Energi Nuklir Warisan dari Bung Karno untuk Rakyat

0
1510

 

 

Oleh: Jeannie Latumahina

 

Dalam buku “Maluku Stagingpoint RI Abad 21”, Presiden Sukarno mempercayakan dan menugaskan Dr. G.A. Siwabessy (1914-1982) asal Ullath, Saparua Maluku,  Dokter ahli radiologi, untuk mewujudkan impian dan harapan tata dunia baru dari Rakyat dan Pemerintah Negara RI yang berbasis tenaga atom untuk perdamaian dan kesejahteraan manusia, khususnya Rakyat Negara RI.

 

Adapun khususnya melaksanakan amanat Pasal 3 ayat 1 UU No. 31/1964 yaitu “Presiden membentuk suatu Badan Tenaga Atom Nasional yang melaksanakan, mengatur dan mengawasi penelitian serta penggunaan tenaga atom di Indonesia demi keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia”.

 

Dunia pun dibuat menjadi kalang kabut, ketika Radio Australia  pada tanggal 18 November 1964 mengumumkan Indonesia membuat reaktor atom.

 

Bung Karno sangat menginginkan Indonesia memiliki energi nuklir sendiri. Oleh sebab itu ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956, dalam bentuk pernyataan dan seminar- seminar yang diselenggarakan di beberapa Perguruan Tinggi di Bandung.

 

Pada tanggal 20 Februari 1965, reaktor nuklir pertama milik Indonesia dengan daya 250 KW diresmikan Presiden Sukarno. Sayangnya pada 11 Maret 1966, kekuasaan Sukarno sebagai Presiden berakhir, maka impian memiliki dan memanfaatkan energi nuklir menuju kemandirian energi terhenti sudah. Setelah Bung Karno, era nuklir di Indonesia akhirnya pupus. Pengembangan energi nuklir Indonesia, impian nuklir Bung Karno tidak lain semata-mata untuk kesejahteraan rakyat Indonesia menuju keadilan sosial.

 

Sejalan dengan kebutuhan energi dan tekanan politik pembangunan waduk untuk PLTU, maka ide untuk memanfaatkan energi nuklir muncul lagi ditahun 1978, bersamaan dengan dibentuknya komisi untuk persiapan pembangunan PLTN oleh Batan dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.

 

Kemudian pada September 2015, impian Presiden Sukarno mengenai adanya “Tata Dunia Baru” menjadi agenda 2030 lembaga PBB sebagai program selama 15 tahun kedepan dengan dana sekitar tiga triliun dollar AS per tahun. Tentunya untuk mengatasi krisis beberapa dekade terakhir yang bersifat sistemik dan multiplier effect seperti ledakan penduduk, krisis energi dan krisis akibat perubahan iklim dunia.

 

PLTN adalah alternatif yang masuk akal untuk memenuhi pasokan pembangkit tenaga listrik sebagaimana diproyeksikan dalam KEN Bappenas, mengenai energi 2015 – 2025.

 

Pemanfaatan nuklir untuk listrik adalah solusi pasokan tenaga listrik jangka panjang. Yang menandai prasyarat bagi tercapainya cita-cita Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur.

 

Pemikiran ini ditopang dengan  UU 17/2007, tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025. UU 17/2007  mengamanatkan pemanfaatan Tenaga Nuklir untuk pembangkit listrik (PLTN). Jadi sebenarnya rencana pembangunan PLTN Indonesia sudah sejak tiga dekade lalu, namun kembali berujung pada perdebatan pro- kontra tanpa akhir. Secara sistem terlihat ada upaya-upaya untuk mencegah Indonesia masuk ke area pemanfaatan energi nuklir.

 

Tanpa adanya upaya pembangunan PLTN, maka target pemenuhan kebutuhan listrik sebesar 115 GW pada tahun 2025 tidak akan tercapai. Pasokan kebutuhan listrik sangat mendukung pertumbuhan  ekonomi Indonesia. Alasan yang tidak masuk akal tentang kemampuan yang menyatakan bahwa SDM Indonesia maupun anggaran belanja tidak mampu membangun PLTN. Malah selanjutnya lebih memperlihatkan adanya  pembangunan yang berpihak kepada mafia migas daripada usaha untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

 

Dengan adanya UU Tenaga Nuklir tahun 1997, artinya memang secara hukum sudah jelas harus dijalankan proyek pembangunan PLTN Indonesia. Bahkan diperkuat adanya Perpres tentang dibentuknya Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir, juga sudah ada. Maka berbagai alasan mengenai masalah sosialisasi, SDM, anggaran adalah pemikiran yang sungguh tidak benar.

 

Yang dipertanyakan adalah “Apa yang sudah dijalankan oleh pemerintah atas adanya UU dan Perpres??”

