Pilkada 2018 Masih Bukan Pesta Demokrasi

0
1348

 

 

 

Oleh:  Jeannie Latumahina

 

 

Bangsa Indonesia baru selesai melakukan Pilkada. Pesta demokrasi, memilih Gubernur, Walikota, Bupati secara serentak .

 

Apakah itu berarti bahwa demokrasi Indonesia semakin baik? Dan apa yang menjadi tolak ukurnya?

 

Tolak ukur demokrasi dapat berjalan dengan baik atau tidak sangat sederhana yaitu sejauh kebebasan untuk memilih dan menentukan pemimpin sendiri, masih memiliki tempat. Pada titik ini, menurut saya Bangsa Indonesia mencapainya. Selanjutnya apakah pelaksanaan demokrasi di Indonesia, “PILKADA” kemaren adalah pertarungan para parpol?

 

Pilkada 27 Juni 2018, bukan pertarungan parpol. Sekaligus tidak bisa menjadi indikator pertarungan parpol ini itu.

 

Sebab selama parpol tidak ada melakukan kaderisasi maka mana bisa hasil pilkada kemarin dikatakan sebagai kemenangan parpol ini parpol itu?

Parpol selama ini tidak lebih daripada kendaraan saja untuk bisa lolos sebagai peserta kompetisi.

 

Demikian juga nanti pada Pilpres 2019, andaikan Jokowi kemudian keluar dari PDIP lalu pindah ke PBB maka Pilpres 2019 akan dimenangkan PBB dan PDIP gigit jari.

 

Contoh pilkada Jatim kalau secara figur sebenarnya Gus Ipul, Puti bisa menang namun karena dukungan mesin PDIP minim ditambah juga logistik Gus Ipul, Puti lemah, dibandingkan dukungan mesin Demokrat maka Khofifah yang menang. Jadi disamping figur, dukungan jaringan dan dana yang membawa kemenangan.

 

Lihat juga Jabar, PDIP merasa arogan mengusung calonnya sendiri namun tidak dibarengi dengan kemampuan kandidat, akhirnya ya kalah.

Yang utama tetap pada figure tapi kalau masih pas pas’an juga keok.

 

Figure pas pas’an tapi bisa ditutup dengan dukungan jaringan dan logistik yang pasti bisa membawa kemenangan.

 

Bagaimana dengan sebutan pesta Demokrasi??. Kalau rakyat masih mau dibayar demi secarik sarung atau uang seratus ribu atau sembako dan lain- lain.

 

Lihat Sumut, mengapa Djarot jungkir balik?. Kalah karena logistik lawan yang massif.

 

Perbaiki dulu parpol bukan sebagai forum transaksional. Dan tentu pemerintah kedepan nanti benar benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Tidak usah bicara sorga neraka pada rakyat yang lapar.

 

Parpol harus bisa menjadi lembaga yang bisa melakukan kaderisasi dan memfasilitasi orang orang yang berkemampuan.

 

Sehubungan dengan itu pertanyaanya adalah Berapakah besar dukungan pemerintah kepada parpol??…

Ya kan cuma berapa perak perolehan suara, bisa jadi apa? Untuk sewa kantor DPP saja tidak mampu Kalau sudah seperti ini maka demokrasi transaksional kapitalis yang ada dan menang.

 

Karena itu tidak heran jika Perindo, Demokrat, Nasdem bisa tetap ada karena sosok Personalia Parpol tersebut mampu membiayai parpol. Tanpa ada pembinaan dan fasilitas dari pemerintah maka parpol tidak akan bisa seperti yang diharapkan rakyat.

 

Jadinya ya Parpol Transaksional Kapitalis

 

PKS sebagai parpol kader sebenarnya sudah bagus namun karena tidak ada pembinaan dan fasilitas pemerintah akhirnya bermuara pada transaksional daging saja.

 

Setelah PKS maka Golkar termasuk masih memiliki kader yang bagus peninggalan orba, namun akhirnya juga mulai berubah jadi wanipiro.

 

Jadi intinya pilkada kemarin ini tidak bisa menjadi indikator pertarungan parpol ini itu. Khofifah, Ridwan Kamil, Edy itu pendukung Jokowi. Bukan pendukung parpol pengusungnya.

Pilkada kemarin itu kemenangan Jokowi bukan parpol.Petinggi parpol tidak lebih daripada badut kamera yang akan diludahi rakyat saat tidak diatas panggung. Artinya rakyat sudah capek miskin dan menderita, Rakyat minta pemimpin yang kerja bersih dan benar.

