Komnas Perempuan: Jadikan HAM Perempuan Sebagai Nyawa Penegakan Hukum dan Keberadaban Berbangsa Refleksi Komnas Perempuan dalam Peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember

0
811

Refleksi Komnas Perempuan dalam Peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember

Jakarta, Suarakristen.com

 

Tahun 2018 adalah genap 70 tahun lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM), 20 tahun lahirnya Deklarasi Pembela HAM, 20 tahun
kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) sebagai sulung reformasi yang lahir sebagai bentuk
pertanggungjawaban negara atas Tragedi Mei 98. Pada peringatan hari HAM
internasional tanggal 10 Desember 2018 ini, Komnas Perempuan membuat
sejumlah catatan reflektif berbasis temuan dan kerangka HAM perempuan,
dalam rentang 20 tahun reformasi.

A.Instrumen HAM belum dijadikan pijakan keadilan bagi perempuan.
Indonesia sudah meratifikasi 8 dari 9 Konvensi HAM internasional. Sebuah
langkah yang harus diapresiasi. Namun, perspektif HAM dan gender masih
minim dipahami pengambil kebijakan, belum utuh dijadikan landasan
perlindungan bagi perempuan dan belum kuat diintegrasikan dalam pemajuan
HAM. Keadilan dan kesetaraan gender diruntuhkan oleh praktik hukum
nasional yang secara substansi diberlakukan sama baik kepada laki-laki
dan perempuan. Praktik penyelenggara negara dan penegak hukum
menggunakan kebijakan yang mengabaikan realitas diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Para pelaku seringkali menggunakan politik dan hukum sebagai perpanjangan tangan
melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Pengaturan penghapusan
diskriminasi tidak serta merta membuat perubahan pola pikir dan cara
pandang. Kesetaraan dan keadilan gender menjadi sulit diwujudkan.

Kepentingan atas nama hukum menjadi prioritas dibanding subtansi
keadilan. Kondisi ini bertentangan dengan arah RPJMN maupun SDG’S.
Keadilan gender adalah keadilan HAM, tak ada HAM tanpa hak perempuan.

B. Sistem legislasi yang carut marut, peradilan yang belum terpadu dan
masih sering mengkriminalisasikan perempuan korban. Untuk menggambarkan situasi ini, kasus yang paling bisa dilihat adalah yang dihadapi Baiq Nuril yang menjadi korban pelecehan seksual, namun justru dijerat dengan
pasal UU ITE. Dia bukanlah satu-satunya kasus kriminalisasi korban di
Indonesia.

Dari catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada Maret 2018, ada 15 kasus kriminalisasi perempuan korban yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Kriminalisasi perempuan, termasuk
perempuan pembela HAM, tidak luput dari minimnya perspektif HAM dan
gender di kalangan aparat penegak hukum. Lahirnya Peraturan Mahkamah
Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang
Berhadapan dengan Hukum, perlu diikuti dengan sejumlah langkah peningkatan kapasitas dan sumber daya, agar PERMA ini dapat diimplementasikan sebagai sebuah mekanisme afirmasi mempercepat kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam bidang hukum.

Baca juga  Ratusan Kader dan Alumni HMI Antusias Hadir di Momen Peletakan Batu Pertama Pembangunan Markas KAHMI Center

C.Isu kekerasan seksual yang semakin genting tapi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual belum kunjung disahkan. Tertundanya pengesahan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual hingga dua tahun terakhir, menyebabkan
perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual tidak dapat diwujudkan,
dan impunitas terhadap pelaku semakin menguat. Data Kekerasan Seksual
yang didokumentasi Komnas Perempuan sebanyak 40.211 kasus dari tahun
2008 hingga tahun 2017. Kejahatan seksual di dunia maya juga kian
kompleks, termasuk kriminalisasi korban kekerasan seksual melalui UU ITE. Data Kekerasan di dunia maya yang didokumentasi Komnas Perempuan
sepanjang tahun 2015 sampai 2017 sebanyak 87 kasus meliputi kasus
prostitusi online, penyebaran foto/video pribadi korban di media sosial
atau website pornografi dan lain lain. Kasus-kasus femisida (pembunuhan
terhadap perempuan karena ia perempuan) tidak sedikit yang berhubungan
dengan kejahatan seksual, tapi belum dikenali dalam catatan hukum di
Indonesia selain dianggap isu kriminal. Padahal femicida adalah puncak
dari kekerasan berbasis gender. Kompleksitas isu Kekerasan Seksual tak
beriring dengan langkah pencegahan dan penanganan yang sistemik. Hukum
kita sudah aus dan tidak memenuhi rasa adil dan pemulihan komprehensif
bagi perempuan korban.