 

Amanat undang-undang harus dijalankan, terlebih berkaitan dengan kehidupan rakyat. Diperkuat dengan rekomendasi dari Bappenas. Kurang apalagi untuk dijalankan?? Bukan alasan juga dimana sejak tahun 1945 hingga saat ini hanya terdapat dua masalah reaktor nuklir di dunia, dan sama sekali tidak masuk di akal sehat bila dikaitkan dan menjadi dibesar-besarkan menjadi semacam ‘hantu nuklir” akibat proses cuci otak untuk membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terpuruk dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Ketahuilah bahwa sekarang ini jumlah reaktor nuklir di dunia sudah mendekati angka enam ratus banyaknya.

 

Apakah akan terus dibiarkan rakyat dibuat semakin tercekik leher dengan begitu tingginya tarif dasar listrik, yang terus menerus naik hingga saat ini.

 

Indonesia sendiri sudah memiliki reaktor di Bandung, mengapa tidak dilanjutkan lebih banyak lagi reaktor untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat??. Padahal kualitas kandungan uranium dari Indonesia sangat bagus, bahkan pada beberapa sampel bantuan mendekati angka 100 persen kadar uraniumnya.

 

Demikian juga bagaimana hasil kerja Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN) yang  pembentukannya ditetapkan menurut pasal 5 UU no 10 tahun 1977 tentang ketenaganukliran. MPTN berada di bawah kementerian Riset dan Teknologi. Yang menjadi pertanyaan mengapa selama 3 tahun bekerja, belum jelas hasil kerja Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir???? apa sebabnya??? rakyat membutuhkan jawaban jelas terhadap krisis energi didalam negeri !

 

Negara-negara di Dunia seperti Amerika, Perancis dan lain- lain bahkan di Asia seperti Jepang, Cina, Korea Selatan terus berpacu dalam memakai energi nuklir untuk pemenuhan kebutuhan listrik yang murah bagi rakyatnya.

 

Korea Selatan misalnya negara yang sedang dalam ancaman perang tetap membangun reaktor- reaktor baru karena memang biayanya dalam jangka waktu panjang paling murah. Dibandingkan dengan menyediakan pembangkit listrik dengan bahan bakar lain.

 

Perlu diketahui untuk menghasilkan 1 kilowatt hour ( kWh) listrik dari sebuah reaktor nuklir di Korea Selatan, hanya membutuhkan dana sebanyak 35,64 won ( mata uang Korea Selatan) atau sekitar Rp 285.

 

Bandingkan dengan ongkos memproduksi 1 kWh listrik dari sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan 60,31 Won atau Rp 482,-

 

Pembangkit listrik tenaga air memerlukan ongkos  109,37 Won atau setara dengan  Rp 874,-

 

Pembangkit tenaga angin yang menuntut biaya 109, 44 Won atau Rp 875,-

 

Apalagi jika dibandingkan dengan biaya produksi 1 kWh dari pembangkit listrik tenaga minyak mencapai 145, 62 Won  atau Rp 1.165,-

 

Pembangkit listrik tenaga gas sebesar 153,06 Won atau Rp 1.224. Dan yang termahal adalah pembangkit listrik tenaga matahari sebesar 677, 38 Won atau Rp 5.419,-

 

Dalam membangun pembangkit listrik dari energi nuklir,  Vietnam sudah memiliki enam reaktor PLTN dan sedang mengembangkan empat reaktor lagi.

 

Bahkan Perancis sebagai negara nomor dua terbesar bidang nuklir didunia, bertekad pada tahun 2040 bermaksud menghentikan produksi minyak dan gas. Bagaimana dengan Indonesia??? Sangat jelas bahwa energi listrik nuklir SANGAT MURAH. Dengan demikian dari data-data ilmiah diatas jelas menunjuk kepada BETAPA JAHATNYA MAFIA MIGAS DAN ENERGI INDONESIA. TEGANYA membuat masyarakat ekonomi rendah TERCEKIK LEHER dengan begitu tingginya tarif dasar listrik. Sampai terjadi banyak desa malah diputuskan aliran listrik oleh PLN karena masyarakat tidak sanggup membayar tarif listrik.

 

Rakyat membutuhkan kehidupan.Tugas dan tanggung jawab negara adalah memberi kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah cita-cita yang diwariskan Bung Karno pada saat terakhirnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dengan melalui kemandirian energi akan terus dikuburkan didalam lubang-lubang, serta tenggelam dalam danau-danau dadakan hasil mahakarya keberadaan penambangan batubara yang merusak tanah. Apakah akan membiarkan anak cucu keturunan kelak hidup dengan selalu menggunakan masker jika tidak ingin tercekik oleh asap buangan pembangkit listrik batubara, akibat kelambatan dalam membuat kebijakan memulai langkah menuju kemandirian energi.

 

Kediri 18 Januari 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here