? Sungguh miris dan ironis !!!

Apapun alasannya, pelanggaran hukum acara seperti tersebut di atas tidak seharusnya terjadi di dalam suatu Negara hukum, apabila HAKIM memeriksa, menimbang dan memutuskan perkara berdasarkan kemampuan hukum yang mumpuni, teristimewa memiliki naluri hukum yang mencerminkan rasa damai bagi masyarakat pencari keadilan (justitiabelen). Namun apa yang terjadi dalam perkara tata usaha Negara (TUN) antara para ahliwaris Dt. M. Cheer melawan Badan Pertanahan Nasional, dkk., adalah Hakim tidak lagi memiliki naluri hukum dan keadilan, sehingga melahirkan putusan-putusan yang “tak masuk akal” atau absurd.

Melalui artikel “Kejahatan Hukum Ketua MA”, telah disampaikan bagaimana mantan ketua MA Sarwata, SH. telah mengadili perkara No. 27 PK/TUN/1997 yang objeknya terkait langsung dengan dirinya, yaitu Keputusan Dirjen. Agraria No. 78/HP/DA/87 yang diterbitkan oleh Sarwata, SH. saat menjabat sebagai Dirjen Agraria. Hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan : “Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung”.

Konsekwensi atas pelanggaran hukum acara yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH. tersebut, Mahkamah Agung “tidak berdaya” menghadang keberatan kuasa hukum ahliwaris Dt. M. Cheer tentang pembatalan atau “menyatakan Putusan No. 27 PK/TUN/1997 tidak mempunyai kekuatan hukum”. Ketidakberdayaan MA mempertahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 tentang permohonan PK hanya satu kali, adalah fakta pelanggaran ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Hakim yang tidak diperkenankan mengadili perkara yang objeknya terkait langsung atau tidak langsung dengan dirinya, yang dilakukan oleh Ketua MA (Sarwata) sendiri.

Baca juga  Minggu Kasih di Rumah Panti Jompo, Kapolres Metro Jakut Serahkan Kursi Roda

Bagaimana kemampuan dan karakter Hakim-hakim yang di“Agung”kan untuk memperbaiki pelanggaran hukum acara yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH., terlihat dari pertimbangan dan putusan-putusan PK TUN yang sangat absurd secara hukum, sebagaimana disampaikan di bawah ini.

1. Majelis Hakim PK (kedua) No. 02 PK/TUN/1998 menimbang dan memutus bahwa PELANGGARAN HUKUM ACARA OLEH KETUA MA SARWATA, SH. tidak dapat diterima atau niet ontvanklijke verklaard (NO), dengan alasan/pertimbangan bahwa pasal 66 (1) UU.No.14 Th.1985 hanya mengijinkan permohonan PK satu kali; —————-
*Pertimbangan dan putusan hukum seperti ini sangat tidak layak dilakukan oleh hakim agung demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab, apabila majelis PK ini takluk di bawah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH., maka mereka tidak lebih dari “penjahat” yang membiarkan penjahat lain melakukan kejahatan depan mata.
*Alasan/pertimbangan Pasal 66 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 tidak layak lagi digunakan, dalam hal Ketua MA Sarwata, SH. melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 14 Tahun 1985. Jangankan untuk melanggar hukum, sekalipun dunia runtuh keadilan harus ditegakkan (Pro Justitia Roeat Coulum).