 

Disamping itu ada persoalan yang menarik dari presentasi golput salam pesta demokrasi yang baru saja usai, serta kemenangan kotak kosong.

Persoalan golput, dan menangnya kotak kosong, mengisyaratkan beberapa hal bahwa parpol- parpol kita tidak serius menggarap kaderisasi untuk pembentukan pemimpin yang berkualitas, baik secara kapasitas maupun integritas.

 

Akibat dari ketidakseriusan ini, maka program yang ditawarkan tidak menarik. Tidak ada terobosan baru, alternatif yang ada hanya itu- itu saja, bahkan cuma satu pasang calon saja, itupun kalah dengan kotak kosong. Karena partai politik kurang serius melakukan kaderisasi, maka yang menonjol adalah figur. Dan untuk kedepan, figur lebih penting ketimbang partai.Karena Figur lebih penting, maka ideologi juga kelihatannya diabaikan. Hampir semua partai berada dikubu moderat secara ideologi, dan program- programnya yang hampir sama, kecuali PKS, yang ekstrim agama. Ekstrim ala PKS memang berbahaya, karena menyeret kita ke perpecahan NKRI.

Tidak berada dalam rumah eksistensi kebhinnekaan, sehingga muncullah etnosentrisme dan fundamentalisme. Semakin terasing, tercabut dari akar- akar eksistensi NKRI.

 

Tidak ada yang menarik secara ideologis dari partai-partai itu.Kaderisasi juga tidak berjalan, jadi muncul tetap figur.

 

Beberapa hal yang dapat kita lihat dari hasil pilkada kemaren adalah kemenangan partai- partai pendukung Presiden tidaklah menonjol dari lawannya.Lihat Jatim, Jateng, Jabar, dan beberapa daerah lainnya. Pilpres situasinya akan mirip 2014 kalau hanya mengandalkan kekuatan partai. Itu berarti kekuatan figur lebih menentukan nanti, ketimbang partai. Figur yang tetap menonjol adalah Jokowi, karena Jokowi yang punya visi, paham dan bekerja. Yang lain tidak seperti Jokowi.

 

Golput cukup tinggi, karena dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya banyak yang tidak bisa memilih karena tidak ada di kampung halamannya, misalnya sedang kuliah atau bekerja dilain tempat. Tidak ada layanan untuk yang diluar daerah. Mahasiswa tidak bisa memilih gubernur, walikota atau bupati karena tidak pulang ke kampung halamannya. Itu contoh. Faktor lain adalah bisa saja masyarakat memang abai dengan politik, karena mereka melihat tidak ada perubahan signifikan dalam kepemimpinan yang dapat mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Ini khususnya terjadi pada anak muda yang lagi pengangguran, karena rentan frustasi.

 

Apakah pilkada kemaren lepas dari politik uang? Walaupun penjagaan ketat dari bawaslu, karena pasti setiap calon memiliki konsultan pemenangan yang punya strategi jitu pemenangan.

 

Politik uang sangat kental, dan sulit dihilangkan, karena depolitisasi yang lama menimpa Indonesia sejak Orba. Masyarakat tidak dilibatkan dalam politik, tetapi hanya memilih pemimpin setiap 5 tahun. Itupun kemenangan sudah ditentukan sebelum Pemilu. Jadi tidak ada persaingan yang sehat. Tidak ada pula metode penentuan calon yang berkualitas serta banyak alternatif solusi untuk menjawab permasaalahan di masyarakat.

 

Karena parpol sebagai tempat transaksional, maka kaderisasi tidak berjalan, tidak ada ide-ide segar terobosan yang menarik, ideologi juga tidak jelas. Yah jadinya banyak yang golput dan memenangkan kotak kosong. Sejauh pengamatan saya, figur-figur yang sukses selama ini adalah orang yang bukan kader parpol, tetapi profesional yang ditarik parpol karena prestasinya. Contoh: Jokowi, Ridwan, Risma, Nurdin Abdullah, dan lain-lain.

 

Pilkada 2018 masih bukan pesta Demokrasi. Akibatnya kesertaan rakyat pada pilkada juga tidak antusias.

Rakyat masih berharap dan menunggu Pemimpin yang membawa pada kesejahteraan.. Maka antusiasme akan naik seperti pada pemilu 1999, dimana Golput sangat kecil. Serta koreksi pada sistem demokrasi dan parpol.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here