Oleh: Weinata Sairin
_”Nulla discordia major quam quae a religione fit. Tidak ada pertikaian yang lebih besar melebihi pertikaian yang dipicu oleh agama.”_
Adalah sebuah kenyataan yang tiada terbantahkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, masyarakat yang memeluk dan atau menganut agama-agama. Itulah posisi dan hakikat masyarakat dari sebuah NKRI yang majemuk. Mereka bukan sebuah masyarakat ateis, masyarakat yang secara sadar menyangkal dan tidak percaya kepada Tuhan. Bahwa perilaku sebagian masyarakat (elit) kita acapkali dan berulang-ulang menampilkan aib, dosa, kecemaran, perbuatan amoral yang sangat menghina dan merendahkan agama, namun posisi, status dan hakikat manusia Indonesia sebagai masyarakat beragama, tidak pernah bergeser.
Religiusitas bangsa ini amat kental mengemuka pada peringatan hari-hari besar keagamaan. Pada saat-saat seperti itu, tatkala hari-hari besar keagamaan ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Pemerintah, maka seluruh bangsa benar-benar tenggelam, menikmati dan menghayati hari besar agama yang hadir dalam ruang-ruang sejarah. Warga bangsa berbagai agama itu menyatuhati dan bersama merayakan hari besar keagamaan, saling mengucapkan selamat, saling berkunjung, bahkan saling berbagi kasih melalui aktivitas kuliner yang dilaksanakan menyambut hari besar keagamaan.
Kesadaran beragama dan kekentalan sikap beragama yang mengemuka pada hari besar keagamaan bukan sekadar pengulangan tradisi masa lampau sebagai produk dari local wisdom, atau semacam ‘demonstrasi sesaat’ dari kelompok agama. Religiusitas yang terjadi itu memiliki pendasaran tekstual oleh karena diksi-diksi agama, juga kita temui dalam berbagai dokumen kenegaraan kita.
Dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 misalnya dinyatakan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.’ Secara jelas itu adalah diksi agama, bukan terminologi sekuler. Kemerdekaan tercapai bukan hanya karena adanya persatuan solid antar warga bangsa yang plural, bukan karena semangat juang yang berkobar-kobar dari seluruh putra bangsa, tetapi juga karena intervensi Allah dalam sejarah bangsa. Allah bergerak dengan kuasaNya, Allah menolong dan memberkati bangsa ini sehingga kemerdekaan bisa dicapai.
Pada zaman baheula ketika masih ada GBHN agama selalu mendapat tempat dalam rumusan GBHN. GBHN 1988 misalnya merumuskan bahwa agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipanggil untuk secara terus menerus dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Apabila rumusan-rumusan tentang agama dalam GBHN itu secara konsisten dan kontinyu diwujudnyatakan dalam kehidupan konkret masyarakat maka kondisi keberagamaan kita akan lebih baik dan lebih maju dari apa yang sekarang ini kita hidupi.
Agama (baca : ajaran agama) memang harus menjadi darah daging dari kedirian manusia Indonesia, yang ber Pancasila. Agama tidak sekadar pengisi kolom KTP, disebut dalam CV; agama bukan kosmetik dan apendiks dalam kehidupan; agama juga bukan instrumen politik, alat kekuasaan. Agama adalah nilai luhur sakral-transendental yang memandu kehidupan pribadi seseorang, kehidupan komunitas, bahkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Agama itu harus _pure_, puritan, genuine dan otentik dan tidak dicampur dengan ingredients yang lain sehingga mereduksi nilainya yang sakral-transendental.
Agama tidak boleh menjadi sumber pertikaian, agama yang dipenuhi oleh nilai-nilai kudus, sakral, transendental, akan tercemar dan tercederai jika ia dijadikan sumber pemicu pertikaian, atau diframe, dijebloskan sebagai alat pemicu pertikaian yang muaranya adalah untuk mencapai power dan kekuasaan. Umat beragamalah yang amat bertanggungjawab untuk menjaga agar agamanya tetap sebagai agama yang memandu umat untuk menjalani kehidupan dunia. Dan bukan sebagai pemicu pertikaian demi mencapai kepuasan kekuasaan.
Selamat berjuang. God bless.