2. Majelis Hakim PK (ketiga) No. 27 PK/TUN/1996 tanggal 18-9-2002 yang diketuai oleh Ketua Mahkamah Agung (Bagir Manan), memberikan putusan yang pertimbangan dan amar putusannya sama atau identik dengan Putusan No. 27 PK/TUN/1996 (pertama) tanggal 26-06-1997, hanya beda majelis Hakim dan Panitera saja ——————–
*Majelis PK dalam Putusan No. 27 PK/TUN/1996 ketiga tanggal 18-9-2002 tersebut, sama sekali tidak mempertimbangkan “latar belakang” pelanggaran ketentuan Pasal 42 UU No. 14 Tahun 1985 yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH.
* Melalui Putusan No. 27 PK/TUN/1996 ketiga tanggal 18-9-2002 ini, terbukti kembali bahwa hakim PK ketiga takluk di bawah pelanggaran ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH. Dengan kata lain, hakim majelis PK ketiga ini, tidak lebih dari “penjahat” yang membiarkan kejahatan Ketua MA Sarwata, SH. yang begitu jelas di depan mata (One tends to blink at the fault of someone’s friend).
*Hakim majelis PK ketiga ini, sengaja mengenyampingkan fakta atau bukti bahwa tanah yang diduduki oleh PT. TMI berdasarkan SK Dirjen Agraria Sarwata, SH._ Hak Pakai No. 194/Polonia an. Yasau_ HGB No. 1/1990 an. PT.TMI adalah eks tanah Adat (Grant Sultan No. 1 Tahun 1935).
* Hakim majelis PK ketiga ini, tidak mempertimbangkan bukti bahwa “tanah Negara” (Blad C4, 5, dan 6) yang diduduki PT. Taman Malibu Indah (PT. TMI) berdasarkan SK Dirjen Agraria Sarwata, SH._ Hak Pakai No. 194/Polonia an. Yasau_ HGB No. 1/1990 an. PT.TMI tidak berada di atas tanah yang diduduki oleh PT. TMI.
* Bukti pengakuan kesalahan lokasi tanah tersebut di atas dinyatakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan melalui Surat No. 600.666/04/PKM/2001 tanggal 17 April 2001 yang menyatakan :
a. Blad C 4 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Anggrung dan Kelurahan Jati;
b. Blad C 5 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Jati dan Kelurahan Polonia;
c. Blad C 6 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Hamdan dan di Jalan Juanda, Kelurahan Sukadamai;
d. Lokasi Perumahan Taman Malibu Indah ternyata tidak terdapat pada Blad C 4, C 5 dan C 6.

Dengan demikian terbukti bahwa mengapa perkara PK TUN antara ahliwaris Dt. M. Cheer melawan BPN, dkk. harus dilakukan sampai tiga kali, adalah akibat dari :
1. Pelanggaran ketentuan Pasal 42 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH. dalam PK kesatu.
2. Majelis Hakim PK kedua dan Majelis Hakim PK ketiga, sengaja melindungi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ketua MA Sarwata, SH.
3. Majelis Hakim PK ketiga, sengaja melindungi kejahatan BPN yang merubah status tanah Adat (Grant Sultan No. 1 Tahun 1935) menjadi tanah Negara (Blad C 4, 5, dan 6).
4. Majelis Hakim PK ketiga, sengaja melindungi kejahatan PT. TMI yang telah menduduki tanah yang bukan haknya.

Apakah fakta-fakta pelanggaran atau bahkan kejahatan hukum yang telah dilakukan oleh para Hakim Agung tersebut di atas akan berhenti sebatas ketiga putusan PK tersebut ? Tentu tidak !!! Sebab, kebaradaan peradilan melalui wewenang hakim-hakimnya adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan untuk melindungi pelanggaran atau kejahatan hukum yang dilakukan oleh siapapun (boni judicis est ampliare jurisdictionem).

Untuk itu, tidak ada alasan Mahkamah Agung untuk tidak menyelesaikan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sarwata, SH. melalui proses peradilan yang benar dan adil. Sebab, selama MA tidak memperbaiki pelanggaran hukum yang dilakukan oleh ketua MA tersebut, maka selama itu pula para ahliwaris Dt. M. Cheer berhak mengajukan PK keempat dan seterusnya, hingga kebenaran dan keadilan dalam perkara antara ahliwaris Dt.M. Cheer melawan BPN, dkk. ditegakkan.

*****

SURAT KEPALA KANTOR PERTANAHAN MEDAN NO. 600.666/04/PKM/2001
MEMBATALKAN PUTUSAN TUN, PERDATA, DAN PIDANA
DI ATAS TANAH GRANT SULTAN

Judul artikel tersebut di atas kelihatannya tidak mungkin atau mengada-ada, atau hanya sekedar judul bombastis untuk menarik perhatian para pembaca. Benarkah demikian ? Meskipun memang tidak terjadi pembatalan putusan-putusan secara de facto, tetapi secara de jure putusan-putusan cacat hukum tersebut harus dinyatakan batal demi hukum. Masalahnya adalah pemahaman aparat hukum tentang pengertian “batal demi hukum” sangat tidak memadai. Sehingga suatu putusan yang terbukti memuat suatu pelanggaran hukum, baik dalam persfektif hukum tata usaha negara maupun putusan pengadilan, tidak pernah diluruskan atau bahkan dibatalkan secara ex officio demi kebenaran dan keadilan hukum itu sendiri. Lebih ironisnya, ketika pihak yang dirugikan mengajukan permohonan pembatalan terhadap suatu putusan yang batal demi hukum, aparat hukum yang terkait berdalih atau tidak mau tahu akan kesalahan yang diperbuatnya.

