Menjadi Wakil Rakyat, Mahal atau Murah??

0
1118

 

 

Oleh: Jeannie Latumahina

 

Keterikatan secara sosial dengan masyarakat, dalam waktu lama melalui kerja bersama, pelayanan, dan partisipasi pada kehidupan berkomunitas dan publik, itulah yang diharapkan untuk menjadi wakil rakyat yang tepat. Tidak instan tetapi berproses.  Itulah model republikanisme sipil.

 

Di sana terbentuk passion kita pada kehidupan publik dan Politik. Jadi Politik tidak sekedar rasionalitas apalagi uang. Tapi politik  lebih sebagai sensibilitas untuk bagaimana cara memperlakukan orang lain secara terhormat dalam kehidupan bersama/publik/komunitas.

 

Keterikatan secara sosial hanya bisa terjadi dalam keterlibatan pada hidup berkomunitas, mengasah kepekaan, tanggung jawab dan hormat terhadap kemanusiaan.

 

Politik hanya mungkin karena kolektivitas. Artinya keterlibatan individu sebagai warga dalam sebuah komunitas menjadi mutlak. Warga hanya dapat mengerti tentang hak, kewajiban dan keadilan kalau mereka terlibat dalam komunitasnya. Komunitas yang memberi mereka pedoman bagaimana memahami tentang hak, kewajiban, keadilan dan lain-lain.

 

Masyarakat yang sudah berada dalam komunitas dan mereka dibentuk oleh komunitas itu tentang hidup yang baik, pemaknaan atas hak, kewajiban, keadilan, hukum dan lain-lain.

 

Kolektivitas menjadi kata kunci. Tidak terjadi secara instan apalagi dengan politik uang. Dalam kolektivitas itu ada keterlibatan, keterikatan, tanggung jawab dan passion bagaimana membentuk hidup kemasyarakatan dengan baik.

 

Menjadi warga negara  berarti terlibat mengakui sebuah komunitas karena memang manusia atau individu tidak pernah dapat hidup sendirian. Manusia adalah mahkluk sosial politik . Dan perwujudan tingginya sebagai manusia adalah dengan bersosial politik. Tanggung jawab dan punya sensibilitas kepada kehidupan bersama.

 

Demokrasi itu menjadi mahal ketika tatanan ini kita langgar. Apalagi dengan slogan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan. Misalnya dengan politik uang.

 

Politik uang  sangat kental karena depolitisasi yang lama menimpa Indonesia sejak Orba. Masyarakat  tidak dilibatkan dalam politik, tetapi hanya memilih pemimpin  setiap 5 tahun. Itupun kemenangannya  sudah ditentukan sebelum pemilu yakni pada pihak Golkar. Jadi, tidak ada persaingan yang sehat. Tidak ada pula metode penentuan calon yang berkualitas serta banyak alternatif.

 

Apakah demokrasi kita lebih baik atau tidak, murah atau mahal ? Tolak ukurnya apa? Bagi saya, tolak ukurnya sangat sederhana yaitu sejauh kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib sendiri masih punya tempat. Pada titik itu, Indonesia mencapainya. Tapi, apakah demokrasi membawa kesejahteraan masyarakat, ini hanya cocok untuk hipotesis.

 

Moralitas menjadi hal yang sangat penting. Moral berlaku untuk semua bidang kehidupan termasuk politik, judikatif , legislatif  dll.

Tidak sebatas narkoba, prostitusi dll. Berani bicara tentang standar moral tinggi itu berarti dapat menjadi contoh, berproses dengan baik dan benar.

Menjadi pemimpin bersih dari korupsi, progresif, dan menjunjung tinggi ke Indonesiaan harus dimulai dari proses pemilihan yang benar sehingga tidak lahir  pemimpin- pemimpin yang krisis moralitas,  kaya tetapi bodoh, pandainya cuma untuk korupsi dan memperkaya diri serta kelompoknya sendiri.

 

Memang demokrasi kita sangat menghargai kebebasan untuk memilih pemimpin dan menentukan nasib sendiri. Namun, atas dasar apa kita memilih para pemimpin kita, para wakil rakyat kita?

 

Dengan kebebasan, kita bisa saja memilih mereka karena uang sogok atas suara kita. Tapi, itu bukan demokrasi yang diharapkan. Jika itu yang berlaku, maka biaya politik akan sangat mahal.

 

Dapat dipastikan, orang yang kita pilih sebagai pemimpin dan wakil kita akan mengabaikan kita, karena dia atau mereka lebih sibuk mengembalikan ongkos politik yang begitu mahal dan cari untung supaya hidup.

 

Bagaimana supaya biaya politik jadi murah? Pilihlah orang yang sudah teruji hidup mengabdi kepada komunitas masyarakat dalam banyak hal berguna untuk kemanusiaan. Punya hati untuk melayani masyarakat. Disposisi batin atau semangat yang terbentuk sudah lama lewat kebiasaannya melayani masyarakat, berbaur hidup, merasakan suka duka mereka, itu yang akan menentukan dia menjadi pemimpin dan wakil rakyat yang sungguh-sungguh mengabdi kepada rakyat. Sebab, manusia adalah apa yang dapat dilakukannya setiap waktu. Kebiasaan yang membentuknya. Termasuk kebiasaan untuk mengabdi kepada kehidupan bersama, komunitas, publik, Negara untuk Kemanusiaan.

 

Kediri 24 Juli 2018.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here