_”Non sibi, sed patriae. Tidak untuk diri sendiri, tetapi untuk tanah air”._
Terminologi “tanah air” sudah sangat terkenal dan bahkan istilah itu sudah berpuluh tahun digunakan dengan penuh penghayatan oleh seluruh masyarakat Indonesia. “Tanah Air” adalah istilah yang digunakan bangsa Indonesia untuk menyebut seluruh bumi Indonesia yang terdiri dari lautan dan daratan. Istilah ini didasarkan pada konsep wawasan nusantara yang terbentuk dari Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Istilah itu membedakan dengan penyebutan yang dimiliki oleh negara lain yang menyebut wilayahnya dengan “motherland” atau “fatherland”. Selain istilah “tanah air”, bangsa Indonesia juga memiliki sebutan ‘Nusantara’ dan ‘Tanah Air’ yang juga amat populer penggunaannya ditengah masyarakat.
Ismail Marzuki (1914-1958) berhasil menggugah rasa cinta tanah air, nasionalisme yang kuat melalui lagu gubahannya yang sangat terkenal berjudul Rayuan Pulau Kelapa.
*”Rayuan Pulau Kelapa”*
“Tanah Airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah Airku aman dan makmur
Pulau Kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa.
Sejak dulu kala
_Reff._
Melambai-melambai
Nyiur dipantai
Berbisik-bisik
Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku Indonesia.
Siapa saja yang mrndengar lagu ini apalagi warga Indonesia yang sedang merantau di mancanegara akan sangat tersentuh dan akan lahir rasa cinta mendalam terhadap tanah air Indonesia. Disinilah letak kepiawaian komposer sekelas Ismail Marzuki yang melalui melodi dan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa mampu melahirkan rasa bangga terhadap negeri yang Tuhan karuniakan kepada bangsa ini. Musik, sastra, lukisan, film, koreografi dan berbagai bentuk seni yang dikuasai manusia seharusnya salah satu tugasnya adalah mendorong seluruh warga bangsa untuk cinta dan bangga terhadap tanah airnya.
Kita bangga terhadap Tanah Air kita yang secara sadar pada bulan Oktober menyatakan kebersatuannya melalui Soempah Pemuda yang amat melegenda dan secara historis mencatat peran sentral kaum muda dalam menyiapkan fondamen kukuh bagi eksisnya sebuah bangsa.
Sumpah historis bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu menjadi pemicu bagi upaya seluruh warga bangsa untuk membebaskan diri dari rantai penjajahan yang selama ini menjadi penjara bagi kedirian manusia Indonesia.
Tanggal 10 November ini kita sebagai bangsa memperingati hari Pahlawan. Darah para pahlawan itulah yang membuat negeri ini lahir dan eksis hingga kini sebagai sebuah NKRI yang majemuk. Di TMP (dan di tempat-tempat pemakaman) mereka dari berbagai suku, etnik, agama, ras, afiliasi politik telah dimakamkan dan menjadi saksi historis bahwa seluruh warga bangsa yang majemuk ini telah berjuang bagi kemerdekaan negeri. Di era orde baru dengan arogan dan pongah oknum petinggi negeri menyatakan bahwa ada kelompok orang di negeri ini “naik ke gerbong NKRI tanpa tiket”. Menyatakan adanya “penumpang gelap” dalam gerbong NKRI bukan hanya a-historis, arogan dan diskriminatif tetapi juga sebuah pelecehan dan penghinaan terhadap eksistensi kelompok itu. Di masa depan pernyataan para pejabat publik harus elegan, terkontrol , tidak melukai rakyat dan memberi pengharapan masa depan. Para pemimpin harus berbicara sebagai negarawan, yang cool, mengayomi, yang melindungi dan respek terhadap rakyat.
Hidup kita ini bukan untuk dinikmati sendiri. Hidup kita terarah keluar bukan kedalam. Hidup kita menuju ke orang lain bukan kepada kita sendiri dengan ikatan primordial kita. Para pahlawan yang telah gugur adalah orang-orang yang hidupnya terarah keluar, kepada orang lain, kepada negara, kepada bangsa. Itulah hakikat hidup orang beragama. Mari rayakan hari Pahlawan dengan spirit baru tidak berhenti pada upacara, selebrasi, tapi melahirkan pahlawan genre baru yaitu pahlawan : anti korupsi, anti hoax, anti intoleransi, kebebasan beragama, pemajuan HAM.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*