Secara umum, kecuali putusan kasasi No. 56 K/TUN/1995, putusan TUN, Perdata, dan Pidana mengalahkan para ahliwaris Dt. M. Cheer, dengan pertimbangan bahwa dalil “tanah Negara” yang diajukan pihak BPN, Kepala Kantor Pertanahan, YASAU, dan PT. TMI adalah benar dan dikuatkan dalam putusan-putusan tersebut. Dengan kata lain, sekalipun Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan telah mengakui adanya kesalahan (error in objecto) dalam penunjukan tanah yang diduduki oleh PT. TMI, tetapi putusan TUN, Perdata, dan Pidana tidak dicabut atau tercabut secara serta merta demi hukum, sekalipun pihak ahliwaris Dt. M. Cheer telah mengajukan fakta “kejahatan hukum” di dalam putusan-putusan tersebut. Dalam konteks kebenaran dan keadilan hukum, layakkah putusan seperti ini dinyatakan sebagai produk penegakan hukum (law enfocement) dalam konstelasi peradilan di Indonesia ?

Sebelum putusan peradilan TUN, Perdata, dan Pidana berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kecenderungan putusan tersebut akan mengarah kepada kecacatan dan kebatalan demi hukum (ipso jurenietige) sudah sangat jelas melalui fakta dan peristiwa hukum di atas tanah Grant Sultan (een waarheid als een koe). Fakta-fakta kebenaran hukum yang segede “kebo” tersebutlah yang dilihat dan dipahami oleh majelis hakim kasasi dalam Putusan No. 56 K/TUN/1995, sehingga melahirkan putusan yang membatalkan HGB No. 1/1990 an. PT. Taman Malibu Indah (PT. TMI). Artinya, bila hakim dalam memeriksa perkara TUN, Perdata, dan Pidana termaksud menggunakan ratio atau nalar hukum yang seharusnya (redelijke moeten vermoeden), maka putusan yang dilahirkan pasti sama atau ada kesamaan dengan putusan kasasi No. 56 K/TUN/1995.

Ternyata, setelah putusan TUN, Perdata, dan Pidana yang mempertahankan dalil “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 berkekuatan hukum tetap, terbit surat Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan No. 600.666/04/PKM/2001 yang secara tegas menyatakan :

Baca juga  DOA MENEGUHKAN IMAN

a. Blad C 4 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Anggrung dan Kelurahan Jati;
b. Blad C 5 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Jati dan Kelurahan Polonia;
c. Blad C 6 menunjuk kepada tanah yang berlokasi di Kelurahan Hamdan dan di Jalan Juanda, Kelurahan Sukadamai;
d. Lokasi Perumahan Taman Malibu Indah ternyata tidak terdapat pada Blad C 4, C 5 dan C 6.

Apabila Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan, sebagai Tergugat/Pemohon PK dalam perkara TUN, telah mengakui bahwa lokasi tanah yang diduduki PT. TMI tidak berada di atas “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6, maka Putusan No. 27 PK/TUN/1996 menjadi tidak bernilai secara hukum. Dengan kata lain, dalam hal majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari BPN, dkk. berdasarkan pertimbangan “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 dari berbagai sudut pandangnya, maka putusan yang dihasilkan berdasarkan pertimbangan tersebut menjadi cacat dan batal demi hukum. Kalaupun putusan tersebut (No. 27 PK/TUN/1996) memang harus dipaksakan pemberlakuannya, maka PT. Taman Malibu Indah harus menduduki “tanah Negara” yang ada pada Blad C 4, 5, dan 6 sebagaimana yang ditunjuk dalam surat No. 600.666/04/PKM/2001. Menjadi ironis, apabila di satu sisi BPN, Kantor Pertanahan Kodya Medan, YASAU, dan PT. TMI ngotot mempertahankan Putusan No. 27 PK/TUN/1996 sebagai landasan hukum pemberlakuan HGB No. 1/1990 an. PT. TMI, tetapi di sisi lain PT. TMI tidak mau pindah dan menduduki “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 sebagaimana yang ditunjuk oleh surat No. 600.666/04/PKM/2001.

