Oleh: Jeannie Latumahina
Beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita menyaksikan fenomena naiknya populisme kanan. Populisme kanan secara sederhana dapat dipahami gerakan sosial politik populis yang terjadi pada satu negara yang para aktornya berideologi nasionalisme ekstrem (ultranasionalis) atau juga berdasarkan agama. Populisme kanan dalam ranah nasionalisme misalnya bisa kita lihat di Jerman dahulu yakni nasional sosialisme (nazi) atau juga yang sedang bangkit di Eropa kini dalam rupa penolakan keras terhadap imigran. Populisme kanan berbasis agama misalnya bisa kita lihat di Indonesia kini.
Berbeda dengan populisme kiri yang dimotori oleh pemikiran sosialis-komunis, populisme kanan pada dasarnya mengusung ide purifikasi. Kelompok yang menjadi aktor utamanya mendefinisikan diri sebagai kaum yang menghayati nasionalis secara murni atau ajaran agama tertentu secara murni. Serentak juga, mereka menganggap kelompok lain sebagai yang tidak murni dalam cara menghayati nasionalisme atau ajaran agama tertentu. Dalam bahasa yang lain, ide purifikasi terkait dengan ide kesejatian diri dalam tataran kolektif negara-bangsa atau agama tertentu.
Populisme kanan di Indonesia bisa kita lihat perkembangannya pada beberapa tahun terakhir. Artikulasi-artikulasi khas yang dilontarkan dalam politiknya misalnya perlindungan terhadap tokoh agama agar jangan dikriminalisasi, mengembangkan wacana bahwa pemerintah anti terhadap agama atau tokoh agama tertentu, memenjarakan figur-figur tertentu yang dianggap menista agama tertentu. Demonstrasi berjilid-jilid yang dimotori para agamawan selama ini menunjukkan gejala khas dari populisme kanan tersebut.
Meskipun kelompok populisme kanan relatif kecil jumlah penganutnya di setiap negara, termasuk di Indonesia, namun efek pergerakan mereka patut unt uk diperhatikan dan diperhitungkan. Kenyataan membuktikan bahwa efek yang ditimbulkan bisa menular. Artinya, gerakan sosial politik mereka seringkali mengundang simpati dari banyak orang yang secara sosial memiliki kesamaan tertentu dengan kelompok tersebut, misalnya merasa diri sebagai sesama kelompok yang dirugikan oleh kehadiran pihak imigran atau berasal dari agama tertentu dan membela agama tertentu.
Pada tingkat yang lebih tinggi, efek yang ditimbulkan adalah menekan rezim yang sedang memerintah untuk memenuhi tuntutan mereka. Populisme kanan akan semakin berani memainkan peran politik pada panggung politik nasional bila ia juga menjadi kelompok yang hegemonik dalam arti mendapat penerimaan dan dukungan dari kelompok yang lain, meskipun tetap ada perbedaan kepentingan politik di antara kelompok-kelompok tersebut. Indonesia bisa dijadikan contoh. Disinyalir bahwa kelompok populisme kanan mendapatkan dukungan dari pihak militer tertentu yang haus akan kekuasaan, dan kini merasa tersingkir dari kekuasaan yang dulu pernah digenggam erat dan sangat lama dengan segala keuntungan ekonomi politik yang pernah dicecap.
Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dahulu, terutama pada rezim presiden Soeharto, militer yang berkuasa penuh di negeri ini tanpa ada oposisi sama sekali. Menariknya, dalam tubuh militer sendiri, berkembang semacam kritikan internal terhadap pimpinan tertinggi mereka saat itu yakni presiden Suharto berkaitan dengan perilaku koruptif pada orang-orang di lingkaran kekuasaannya. Kelompok Islam yang sebelumnya sering dibelenggu dan disingkirkan oleh Orba dirangkul kembali untuk bersekutu dengan pemerintahan Orba.
Ketika rezim Orba jatuh dan pada saat yang sama konsep dwifungsi ABRI dihapuskan pada era reformasi, kelompok islam yang kuat juga terfragmentasi ke dalam banyak kelompok. Militer yang terjungkal dari kekuasaan berusaha mendapatkan kembali kekuasaan dengan berafiliasi dengan kelompok islam tertentu yang cenderung konservatif dan menjadi kekuatan utama populisme kanan. Sebagai sebuah kekuatan sosial politik negeri, kombinasi kelompok ini patut diperhitungkan karena beberapa hal: pertama, faktor militansi yang tinggi yang mereka miliki. Mereka sangat militan berjuang dan gigih memperjuangkan konsepnya tentang hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, secara organisasi, mereka sangat terorganisir, apalagi didukung oleh kelompok militer yang pada dasarnya dikenal tangguh dalam berorganisasi dengan struktur komando yang rapih.