D. Menyempitnya ruang toleransi dan mengerasnya politik identitas. Salah
satu kasus yang paling mengedepan adalah kriminalisasi terhadap Meliana,
salah satu korban pasal penodaan beragama. Belum lagi fragmentasi dan
politisasi agama maupun moralitas yang semakin runcing oleh politik elektoral, menyebabkan kelompok minoritas, makin rentan menjadi korban persekusi. Dalam kurun 10 tahun ini Komnas Perempuan mendokumentasi 421
kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas dimana negara
(khususnya daerah) melembagakan diskriminasi dalam tubuh negara yang
mengobjekkan perempuan, mengkriminalisasi, membatasi mobilitas dan identitas. Pembiaran kebijakan diskriminatif inilah yang menjadi lahan
subur bagi tumbuhnya fundamentalisme, radikalisme maupun ekstremisme
berkekerasan.

E.Minimnya pengakuan, perlindungan maupun dukungan bagi perempuan
pembela HAM. Komnas Perempuan mendokumentasi berbagai intimidasi dan
teror yang dihadapi perempuan pembela HAM dan keluarganya, bahkan
kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM. Data yang dilaporkan
kepada Komnas Perempuan sebanyak 25 kasus dalam kurun waktu 10 tahun,
sepanjang tahun 2008 sampai 2017. Mereka menghadapi penyangkalan atas
kemampuan mereka, distigma, disesatkan, pembunuhan karakter yang
menyasar integritas diri dan keluarga bahkan di sosial media, peretasan
data, hingga minimnya dukungan bagi kerja-kerjanya maupun hak dasar atas
kesehatan yang kerap terabai.

F.Kerentanan global, kompleksitas isu migrasi dan belum adanya kepastian
legal untuk perlindungan. Harus diakui perlindungan untuk pekerja migran
semakin banyak inisiatif, namun tantangan dan pola kerentanan juga
semakin rumit, baik dijadikan sasaran perdagangan narkoba, kerentanan
hukuman mati, moratorium dan migrasi tanpa bentuk, bahkan kerentanan
dijebak dalam sindikat terorisme. Secara legal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Migran 90 dan sudah ada revisi UU PPMI. Namun ketiadaan penetapan aturan pelaksana UU no.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memperpanjang rantai kekerasan terhadap pekerja migran perempuan. Pada akhir tahun 2017, UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) telah disahkan.

Baca juga  UNA Indonesia, Kedubes Denmark dan PBB di Indonesia Gelar Konferensi Pemuda Global untuk SDG

Namun, hingga lebih dari satu tahun setelah diundangkan, belum ada satupun dari 28 peraturan pelaksanaan UU ini yang ditetapkan. Ini berarti secara de
facto, UU Perlindungan PMI belum terimplementasi sebagaimana diharapkan.
Selain itu perlindungan migran masih bersifat teritorialistik, padahal
kerentanannya semakin global.

G. Impunitas dan korban konflik yang belum terpulihkan. Pelanggaran HAM
berat baik Tragdei ‘ 65, Timor Leste, Papua, Aceh, Tragedi Mei ‘98 masih
menyisakan impunitas pelaku, yang menjadi ancaman besar bagi berbangsa,
karena memupuk dan memicu keberulangan. Selain itu korban konflik
diatas, khususnya perempuan korban kekerasan seksual yang selalu ada
dibalik setiap konflik, juga belum mendapatkan hak pemulihan, keadilan
dan kebenaran. Belum lagi sejumlah konflik komunal karena konflik
pemilu-pemilukada, konflik perebutan lahan, Sumber Daya Alam (SDA),
hingga bernuansa SARA juga selalu berdampak pada perempuan menjadi
korban.

