_”Mendengar itu meluaplah amarah mereka lalu mereka berteriak-teriak katanya “Besarlah Artemis Dewi orang Efesus”_ (KPR 19:28)
Pengalaman sejarah bahwa ada keterkaitan antara agama (penyebaran agama) dengan aspek ekonomi adalah sesuatu yang tidak bisa terbantahkan. Dalam bingkai besar di zaman baheula kita mengenal jargon “Gold, Glory, Gospel” yang diciptakan kaum kolonial Barat dalam menguasai bangsa-bangsa. Dalam spirit itulah pada masa yang lalu Portugis, Belanda menguasai nusantara ratusan tahun:ada semangat bisnis yang menyatu dengan semangat misioner didalamnya.
Salah satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah teori yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 para saudagar Islam dari Arab, Persia dan Gujarat membawa Islam masuk ke Indonesia. Hamka, penulis terkenal dan tokoh Islam Indonesia dalam bukunya menyatakan Islam datang secara berangsur-angsur; dan peranan para saudagar dalam penyebaran agama sangatlah penting. Sambil melakukan transaksi dan aktivitas ekonomi para saudagar menjalankan syi’ar agama di suatu wilayah sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik agama yang dibawa oleh para saudagar itu.
Dulu agama-agama diperkenalkan kepada masyarakat melalui berbagai karya sosial, antara lain bidang pendidikan, kesehatan. Sejarah mencatat peran yang dilakukan para penginjil dalam mendidik banyak orang di suatu wilayah yang terisolasi sehingga mereka dapat membaca dan menulis. Orang-orang yang tadinya buta huruf, tidak mengenal estetika pada akhirnya bisa membaca, terdidik, mengenal cara-cara hidup yang sehat. Pada titik itu terjadi transfer peradaban dan trsnsformasi kehidupan sosial. Peradaban Barat yang telah lebih maju ditularkan dan dialihkan kepada komunitas yang masih hidup dizaman batu sehingga terjadilah proses “pemanusiaan manusia” melalui aktivitas pekabaran Injil disuatu wilayah.
Dalam konteks tertentu peran para penginjil ( Barat) pada zaman baheula sangat positif. Melalui aktivitas mereka telah melahirkan banyak Gereja di Indonesia, utamanya Gereja-gereja yang lahir sekitar tahun 30-40 an yang kemudian mendirikan DGI/PGI.
Titik singgung antara ekonomi dan agama dalam kasus-kasus tertentu bisa berada dalam angle yang negatif. Misalnya ketika persaingan yang murni terjadi sebagai persaingan ekonomi lalu “diberi bumbu agama” sehingga di ruang publik peristiwa itu diberi label sebagai “konflik sara” yang tingkat kegaduhannya dan ujungnya sudah bisa kita tebak.
Kasus yang diangkat dalam Kisah Para Rasul 19:21-40 yang dalam perikop LAI diberi judul “Demetrius menimbulkan huru-hara di Efesus” menampilkan sebuah episode menarik dalam konteks pertemuan Injil dengan budaya lokal. Menurut penuturan KPR, Demetrius ini memiliki perusahaan yang memasok patung dewi Artemis dari perak untuk kepentingan rakyat dalam aktivitas ritual mereka. Perusahaannya itu mendapatkan untung besar sebagai pemasok utama di kota itu (19:24,25).Kedatangan Paulus dan timnya yang mengabarkan Injil akan mengubah pandangan teologi rakyat disitu. Mereka tidak lagi percaya kepada Dewi Artemis dan hal itu akan membuat bangkrut perusahaan Demetrius. Itu inti persoalan. Ini persoalan ekonomi, lebih teknis persoalan asap dapur dan bukan persoalan teologi.
Lalu dalam kepanikannya Demetrius memprovokasi para tukang yang selama ini membuat patung perak itu sehingga mereka bergerak dan mengganggu ketertiban umum pada masa itu. Seluruh kota kacau akibat perbuatan Demetrius dan para konstituennya itu (19:29). Untunglah ada Sekretsris kota yang bijaksana, yang mengingatkan kelompok pendemo itu agar tenang dan tidak terburu-buru bertindak bahkan menyarankan untuk menempuh prosedur hukum (19:35-40)
Perikop ini penting menjadi bahan Refleksi kita di zaman ini. Penolakan terhadap Injil tidak selalu karena faktor teologi. Dalam kasus Demetrius ini jelas, ia melakukan demo dan keributan karena kuatir perusahaannya bangkrut, ini soal fulus bukan soal ajaran. Ditengah huru-hara yang kacau itu selalu ada “orang baik” yang menebar kata-kata hikmat sehingga para pendemo itu membubarkan diri. Seorang Sekretaris kota punya kharisma yang kuat disini. Bisa juga terjadi jika ada penolakan terhadap komunitas Kristen disuatu wilayah, bukan karena ajaran, teologi tapi mungkin karena cara-cara berkomunikasi kita yang tidak optimal, cara berelasi kita yang tidak ramah, mungkin mobil-mobil umat yang diparkir menghalangi kegiatan masyarakat, mungkin gedung Gereja terlalu mewah dibangun di kampung itu atau ada sebab yang lain.
Mari kita terus memberitakan kabar kesukaan secara elegan melalui sikap dan perbuatan kita, melalui karya-karya sosial yang menyentuh orang banyak. Mari terus wujudkan iman yang otentik tanpa takut.!
Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless.
*Weinata Sairin*