Oleh: Jeannie Latumahina
Rentannya keamanan nasional tidak dapat lepas dari banyak faktor penyebab yang juga terkait dengan konstelasi politik.
Beberapa penelitian tentang terorisme di Indonesia menunjukkan bahwa terorisme lebih banyak mencul dari radikalisme.
Penelusuran secara sosiologis menunjukkan bahwa radikalisme di Indonesia lebih karena ketidakadilan sosial ekonomi dan politik yang struktural. Pengangguran menyebabkan frustasi di kalangan kaum muda. Hal ini menyebabkan mereka mudah sekali dihasut oleh kelompok radikal yang memperjuangkan bangunan ideologi negara bangsa yang lain dan dianggap sebagai bisa menyejahterakan mereka
Selain itu, radikalisme memang muncul karena pemahaman yang sesat terhadap agama seperti jihad untuk mati syahid.
Faktor ini memang berkaitan dengan minimnya pengetahuan. Tentu saja ini berkaitan dengan pendidikan, dan secara lebih jauh dengan ekonomi dan sosial. Selain itu, kita tidak boleh abai dengan konstelasi politik nasional dan internasional yang berusaha menghancurkan negara ini agar imperialisme barat tetap berjalan melalui kolonialisme internal.
Kita cermati bahwa serangan terhadap keutuhan NKRI terus menerus dilancarkan tanpa kenal berhenti dari hari ke hari. Semua ini makin memperjelas bahwa pemerintahan Presiden Jokowi selalu dalam ancaman berbagai pihak. Tentu kemudian rakyat mempertanyakan mengapa terjadi demikian?. Ini tentu akibat sepak terjang Presiden Jokowi membuktikan tidak mengenal kompromi terhadap pihak-pihak yang selama ini berkuasa mencengkeram menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.
Ketenangan para penyamun telah terganggu yang kemudian bersekongkol dengan anasir subversif untuk mengganggu jalannya pemerintahan hingga sampai mengancam keutuhan bangsa dan negara. Berbagai tindakan baik berupa aksi unjuk rasa, memproduksi hoax secara masif tanpa kenal malu, hingga berbagai tindakan teror terus dilancarkan.
Tentunya ini tidak saja menarik para pelaku lokal, namun juga pihak internasional yang terganggu kepentingannya akibat dari kebijakan Presiden Jokowi yang berpegang teguh pada kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah sekian lamanya negara Indonesia dirusak oleh berbagai kepentingan juga terjadi pada era reformasi, maka tidak mudah bagi Presiden Jokowi melakukan perbaikan termasuk meletakkan kembali dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diporak-porandakan.
Kerusakan yang terjadi tidak hanya struktural birokrasi namun sudah sampai pada “dasar pemikiran” penyelenggara negara, mulai dari struktur terbawah hingga tingkat atas. Bagaimana dasar hidup bernegara dan mempertahankannya menjadi terasa kabur tidak jelas. Berbagai hal mendasar termasuk kepada amandemen UUD juga telah terkontaminasi kepentingan kelompok. Pemikiran maju telah terdegradasi oleh kepentingan sesaat hanya pada tempo berkuasa.
Hal ini menjadi tampak jelas saat Indonesia berduka akibat SP3 terhadap kasus Penistaan Pancasila, dan sekarang berlanjut dengan kejadian kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Mako Brimob, Depok. Yang tentu tidak berdiri sendiri dan terasakan alur keterkaitan adanya rencana besar menghancurkan dan melumpuhkan kewibawaan negara pada umumnya dan pemerintahan Presiden Jokowi khususnya.
Bagaimana tidak menjadi demikian, jika yang seharusnya tidak terjadi malah kemudian menjadi masalah berkelanjutan berulang-ulang dan tetap tidak mendapatkan perhatian semestinya.
Penindakan hukum terhadap para pelakunya, seharusnya sudah selesai begitu saat vonis dijatuhkan pengadilan menjadikan tersangka sebagai terpidana. Malah menjadi masalah baru berkelanjutan melakukan aksi kejahatan dari dalam “Rumah Tahanan”, akibat salah urus, akibat ketidakmampuan dalam memprediksi terjadinya akibat dari kebijakan yang salah.
Bahwa penyelenggara negara seharusnya mampu membuat kebijakan untuk mengantisipasi masalah jauh kedepan, tidak dapat dilakukan dengan semestinya. Bagaimana membuat rencana atau persiapan menghadapi situasi kontingensi atau tanggap darurat benar-benar minimalis, padahal potensi terjadinya bahaya atau situasi darurat sangat jelas dari berbagai masalah yang telah terjadi.