Untuk itu Komnas Perempuan mendesak:

1.Pemerintah Indonesia menjalankan rekomendasi dari mekanisme HAM
internasional agar selaras dengan RPJMN, SDGs dan RANHAM, antara lain:

A. Menjalankan rekomendasi komite CEDAW (dimana pada tahun 1984
Indonesia telah meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No.7 Tahun 1984
tentang ratifikasi konvensi tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan). Menanggapi laporan CEDAW yang dikirim
pemerintah Indonesia pada tahun 2012, Komite CEDAW memberi catatan keras
atas kinerja APH: “Komite prihatin dengan kurangnya kesadaran akan
pentingnya konvensi di kalangan yudikatif, profesi di bidang hukum dan
aparat penegak hukum, yang berdampak kegagalan sistemik pemberlakukan
konvensi dalam hukum di Indonesia. Karenanya komite merekomendasikan
negara pihak untuk melatih Hakim termasuk Hakim pengadilan agama, Jaksa
dan Pengacara dalam rangka menciptakan budaya hukum yang mendukung
penguatan keadilan gender dan non diskriminasi berbasiskan jenis kelamin
di negara pihak.”

Baca juga  Wa Ode Herlina Hadir Di Pesta Rakyat Menyambut Kemenangan oleh Sahabat Pram-Doel

B. Menjalankan rekomendasi umum Komite CEDAW yang dikeluarkan pada
tanggal 3 Agustus 2015 tentang akses perempuan pada keadilan, bahkan
mengingatkan pentingnya akuntabilitas dari sistem peradilan yang harus
memberikan keadilan bagi perempuan terutama dalam situasi dimana ia
adalah korban diskriminasi berlapis. Sistem peradilan harus sesuai
dengan konteks, dinamika, partisipatoris, inovatif serta sensitif gender
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan akses perempuan akan keadilan.

C.Menjalankan rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) yang juga
sudah diterima oleh pemerintah Indonesia antara lain: (a) Meningkatkan
upaya untuk melindungi kelompok rentan sesuai dengan program legislasi
nasional; (b) Melakukan penelaahan terhadap UU yang relevan untuk
menyelaraskan pada konvensi CEDAW; (c) Mengubah semua hukum dan
peraturan setempat yang mendiskriminasikan perempuan dan kelompok marjinal; (d) Memastikan perlindungan HAM perempuan dengan memperkuat legislasi yang berhubungan dengan pelanggaran terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan; (e) Menuntut semua tindakan kekerasan
domestik dan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan; (f)
Memperkuat peraturan tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk
dengan menghukum semua bentuk kekerasan seksual; (g) Mengkaji dan
mencabut kebijakan lokal yang membatasi hak yang dijamin konstitusi,
terutama yang berkaitan dengan hak-hak perempuan, minoritas seksual dan
agama.

2.DPR RI untuk menyegerakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
dan memastikan RUU dimaksud dapat disahkan pada periode DPR RI
2014-2019, guna melindungi rakyat Indonesia khususnya perempuan dan
kelompok rentan lainnya dari kekerasan seksual.

3.Institusi penegak hukum menghentikan kriminalisasi terhadap korban
dan terhadap perempuan pembela HAM, memperkuat perspektif tentang
HAM-Gender, serta menjalankan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.

4.Presiden RI :
A.Mendorong DPR-RI menyegerakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual dan memastikan DIM yang dikeluarkan pemerintah didasarkan pada
bacaan yang cermat atas hak keadilan dan pemulihan komprehensif bagi
perempuan korban;
B.Mengajak bangsa Indonesia, khususnya aparat negara untuk menjadikan
hak asasi termasuk HAM-perempuan sebagai acuan berbangsa, karena hak
asasi adalah nafas konstitusi;
C.Mendorong perlindungan, dukungan dan penghormatan pada kerja-kerja
perempuan pembela HAM yang mengalami kerentanan dan minim dukungan dalam
kerja-kerja mereka mendampingi korban maupun menyuarakan keadilan;
D.Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, memulihkan hak perempuan
korban yang beriring dengan hak kebenaran dan keadilan, serta memastikan
ketidak berulangan.

Kontak Narasumber Komisioner Komnas Perempuan
Azriana Manalu, Ketua (0811672441)
Adriana Venny, Komisioner (08561090619)
Sri Nurherwati, Komisioner (082210434703)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here