Jakarta, Suarakristen.com
Cukup banyak generasi muda sekarang gagap sejarah, meskipun mereka tidak gagap teknologi. Generasi muda Indonesia, khususnya generasi muda Batak, tidak banyak yang mengetahui bahwa Sisingamangaraja XII (SSM XII) dapat menjadi teladan (role model) bagi mereka. Hal ini menjadi topik Diskusi dengan tema “Menggali (Kembali) Nilai-Nilai Kepahlawanan Sisingamangaraja XII” dalam rangka Memperingati Hari Pahlawan di Sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), Jakarta Timur, pada Kamis (8/11/2018).
Topik tersebut diangkat YPDT untuk menggali kembali nilai-nilai kepahlawanan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, nama kecil dari SSM XII, sebagai bagian dari fokus YPDT melestarikan nilai-nilai budaya Batak (habatakon). Selain itu, Diskusi Kamisan dengan topik tersebut adalah bagian dari rangkaian kegiatan Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT) 4 yang pada puncaknya diselenggarakan pada tanggal 27-30 Desember 2018 yang akan datang di Bakara, tempat kelahiran SSM XII.
Sebelum kita membicarakan nilai-nilai kepahlawanan SSM XII, kita lihat dahulu apa arti pahlawan. Menurut UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; dan arti Kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)
SSM XII adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Tanah Batak dengan Keputusan Presiden Nomor 590 tahun 1961, tertanggal 9 November 1961.
SSM XII lahir pada 1849 di Bakara, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Ia menjadi Raja Sisingamangaraja XII mulai 1875 (pada usia 17 tahun) dan berkuasa sampai dengan 17 Juni 1907 (gugur dalam perang dengan tentara Belanda). Latar Belakang penetapan (penabalan) sebagai Raja adalah berhasil mencabut piso gaja dompak dari sarungnya sebagai syarat mutlak pemangku gelar Singamangaraja (Situmorang, 2009, 81). Kelebihan SSM XII adalah mampu mendatangkan hujan di saat musim kemarau dan melakukan mukjizat di wilayah kekuasaannya. Sebagai Raja sekaligus Imam Batak bertanggung jawab memimpin masyarakat di wilayahnya sebagaimana telah dilakukan oleh pendahulunya.
Diskusi yang dipandu oleh Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT, yang juga Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya – MADYA) tersebut dimulai dengan menjabarkan beberapa konteks nilai-nilai Kepahlawanan SSM XII sebagai berikut:
1) Simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan serta pelenyapan terhadap pengetahuan lokal.
2) Sikap semangat patriotisme melawan penjajahan membebaskan Tanah Batak pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dari penjajahan. Berperang melawan penjajah Belanda kurang lebih 30 tahun (1877-1907).
3) Pemimpin yang menguasai segala bidang baik agama, kebudayaan, politik, ekonomi, diplomasi, pertahanan dan keamanan.
4) Tokoh pemersatu dengan membangun afiliasi dengan wilayah lainnya (sikap dan tindakan beliau mendapatkan simpati dan empati dari lingkungannya untuk ikut dan ambil bagian dalam perang yang dipimpinnya). Membuat perwakilan Raja SSM XII di setiap wilayah yang berfungsi sebagai pemangku kepentingan kerajaan, termasuk panglima-panglima perang.
5) Kejuangan (kegigihan/konstitusi), Kebersahajaan/sederhana, Berwibawa, dermawan, suka menolong, anti perbudakan dan anti pemasungan, penjunjung nilai kebebasan dan cepat bertindak. Oleh Van der Tuuk SSM XII disebut sebagai ‘Konig aller Bataks’ Raja dari segala orang Batak.
Hal menarik mengenai sikap SSM XII yaitu sikapnya terhadap masyarakat Batak dan sikapnya terhadap Belanda. SSM XII sering berjalan keliling kampung di tanah batak untuk sekedar menanyakan orang-orang terpasung atau budak di kampung tersebut, lalu membebaskan mereka dengan membayar ganti rugi (Binsang dan Ampang). Orang-orang terpasung dan menjadi budak di masyarakat Batak disebabkan beberapa hal seperti perang antar kampung, ketidakmampuan membayar hutang, atau karena perampokan (pambarobo). Namun dengan pihak asing (Belanda), SSM XII menyatakan perang (pulas) pada 16 Februari 1878.
