DEBAT CALON PRESIDEN: PENTINGKAH?
– Studi Literatur
Oleh: Denny JA
Ujar Margaret Heffernan, “untuk mendapatkan gagasan yang kuat dan inovasi yang benar, debat diperlukan.” Benturan perspektif, data dan argumen, ibarat hantaman palu yang memukul-mukul, membuat tembaga menjadi piala.
Itu pula awal dan latar belakang yang akhirnya melahirkan debat calon presiden. Bulat dan lonjang sebuah negara bisa dipengaruhi oleh kebijakan presiden. Karena itu sebelum presiden terpilih, sebelum kebijakannya direalisasi, biarkan capres itu berdebat, saling mengkritik dan menunjukkan kelemahan posisi isu, atau kompetensi sang calon sendiri.
Demkianlah publik Indonesia berjumpa lagi dengan debat capres. Kamis malam, 17 Jan 2019, debat pertama capres Jokowi vs Prabowo, disiarkan langsung oleh banyak TV.
Tapi sebenarnya seberapa besar efek debat itu bagi perubahan dukungan? Seberapa signifikan debat dapat menentukan siapa yang terpilih sebagai capres? Atau apa efek debat capres dalam kehidupan politik yang lebih luas?”
Puluhan riset sudah dibuat untuk mengukur fungsi debat bagi prilaku pemilih dan kultur demokrasi. Saya sarikan temuan itu dan insight untuk kasus Indonesia.
-000-
Satu studi debat capres yang bisa dirujuk ditulis oleh Mitchell Mckinney dan Benyamin R Warner: Do Presidential Debates Matter? Examining a Decade of Campaign Debate Effect. McKinney dan Warner meriset empat era debat presiden Amerika Serikat di tahun 2000 sampai dengan 2012.
Dalam empat pemilu pilpres, ia meneliti tak hanya kasus dua pertahana berdebat untuk terpilih kembali. Tapi ia juga mengamati dua pemilu presiden AS yang sama sekali tanpa pertahana.
Peneliti ini tak hanya menggunakan data survei nasional, namun juga survei panel eksperimen sebelum dan pasca debat. Tak hanya survei, ia juga menggunakan alat “Feeling thermometer” yang dilekatkan kepada tangan peserta yang diteliti ketika menonton debat. Gejolak emosi peserta itu selama debat berlangsung cukup terbaca melalui alat itu.
Apa hasil dari riset McKinney dan Warner? Kesimpulannya memperkuat temuan para akademisi sebelumnya.
Pertama, mereka yang menonton debat calon presiden, tak banyak yang mengubah pilihan capres. Sekitar 86 persen – 90 persen tetap bertahan dengan posisi awal sebelum debat.
Kedua, yang lebih terpengaruh berubah pilihan setelah menonton debat capres lebih banyak di kalangan undecided voters. Tapi jumlahnya undecided voters yang berubah, dari belum memilih menjadi memilih capres, hanya 7 persen.
Sedangkan yang sudah punya pilihan lalu mengubah pilihannya (dari satu capres ke capres lain) setelah menonton debat, totalnya hanya 3.5 persen. Dan yang sudah memilih calon presiden lalu malah menjadi undecided voters setelah menonton debat capres hanya 3.3 persen.
Ketiga, tak terjadi perubahan dramatis dari pemilih yang menonton debat capres. Jangan mengharapkan debat capres misalnya mengubah pola: capres yang menang dalam dukungan publik sebelum debat capres menjadi kalah (setelah debat capres). Atau sebaliknya.
Apalagi debat capres Amerika Serikat paling banyak ditonton oleh 30-35 persen populasi saja. Sejauh ini, debat presiden yang paling banyak ditonton dari sisi prosentase tetaplah debat presiden pertama AS era disiarkan TV secara langsung: debat antara Kennedy versus Nixon tahun 1960.
Jika tak ada efek elektoral, mengapa debat capres dipertahankan bahkan menjadi satu program pemilu presiden yang penting?
Riset menunjukkan hal positif untuk kasus lain. Fungsi debat capres memang lebih pada edukasi politik bagi publik. Setelah menonton debat, secara signifikan warga lebih ingin tahu soal isu. Mereka juga lebih terlibat dalam proses kampanye. Mereka lebih ingin berpartisipasi dalam politik praktis.
Di luar studi McKinney dan Warner, ada pula temuan dari peneliti lain yang penting. Setelah menonton debat, pemilih yang sudah menentukan pilihan cenderung hanya memperkuat pilihannya. Dan yang mungkin jarang diduga, mayoritas penonton debat, lebih dipengaruhi oleh penampilan capres, gaya berkomunikasi, dibandingkan kedalaman argumen.
Yang kritis justru umumnya media di Amerika Serikat. Sudah berkembang di sana apa yang disebut tradisi Fact Checking. Aneka fakta, data dan klaim yang dibuat capres segera diverifikasi yang mana yang benar, setengah benar dan salah.
Ini penting bagi kultur demokrasi!
-000-
Debat capres bisa menjadi signifikan bagi menang dan kalah capres yang bertarung jika selisih elektoral capres yang bersaingan sangat ketat. Perubahan 2-3 persen saja setelah debat capres, misalnya, bisa menentukan pemenang yang berbeda.
Untuk Indonesia saat itu, itu bukan kasus. Lima lembaga survei nasional sebelum debat capres tapi setelah Reuni 212, di bulan Desember 2018, merilis hasilnya. Yaitu LSI Denny JA, Indikator, Y Republika, Alvara dan Charta Politica.
Walau kelima lembaga ini tak saling berkoordinasi, hasilnya mirip. Jokowi masih menang sekitar 20 persen.
Tidak terlalu relevan membicarakan efek elektoral debat capres terhadap kemungkinan menang dan kalah Jokowi dan Prabowo. Selisihnya sebelum debat masih 20 persen. Menang dan kalah Jokowi versus Prabowo lebih disebabkan oleh variabel lain, di luar debat capres.
Belum pula kita tahu untuk kasus di Indonesia, apakah debat capres membangkitkan kegairahan warga mendalami isu. Atau setelah menonton debat mereka akan lebih aktif dalam kampanye?
Seandainyapun debat capres baru bernilai hiburan politik, sejenis political entertainment ala talk show itupun tak mengapa. Kematangan dalam politik, juga dalam hal lain, walau lambat tetap berharga untuk ditradisikan.
Bukankah kita cukup sabar menanam benih hingga akhirnya tumbuh bunga mawar?***
(Menjelang Debat Capres 17 Januari 2019)
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1974626825966790/