Oleh: Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Hoaks atau kabar bohong telah membanjiri ruang sosial. Para ahli menyebut ini ciri era baru yang disebut post-truth society. Suatu masyarakat yang enggan mengakui standar lama dalam menafsir kebenaran dan cenderung secara subyektif “merumuskan” kebenaran parsial yang menabrak kesepakatan sosial tentang semua hal, termasuk tentang tesis moral itu sendiri. Dalam masyarakat pasca-fakta ini, politik menjadi ruang berkecamuknya kabar bohong dan kabar benar; narasi baik dan buruk; intensi positif dan intensi negatif.
Para politisi melihat kondisi ini sebagai peluang untuk meraih kekuasaan. Logika curang dan strategi kebohongan menjadi trend baru yang dibungkus demgan istilah “negative campaign” yang sebetulnya dalam praksis menjadi “black campaign” alias kampanye hitam. Semua dianggap wajar karena politik demokrasi elektoral dipahami sebagai pertarungan menang- kalah, bukan benar-salah. Logika pragmatisme menjadi arus utama.
Hoaks tentang tujuh kontainer surat suara yang dihembuskan lewat akun medsos kader Demokrat, Andi Arief, saat ini menambah rumit ruang politik tetapi tetap saja dinikmati sebagai pertunjukan wajar oleh para politisi pecundang.
Lembaga Pemilih Indonesia mengapresiasi kerja keras Polri dalam menangani kasus ini dan kasus lain sebelumnya. Apakah dengan itu hoaks akan berhenti?
Sebagai skenario politik, hoaks tetaplah sebuah strategi. Pelaku hanya berhenti ketika kekuasaan diraih. Karena tujuan dari semua itu adalah kekuasaan. Sama seperti agama yang didagangkan atau sentimen etnik yang dipolitisir.
Apakah itu artinya hoaks kontainer surat suara itu by design? Ya! Itu bukan soal benar atau salah, tapi soal bagaimana membentuk persepsi publik. Hoaks Ini skenario memenangkan persepsi publik. Hati-hati, di banyak negara, pola ini sudah sukses menghantar pecundang menjadi presiden atau perdana menteri. Preseden itu yg meningkatkan libido para pecundang dalam kasus kontainer ini.
Maka, yang harus dikaji adalah motif politik dan afiliasi para penyebar hoaks dengan partai atau tim kampanye politik. Pasti ada sambungnnya. Polisi mesti menyasar design besar di balik itu sehingga kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pembangunan kesadaran politik masyarakat. Mereka yang rasional akan marah dan yang kurang rasional mungkin terpengaruh oleh hoaks ini. Tapi bagaimanapun,
pengungkapan kasus ini membantu pemilih untuk belajar bersikap rasional dalam pemilu.
LPI berharap, pemilih makin sadar melihat rancangan jahat di balik hoaks yang terus berkembang subur. Hanya dengan begitu, pemilu 2019 dapat menghasilkan pemimpin yang tepat dan baik untuk rakyat Indonesia.
Pemilih tidak cukup mengamati adegan dan narasi yang muncul di permukaan tetapi harus menggali informasi tentang masa lalu para kandidat dan para pendukungnya. Kita tidak ingin demokrasi menjadi kuda Troya yang menghantar para begundal dan genderuwo menjadi pemimpin di negeri ini.
JAKARTA, 11 Januari 2019