Menyoal tentang nilai-nilai kepahlawanan SSM XII, Robinson Togap Siagian (Penulis Buku Pahlawan Kemerdekaan Nasional Raja Sisingamangaraja XII) menyampaikan bahwa sosok SSM XII pemimpin di segala bidang dan Pancasilais memiliki konsep pristokrasi mirip dengan Dalai Lama, dengan sistem kepercayaan Parmalim, sistem ini pun memiliki aliran-aliran. Mencerminkan nilai budaya Batak yang dapat mempersatukan seperti Dalihan Na Tolu, memiliki perspektif ekonomi yang memperhatikan masyarakatnya melalui konsep marsiadapari (gotong-royong). Dari sisi lingkungan pun SSM XII memiliki konsep pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan bijaksana. Sedangkan dari sisi hukum, SSM XII mampu menyelesaikan resolusi konflik terkait hukum dan peraturan. Siagian juga menegaskan tentang gambar SSM XII yang asli, bukan lukisan Augustin Sibarani sebagaimana selama ini diberitakan.
Menurut Siagian, apa yang dilakukan YPDT untuk menggali kembali nilai-nilai kepahlawanan SSM XII adalah langkah strategis karena cukup banyak orang Batak mengatasnamakan SSM XII dengan motif meraup keuntungan sendiri atau kelompoknya.
Hal yang sama juga disampaikan Mardi F. N. Sinaga: “Apa motifnya? Kalau motifnya mencari keuntungan ekonomis belaka, maka kita hanya bicara hal-hal yang sia-sia, tidak ada makna terdalam yang diangkat dan ditemukan. Saya melihat YPDT berbeda motifnya. Mereka yang serius terlibat di yayasan ini melihat kepentingan masa depan bagi Kawasan Danau Toba (KDT) melalui penggalian nilai-nilai kepahlawanan SSM XII yang dapat menjadi panutan generasi muda Batak.”
Mula Sinaga, baru pensiun dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menceritakan bahwa cukup banyak proposal masuk kepada Presiden mengatasnamakan SSM XII yang disposisikan kepadanya. “Saya tanya kepada mereka, Saudara ini siapa? Kita sebagai orang Batak begitu pintarnya kita mengaku-aku keberadaannya mewakili sosok SSM XII,” jelasnya.
Kita mengakui bahwa kepemimpinan SSM XII tidak terbayangkan dan tidak ada bandingannya dari sisi kemanusiaan. Jerry R. H. Sirait mengakui hal tersebut dan menambahkan: “Maaf, kalau saya katakan bahwa saat ini belum ada saya temukan pemimpin seperti ompui SSM XII, bahkan pemimpin agama sekalipun pun tidak. Hanya Yesus Kristus yang tidak dapat dikalahkan SSM XII.”
Orang Batak ada juga yang mengaku sebagai keturunan SSM XII atau setidaknya mengenal salah satu dari keturunannya. Mereka ingin menjunjung SSM XII, tetapi tidak kuat.
Kalau kita memang ingin mengangkat SSM XII sebagai sosok yang terhormat, Mula Sinaga mengusulkan: “Kita perlu identifikasi nilai-nilai kepahlawanan beliau dari segala sisi. Perlu kita buka literasi-literasi yang ada dan mencari narasumber-narasumber dari Parmalim, dan sumber lainnya. Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengikuti jejaknya, melakukan yang baik dari yang dilakukannya, dan lain-lain.”
Longgap S. Pangaribuan menambahkan bahwa jika kita ingin menggali nilai-nilai yang dimiliki SSM, maka kita harus membaca SSM I hingga SSM XII. Pesannya kepada generasi muda agar membaca literasi-literasi (buku-buku) tentang SSM yang dapat dibaca di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Selain belajar dari bacaan-bacaan tersebut, Longgap Pangaribuan juga menyarankan untuk belajar dari alam karena SSM sangat menghargai alam dan sumberdayanya.
“Sebagai seorang pemimpin, SSM XII dikenal sebagai pemimpin yang Parmahan na so mantat batahi. Ia adalah raja yang tidak mencari kekayaan. Parade aek tu na mauas (memberi minum kepada yang haus), parade sipanganon tu na male (memberi makan bagi yang kelaparan). Pemimpin sekarang tidak begitu, malah jika bisa menekan masyarakat,” ujar Jerry Sirait.
SSM XII adalah raja bukan petinggi, tetapi pargonggom (merangkul). Kalau datang ke kampung-kampung, benar bahwa masyarakat menyembahnya, tetapi sebagai bentuk penghormatannya. Jiwa pelayanannya (parmahanion) dapat dijadikan teladan. Saat ini keteladanannya itu sudah hilang. SSM XII meninggal dalam kesederhanaannya,” lanjut Sirait.
