Oleh: Ronald M. Sihombing
JUDUL tulisan ini adalah judul buku biografi Binsar H. Siburian, ditulis wartawan senior, Antoni A. Pardosi, yang diterbitkan oleh Yayasan Cemara, Kutoarjo, Jawa Tengah, pada 2012. Hari Rabu 21/2/2018, Pak Binsar yang berusia 86 tahun kurang empat bulan, dipanggil Tuhan dengan tenang.
Semua yang mengenal Binsar pasti sepakat bahwa ia seorang hakim yang tegas dan berwibawa. Tak suka basa-basi. Dia memiliki streotip orang Batak yang blak-blakan, tidak
menyimpan dendam, serta kukuh pada pendirian. Binsar menganggap sikap terbuka dalam hidup ini adalah kebutuhan.
Saat menjadi Ketua Umum GMKI (1959-1961), di tengah pertarungan ideologi di Tanah Air, dia sangat akrab dengan Sekjennya, Sutarno, orang Jawa yang halus dan berpendidikan teologia. Saat menjadi Hakim, Binsar Siburian sangat kompak dan bersahabat dengan semua hakim lintas suku dan agama. Sedang pada era pertarungan ideologi, GMKI yang dipimpinnya tidak bisa mengelak untuk tidak terlibat dalam pergulatan bangsa. Pada waktu itu GMKI secara intensif menghadapi PKI. Mula-mula pada Kongres Pemuda 1960 di Bandung, kemudian Kongres PPMI 1961 di Jakarta. Ketika itu GMKI aktif dengan tetap ambil posisi sebagai “mediator positif” mendekati secara pribadi pimpinan HMI, GMNI, PMKRI dan CGMI. Seiring dengan itu, Binsar dan Sutarno merawat hubungan baik dengan WSCF, membina hubungan baik dengan gereja-gereja dan organisasi-organisasi Kristen, serta membantu Parkindo ketika Presiden Soekarno menerbitkan Perpres No. 13 Tahun 1960 dan mendirikan GAMKI serta PIKI.
Binsar mengawali karier di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, 1 Mei 1963. Kemudian tahun 1966, dipercaya sebagai hakim anggota pada sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dalam perkara G30S/PKI. Ia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal IKAHI untuk periode 1964-1966.
Pada tahun 1970-an, nama Binsar H Siburian menghiasi berbagai media cetak dan elektronik, ketika ditugaskan sebagai Hakim Ketua mengadili kasus subversi ekonomi dengan terdakwa Robby Tjahjadi dan perkara Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) dengan terdakwa utama Hariman Siregar.
PANDANGAN REKAN DAN KADER
Dalam buku biografi itu, cukup banyak rekan dan kader Binsar yang menorehkan pandangan. Di antaranya, Aco Manafe, wartawan senior, mengatakan, “Keteladanan yang Patut Dihargai” sebagai mahasiswa dan pemuda, memimpin GMKI dan “membidani” GAMKI dan PIKI sekaligus memotivasi kader-kader, seperti, Victor Matondang dan Sabam Sirait membantu Parkindo. Ia dipercaya sebagai Hakim Anggota Mahkamah Militer Luar Biasa mengadili tokoh-tokoh G30S/PKI, Dr.Subandrio dan Kolonel Untung, dengan pangkat Mayor Tituler. Kemudian jadi Ketua Majelis Hakim mengadili Robby Tjahyadi (1972) dalam kasus subversi ekonomi, dan perkara Malari Hariman Siregar (1974). Binsar memiliki kekukuhan dalam prinsip, berada di tengah dan tegak di antara berbagai kepentingan.
Harry Tjan Silalahi, SH, Pembina CSIS, sudah mengenal Binsar setengah abad lalu, dalam satu almamater, dan yang lebih mendekatkan keduanya adalah sama-sama aktif di pergerakan mahasiswa menggeluti kehidupan kebangsaan. Nation and character building sangat penting di tengah pertarungan ideologi secara nasional maupun mondial. Binsar adalah orang yang selalu “Tenang dan Sabar” .
Kerja sama dengan Binsar Siburian sudah lama berlalu (1959-1961). Meski hanya dua tahun, pertemanan kami sangat intens dan baik. Beliau Ketua Umum, orang Batak, saya Sekjen, orang Jawa. Tak jarang jika Binsar menyampaikan sambutan atau ceramah, saya dimintanya memberi masukan, perbaikan atau tambahan. Kami suka berbagi tugas. Dalam kegiatan formal, kami sering hadir bersama. Selama menahkodai GMKI, kami berusaha mempertahankan dan meneruskan perjalanan GMKI secara estafet melampaui masa sulit dalam situasi politik yang berkecamuk sesuai AD/ART, terutama meneruskan “Panca Kegiatan” . Pada masa itu kami berhasil melebur MPKO dan PPKI menjadi GAMKI. Selain itu turut mendirikan PIKI. Pdt. Em. Dr. Sutarno