Ratio atau nalar hukum dalam perkara TUN, Perdata dan Pidana adalah sama ketika proses peradilan bermuara pada pencarian dan penegakan hukum yang sesungguhnya. Pertama, bila merujuk pada peradilan perdata, di mana PT. TMI, dkk. sebagai Tergugat mengajukan dalil “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 sebagai dasar HGB No. 1/1990 an. PT. TMI, maka berdasarkan surat No. 600.666/04/PKM/2001 dari Kepala Kantor Kodya Medan PT. TMI wajib menduduki tanah yang ditunjuk oleh surat No. 600.666/04/PKM/2001 tersebut. Untuk lebih jelasnya, apabila Kepala Kantor Kodya Medan sebagai Tergugat dalam perkara perdata ini dan sekaligus sebagai pihak yang menerbitkan HGB No. 1/1990 an. PT. TMI telah mengakui kesalahan lokasi tanah yang diduduki oleh PT. TMI, maka PT. TMI harus menduduki “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 yang ditunjuk No. 600.666/04/PKM/2001 demi hukum. Konsekwensi hukum lebih lanjut dari pendudukan tanah yang bukan miliknya, PT. TMI telah melakukan tindak pidana Pasal 263 ayat 2 KUHP jo. Pasal 264 ayat 2 KUHP tentang penggunaan akta otentik yang dipalsukan. Dalam waktu yang bersamaan, Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan yang terbukti memasukkan data palsu (“tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6) ke dalam HGB No. 1/1990 an. PT. TMI, harus disangka/didakwa melakukan tidak pidana pemalsuan akta otentik eks Pasal 263 ayat 1 dan Pasal 264 ayat 1.

Kedua, bila merujuk pada putusan pidana yang menghukum para ahliwaris Dt. M. Cheer 1,5 tahun tanpa masuk penjara berdasarkan penggunaan Grant Sultan No. 1/1935 palsu, sangat absurd atau tidak masuk akal. Mengapa absurd ? Ada beberapa prinsip hukum yang diabaikan atau sengaja ditutupi dalam proses pidana dimaksud :

*Bahwa penghukuman para ahliwaris Dt. M. Cheer yang berujung pada putusan kasasi No. 1586 K/Pid/2000 berawal dari laporan pihak YASAU berdasarkan LP/1009/K-3/IV/1996/Ops/Tabes tanggal 24 Mei 1996. Padahal pihak YASAU tidak mempunyai hak hukum untuk melaporkan para ahliwaris Dt. M. Cheer, sebab “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6 sudah dijual kepada PT. TMI berdasarkan Akta Kepala Kantor BPN Medan No.396/PH/MB/1990 tanggal 6 Juli 1990. Artinya, unsur kerugian dalam Pasal 263 ayat 2 jo. Pasal 264 ayat 2 tidak ada lagi pada pihak pelapor YASAU. Dengan kata lain, YASAU tidak lagi pihak “persona standing in judicio” dalam kasus perkara tanah Grant Sultan yang direkayasa menjadi “tanah Negara”.
*Bahwa bukti-bukti kepemilikan ahliwaris Dt. M. Cheer di atas rekayasa “tanah Negara” Blad C 4, 5, dan 6, sudah dibuktikan sendiri oleh BPN melalui :
a. Analisa dan Kesimpulan Laporan Deputi Bidang Pengawasan BPN dalam Surat No.11/DV/LHP/K/W1/1/91 tanggal 22 Januari 1989 menyimpulkan : “Secara juridis formal diakui adanya tanah ahliwaris Dt.M.Cheer seluas 35 Ha., yang terletak di JI.Karangsari, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan. Dan ternyata sebagian dari tanah tersebut tumpang tindih dengan tanah Hak Pakai No.194/Polonia atas nama YASAU.
b. Hasil Pemeriksaan Deputi Bidang Pengawasan BPN, melalui surat No. 38/ ND/ DV/11/91 tanggal 26 Februari 1991 menyimpulkan : “Keberadaan atau eksistensi tanah Grant Sultan No.1 Th.1935 tercatat atas nama Tengku Otteman dan telah diserahkan kepada Dt.M.Cheer, dan terdaftar di Kantor Asisten Wedana Kecamatan Delitua tahun 1950.”
c. SK Dirjen. Agraria No .217/HP/DA/1976 merujuk kepada :
1. Surat Kuasa Ahliwaris tentang pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk mengalihkan hak tanah adat (GS.1/1935), yang didaftar di hadapan Notaris A.P. Parlindungan,SH.
2. Surat Keterangan DELI MAATSCHAPPIJ tertanggal 30 Agustus 1892 dan tanggal 3 Februari 1946 tentang perjanjian sewa lisan antara perusahaan Deli Maatschappij dengan Dt.M.Cheer sebagai pemilik;
3. Surat Pernyataan Penanggalan Hak No.76/1974 tanggal 17 Desember 1976 dihadapan Kepala Kantor Agraria Medan, tentang penanggalan hak ahliwaris atas tanah adat (GS.1/1935) kepada PT.Surya Dirgantara.