Deacy Maria Toba Lumbanraja Sihombing turut bercerita tentang SSM XII. “Saya tertarik SSM XII dan sudah ke makamnya, Aek Sipangolu, dan sebagainya. Roh SSM XII itu ada di Tanah Batak. Ini bisa dikomunikasikan melalui pengajaran sejarah dan Opera Batak. Dalam konteks pariwisata perlu dibuat Opera Batak secara rutin. Putri Lopian (salah satu putri/boru SSM XII) juga perlu diusulkan menjadi pahlawan perempuan dari Tanah Batak.
Judika Malau mengusulkan dalam menggali nilai-nilai kepahlawanan SSM, kita harus memiliki referensi. Referensi diperlukan menjadi pedoman mau dibawa ke mana kita ini sebagai orang Batak. Memang kenyataannya kita sudah hilang dan tersesat. Inilah tugas berat orang Batak.
Rio Pangaribuan selaku naposo (pemuda) Batak melihat bahwa generasi muda Batak membutuhkan sosok sebagai panutan. Harapannya mudah-mudahan kita bersatu padu menyatukan hati dan pikiran untuk kemajuan Bonapasogit.
Teringat pada perkataan T. B. Simatupang ujar Robinson Togap Siagian, dahulu di Lembaga SSM XII pada 1972 di Gedung Joeang beliau pernah mengatakan:
1. Di antara seluruh pahlawan, SSM XII ini bisa menjadi panutan kepemimpinannya di tingkat nasional maupun internasional.
2. Dalam teori militer, selama 32 tahun beliau melakukan perang semesta. Bahkan ini jadi acuan Kodam Siliwangi dalam menumpas DI TII.
3. Dalam kedaulatan ekonomi, Kerajaan Batak itu konfederasi pristeokrasi.
4. Dalam hubungan internasional, SSM XII berhubungan dengan Aceh dan Minangkabau.
Maruap Siahaan memberi tanggapan bahwa kita telah kehilangan satu platform dan spirit keteladanan SSM XII. Mengapa kita kehilangan?
Apa yang disampaikan Maruap Siahaan selaku Ketua Umum YPDT adalah bentuk keprihatinan kita semua sebagai keturunan Batak. “Mari kita kumpulkan kearifan-kearifan yang ada sebagai acuan kita. Kita melihat ada kekuatan SSM XII dari keteladanannya. Supaya tidak ada kekuatan yang kuat itu di Tanah Batak, maka sejarah-sejarah ini dihilangkan. Jadi kalau ditanya milik siapa SSM XII itu? Itu adalah milik kita dan anak cucu kita ke depan. Mengapa kita perlu kawal Sejarah Sisingamangaraja XII? Karena itu adalah platform kita. Ini perlu kita gali kembali. Konkritnya ada lembaga informal yang perlu kita bangun dimulai dari pikiran. Kita tidak mengambil untuk diri sendiri seperti SSM XII yang membebaskan orang yang tertawan,” pungkas Maruap Siahaan.
Dari perbincangan Diskusi Kamisan ini, ada usulan untuk membangun kampus digital Pustakalogi Sisingamangaraja XII agar menjadi standar acuan kebenaran sejarah dan nilai-nilai kepahlawanannya dari berbagai aspek yang dapat dijadikan referensi genarasi muda kita.
Selama hampir 3 jam Diskusi ini berjalan. Para peserta sekaligus sebagai narasumber yang turut hadir antara lain: Maruap Siahaan (Ketum YPDT), Jerry R. H. Sirait (Sekretaris Pengawas YPDT), Mardi F. N. Sinaga (Panitia Pengarah GCDT 4), Susi Rio Panjaitan (Panitia GCDT 4), Tiendy Rose Panjaitan (Panitia GCDT 4), Rio Pangaribuan (Panitia GCDT 4), Robinson Togap Siagian (Penulis Buku Pahlawan Kemerdekaan Nasional Sisingamangaraja XII), Longgap S. Pangaribuan (Pemuka Adat Batak, tinggal di Jakarta), Deacy Maria Toba Lumbanraja (pemerhati Danau Toba dan pernah terlibat GCDT), Mula Sinaga (mantan birokrat di Kemendikbud RI bidang kebudayaan), Judika Malau (Tim Panitia Pembentukan Batak Center), Boy Tonggor Siahaan (Panitia GCDT 4).
Jakarta, 10 November 2018
*Narahubung: Jhohannes Marbun, S.S., M.A (0813 2842 3630)*