Dapat diambil contoh bagaimana penyelenggara negara Amerika membuat langkah-langkah antisipasi bencana. Jika terjadi kerusuhan massal disemua negara bagian akibat mungkin saja timbul dari hancurnya sistem ekonomi. Telah membangun penjara-penjara di berbagai tempat dengan segala kelengkapannya, berikut daya tampung besarnya jika pada waktu seketika terjadi mega kerusuhan serentak. Demikian juga telah menyiapkan jutaan peti mati pada berbagai tempat untuk antisipasi tanggap darurat apabila terjadi perang nuklir dengan jutaan korban jiwa.
Permasalahan yang terjadi pada Rumah Tahanan sudah sangat jelas, baik dari daya tampung sudah jauh diatas kapasitas hingga sistim pengamanan yang demikian banyak celah disana sini. Bagaimana seorang narapidana masih bisa melanjutkan bisnis perdagangan narkoba dari dalam tahanan. Bagaimana dengan penyuapan seorang narapidana bisa bebas bergerak hingga nonton di luar negeri. Hingga hal-hal kecil seperti menyelundupkan alat komunikasi sampai membangun ruang tahanan mewah diluar prosedur yang seharusnya.
Pemikiran jauh kedepan dalam mengatasi resiko situasi darurat, seharusnya sudah menjadi dasar dari kebijakan SOP Pengamanan termasuk kebutuhan akan Rutan dengan kapasitas memadai serta jumlah tenaga pengawasan beserta perangkatnya.
Tentu dibuat terkejut bagaimana dengan kericuhan sepele maka Narapidana Teroris (Napiter) dengan satu kali gebrakan bisa menguasai senjata api penjaga. Bukankah seharusnya penjaga yang bersentuhan langsung dengan napiter maupun narapidana dilengkapi “senjata pelumpuh” yang tentu bukan senjata api. Dimana akses terhadap senjata api seharusnya dijauhkan dan hanya dimiliki oleh penjaga yang tidak bersentuhan langsung terhadap napiter, mengingat bahwa tahanan juga memiliki kemampuan dalam menggunakan senjata api.
Demikian juga terhadap akses alat komunikasi yang seharusnya juga dilengkapi peralatan lain untuk melumpuhkan seperti perangkat jammer komunikasi, sehingga segala bentuk komunikasi ilegal tidak dapat terjadi dalam lingkup rumah tahanan.
Bukankah segala aspek ini seharusnya sudah menjadi langkah kebijakan bagi instansi-instansi terkait hingga antar kementrian, untuk menjadi dasar daripada rencana pengamanan terhadap semua terpidana.
Bahwa sedemikian banyaknya peluang-peluang terbuka terbukti dapat mengancam kewibawaan pemerintah hingga kedaulatan negara Indonesia, sungguh sepatutnya menjadi dasar langkah kebijakan seluruh aparat penyelenggara negara dari paling bawah hingga tingkat atas.
Indonesia adalah negara besar dan sepantasnya juga disegani oleh dunia International, tentu tidak dapat tercapai jika diselenggarakan oleh penyelenggara amatiran, atau kenyamanan bak negeri auto-pilot duduk manis semua berjalan dengan baik. Negara Indonesia memerlukan aparat penyelenggara negara yang sungguh profesional dalam mengawal kehidupan rakyat bangsa dan negara. Terlebih dalam ancaman perang asimetris dari kepentingan dunia international terhadap Indonesia.
Bagaimana gerakan transnasional atau gerakan protes massa yang merebak di negara-negara Arab pada musim semi (Arab Spring) semakin hari menjadi ancaman tidak hanya di Indonesia juga Asia Tenggara, patut diwaspadai yang tentunya tidak secara langsung intervensi dari luar, namun menggunakan agen-agen kepentingan dari dalam struktur pemerintahan baik pusat maupun daerah, hingga BUMN sektor swasta yang akibat dari provokasi terus menerus bertebaran di segala lini.
Fokus ancaman tentunya tidak lain adalah menjatuhkan legitimasi pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintahan atas dasar pilihan dan mandat dari seluruh rakyat bangsa Indonesia. Maka tidak dapat dikatakan tidak, pertahanan terhadap ancaman harus dilakukan mulai dari bawah hingga atas. Bahwa kepentingan nasional adalah diatas segalanya demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Kita harus waspadai bahwa Oligarki Dunia memakai standard ganda melalui HAM.
Isu HAM merupakan mainan sentral Barat yang ingin menghancurkan negara lain untuk dikeruk SDA-nya dan direbut pasarnya. Itu terutama US.
Untuk itu perlu dilakukan :
Pertama, perbaikan secara sistematis dan berkelanjutan di bidang ekonomi dan sosial. Kedua, kontrol terhadap pendidikan orang muda kita yang diselenggarakan pihak agama. Ketiga, pembersihan elit” polri dan TNI yang menjadi pelindung para teroris dan para pendukung kolonialisme internal. Keempat, hukuman mati untuk para teroris (dan juga koruptor, pedagang narkoba, penjual manusia).Serta kemampuan membuat kebijakan mengantisipasi masalah jauh kedepan oleh semua kementrian yang terkait.
Kediri 10 Mei 2018