Faktor ketiga yang turut berperan penting adalah partai-partai politik sipil dan koalisi kemasyarakatan sipil lainnya yang sekarang terjerembab dalam pusaran oligarkis koruptif. Sejumlah keputusan berkaitan dengan hidup bernegara diputuskan oleh para elite partai. Pada saat yang sama, kebanyakan dari elit-elit itu terjerat dalam kasus korupsi yang akut sehingga menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat sipil terhadap mereka. Di tengah revolusi mental yang dicanangkan oleh presiden Jokowi, hal yang tampak sebaliknya terjadi adalah semakin menjalarnya praktik korupsi dari pusat hingga daerah. Operasi Tangkap Tangan oleh KPK begitu gencar dilakukan yang menghasilkan begitu banyak pemimpil sipil yang tertangkap.
Korupsi yang sangat menggurita merusak banyak sendi kehidupan bernegara. Pelayanan publik tersendat-sendat, kelancaran berusaha agak susah, yang semuanya bermuara pada tersendat-sendatnya pengembangan kehidupan sosial ekonomi menuju masyarakat yang sejahtera. Banyak masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan (sekitar 9,5%), dan juga yang rentan miskin. Situasi seperti ini memberi legitimasi bagi kelompok populisme kanan untuk hadir, meskipun di Indonesia mereka tampak tidak berminat besar pada isu-isu ekonomi dan pengembangan masyarakat tetapi lebih banyak pada upaya untuk mendapatkan kekuasaan dan mengubah dasar negara yakni Pancasila menuju kepada negara khilafah islamiyah.
Risiko terburuk bila populisme kanan yang didukung militer tertentu adalah bisa hilangnya keanekaragaman Indonesia. Masyarakat dan kebudayaan Indonesia akan diseragamkan dalam banyak hal. Pada titik ini, tentu banyak kelompok masyarakat yang akan melawan penyeragaman semacam itu. Perpecahan dan disintegrasi bangsa dapat saja terjadi dengan begitu mudah.
Dapatlah kita katakan bahwa kontestasi kekuasaan hari ini secara sederhana dapat dilukiskan dengan pertarungan antara dua logika kekuasaan yang berbeda dan bertentangan yakni logika politik sipil dan logika kekuasaan militer. Ini terkait bagaimana relasi kekuasaan beroperasi dan dioperasikan. Pemerintahan politik sipil demokratis berusaha untuk menguatkan dominasinya dalam perpolitikan nasional pasca jatuhnya Suharto, lambang kekuasaan absolute militer. Pemerintahan sipil ini tampaknya masih rentan ditaklukan oleh militer justru karena praktik oligarkis koruptif yang melanda pemerintahan sipil sendiri dari pusat higga daerah.
Melihat problem yang mendera, proyek demokrasi kita ke depan adalah bagaimana memperkuat masyarakat dan pemerintahan sipil demokratis yang tidak jatuh kepada dominasi populisme kanan ataupun takluk kembali kepada kekuasaan militer. Mengapa? Logika politik sipil demokratis secara prinsipil berbeda dari logika kekuasaan militer. Dalam praktik politik pemerintahan sipil demokratis, relasi politik ditandai dengan relasi kawan (Kita) – lawan (mereka). Dalam perspektif demokrasi radikal, ini disebut relasi adversarial. Lawan adalah oposisi politik yang berlegitimiasi, yang turut membentuk kekitaan dalam hubungan kekuasaan. Relasi kawan-lawan adalah relasi saling membentuk (constituted of outside). Oleh karena itu, lawan tidak boleh dieksklusi, dihilangkan, dibinasakan dalam politik. Ini tentu berbeda dengan logika kekuasaan militer yang mendefinisikan relasi dalam terang konsep teman -musuh. Bagi militer, musuh adalah ancaman. Oleh karena itu, musuh harus dihilangkan.
Kehancuran demokrasi dimulai apabila logika kekuasaan militer dibiarkan merasuk ke dalam logika politik sipil. Hal ini nyata terjadi dalam perpolitikan kita hari ini ketika mereka masuk melalui naiknya populisme kanan. Populisme kanan pun menghayati logika yang sama karena ide penyeragaman melalui ideologi dan melalui ide purifikasi yang mereka wacanakan. Siapapun yang bertentangan dengan itu akan mereka binasakan. Oleh karena itu, masyarakat sipil dan pemerintahan sipil sudah seharusnya terus-menerus memperkuat dirinya. Ha ini bisa dimulai dengan menghentikan praktik-praktik politik oligarkis koruptif yang sering dilakukan oleh para elit politik dan juga elit-elit birokrasi dari pusat hingga daerah. Ini demi meraih dukungan luas dan kuat dari masyarakat sipil.
Bagaimanapun, politik sipil demokratis hanya bisa legitim atau tetap berjalan bila ada dukungan yang kuat dari masyrakat sipil yang juga kuat dan sadar akan implikasi politik bila logika militer dan populisme kanan mengontrol perpolitikan kita secara keseluruhan. Sebaliknya, krisis kepercayaan yang akut terhadap pemimpin sipil itu sendiri sama artinya memberi ruang lebar bagi kelompok militer dan populisme kanan haus kekuasaan mengubur dalam-dalam demokrasi yang baru tumbuh kembang. Itu artinya, impian akan masyarakat sejahtera yang bebas dan setara di masa depan tetap tinggal mimpi, tanpa pernah terealisasi atau menjadi kenyataan.
Kediri 25 Agustus 2018