d. Surat Kepala Kantor Pertanahan Kodya Medan No. 600.666/04/PKM/2001 tanggal 17 April 2001 sebagaimana sudah disampaikan di atas

Fakta atau bukti tersebut di atas sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa PT. TMI bukanlah pemilik tanah Grant Sultan yang didudukinya sekarang. Lalu apa kaitannya dengan batalnya pemidanaan para ahliwaris Dt. M. Cheer melalui putusan kasasi No. 1586 K/Pid/2000 demi hukum? Dengan logika sederhana sangat dapat untuk dicerna. Sebab, tidak mungkin seseorang yang bukan pemilik barang (tanah) akan melaporkan orang lain yang mengambil/menduduki barang/tanah yang bukan miliknya. Untuk lebih jelasnya secara hukum, bahwa unsur “kepemilikan” sangat erat kaitannya dengan unsur “kerugian” yang bersifat conditio quod non dalam Pasal 263 ayat 2 jo. Pasal 264 ayat 2 KUHP. Kalaupun unsur kerugian merupakan fakta yang dialami oleh PT. TMI, maka kerugian tersebut bukan unsur yang dapat ditujukan kepada ahliwaris Dt. M. Cheer tetapi kepada YASAU dan BPN, sebab kedua institusi inilah yang berkonspirasi memasukkan data palsu ke dalam HGB No. 1/1990 an. PT.TMI. Sehingga hubungan hukum “unsur kerugian” antara PT. TMI dan para Ahliwaris Dt. M. Cheer sama sekali tidak ada.
Apakah para ahliwaris Dt. M. Cheer menggunakan Grant Sultan No. 1/1935 palsu? Sama sekali tidak. Esensinya, sebelum diketemukannya GS. 1/1935, para ahliwaris Dt. M. Cheer telah terbukti sebagai pemilik tanah yang diduduki PT. TMI, sebagaimana dibuktikan melalui fakta-fakta yang telah disampaikan di atas. Kalaupun di kemudian hari, setelah tampilnya fakta kepememilikan para Ahliwaris Dt. M. Cheer di atas tanah yang diduduki PT. TMI, GS. 1/1935 diketemukan, bukan berarti hak para Ahliwaris Dt. M. Cheer menjadi hilang. Sehingga, andai Hakim mau menggunakan “logika sederhana” saja terhadap peristiwa-peristiwa hukum di atas tanah yang diduduki PT. TMI, maka Hakim akan “melihat” tidak ada relevansi hukumnya dengan palsu atau tidaknya GS. 1/1935.

Bagaimana Hakim membuktikan kepalsuan GS. 1/1935? Di sinilah kelihatan bagaimana “sumbu pendek”nya Hakim dalam pembuktian. Pertama, Hakim tidak pernah menghadirkan GS. 1/1935 yang asli versi Hakim sendiri, kecuali menghadirkan foto copy Grant Sultan dengan nomor yang berbeda. Kedua, pembuktian fisik GS. 1/1935 yang katanya “palsu” hanya berdasarkan kesaksian-kesaksian yang tidak pernah menyaksikan Grant Sultan. Ketiga, Hakim tidak berani memerintahkan penyitaan dan atau pemusnahan GS. 1/1935 yang katanya palsu. Keempat, Hakim menghukum para Ahliwaris Dt. M. Cheer 1,5 tahun tanpa dipenjara. MelaLui fakta-fakta persidangan dan amar putusan tersebut, meMbuktikan bahwa Hakim telah memutus perkara di atas KEYAKINAN HUKUM YANG SESAT. Dengan kata lain, tujuan dari persidangan GS. 1/1935 “palsu” bukan penjeraan (deterrent effect), tetapi sekedar melegitimasi PERAMPASAN TANAH ADAT (GS. 1/1935) MILIK PARA AHLIWARIS DATUK MUHAMAD CHEER.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here