MALAPETAKA INDONESIA: PRESIDEN JOKOWI MENYENDIRI DAN MENGISOLASI DIRI!?!

0
1141

Oleh: HMT Oppusunggu

 

Kami terprovokasi dan termotivasi menulis artikel ini, setelah membaca harian KOMPAS pada 15 -12-2017 yang memuat artikel tulisan LIPI: KONSUMSI TETAP JADI TULANG PUNGGUNG.

 

Dalam artikel Kompas tadi, LIPI tidak menjelaskan faktor-faktor apa saja menjadi  penyebab dari timbulnya fakta-fakta yang diuraikan tulisan tsb. Diperkirakan, misalnya, bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2018  akan tumbuh dengan 5,22%. Proyeksi tsb –katanya- lebih rendah daripada asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2018, yakni 5,4%.

Padahal, ditinjau dari sudut ilmu statistik, kedua angka pertumbuhan tsb sama saja besarnya, yakni dibulatkan menjadi 5%. LIPI juga tidak menyadari bahwa angka pertumbuhan tsb oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diartikan hanya dalam harga-harga-yang-berlaku(at current prices), karena Badan tsb tidak pernah menghitung Index GDP Deflator yang sedianya harus dipakai untuk mengoreksi harga-harga-berlaku dari PDB, supaya diperoleh PDB dalam arti riil atau dalam harga-konstan.                                                                                                                   Biasanya, jika Index GDP Deflator tidak tersedia, maka yang sementara dipakai mengoreksi GDP tsb  adalah angka inflasi. Jadi artinya, bila angka inflasi tahun 2018 sebanyak 5%, maka berarti bahwa PDB-konstan tidak bertambah sama sekali, bahkan PDB per kapita akan turun sesuai dengan pertambahan penduduk Indonesia tiap tahun. Bila kita pakai asumsi LIPI yang memproyeksikan angka inflasi pada tahun 2018 sebanyak 4%, maka angka pertumbuhan PDB secara riil (konstan) tinggal menjadi 1% saja atau tidak berarti apa-apa saja. LIPI menyebutkan bahwa APBN menyatakan asumsi inflasi APBN 2018 juga sebanyak 4%, tanpa LIPI menjelaskan mengapa angka LIPI dan APBN sama besarnya, dan tanpa menjelaskan pula faktor apa saja yang menentukan angka inflasi tsb lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.

 

 

Kekeliruan fatal dalam artikel Kompas tsb di atas adalah ketika Agus Nugroho, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, menyebutkan bahwa ‘KONSUMSI tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi selain investasi, ekspor dan belanja Pemerintah’… Sudah begitu bobrok dan brengseknyakah standar ilmu ekonomi di Indonesia!?!

 

Sudah berkali-kali kami menuliskan di waktu lampau, bahwa pendidikan ilmu ekonomi di Indonesia –khususnya mengenai ekonomi-makro- memang sudah kedaluwarsa dan tidak becus saja. Setelah membaca artikel KOMPAS dengan judul tsb di atas dari  organisasi-ilmiah tertinggi kita -LIPI -(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), maka kami berkesimpulan, bahwa LIPI secara syah dan meyakinkan, membuktikan lengkapnya diberitakannya gambaran dari brengseknya ilmu pengetahuan ekonomi-makro yang selama ini diterapkan di Indonesia.

 

Sementara itu kita saksikan pula betapa ngawur totalnya ilmu pengetahuan ekonomi-makro di negara kita  yang dianut oleh lembaga Bank Indonesia(BI). Agus Martowardoyo, Gubernur BI pada 22-12-2017 di Bali a.l.berkata, bahwa “sumbangsih sektor konsumsi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2017 ini adalah sebesar 56 %. Yang jadi driver (pendorong)pertumbuhan tsb juga ekspor dan investasi. tetapi peran dari konsumsi tetap terbesar karena 56% tsb adalah sumbangsih dari konsumsi untuk pertumbuhan ekonomi kita”.

 

Tidak mungkinlah Gubernur BI sanggup menghitung dan menentukan besarnya peran  56% sebagai pangsa-konsumsi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain dari memperolehnya  sebagai isapan jempol saja.

 

ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) sendiri memang tinggal nama melulu yang selama ini bungkem total seperti tuna-wicara. Tidak pernah selama ini kedengaran darinya  mengenai perkembangan dan partumbuhan ekonomi kita dan berbeda langit dan bumi dengan ILC (Indonesia Lawyers Club) yang tiap minggu menyelenggarakan pertemuan-diskusi ilmu hukum ‘untuk mencerdaskan ilmu-pengetahuan-hukum’ yang berharga bagi para pemirsa TV-One.

 

ILC memperagakan teori dan praktek (penerapan) ilmu  hukum yang sesuai dan cocok satu sama lain, sedang ISEI dan begitu juga LIPI maupun BI keliru fatal, karena baik teori maupun praktek ilmu ekonomi-makronya bersangkutan keliru dan ngawur sama sekali.

 

Kepala Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)  LIPI -Agus Eko Nugroho- dalam artikel Kompas tsb berkata: “Konsumsi akan tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, selain investasi, ekspor dan belanja Pemerintah. Agus Martowardoyo, Gubernur BI, begitu juga sama-sama tolol dan keliru karena juga memberi tekanan pada peran utama dari konsumsi.

 

Padahal, teori dan praktek ilmu ekonomi-mikro dan ekonom-makro – yang satu sama lain komplementer,  tidak pernah mengemukakan bahwa KONSUMSI menjadi faktor tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka ekonomi-mikro saja,  timbul teori “Ilmu-ekonomi-elementer-Robinson- Crusoe”- yang  justru mengajarkan bahwa dengan mengurangi secara relatif konsumsi-nya dari  ikan yang ditangkapnya hanya satu ekor setiap hari, maka bisa tersedia waktu satu hari penuh bagi Robinson untuk menyediakan waktu terluangnya-tanpa-tangkap-ikan, untuk melakukan investasi baru merakit dan menukangi sebuah perangkap-ikan  yang memungkinkannya bisa menangkap 5-10 ekor ikan tiap hari dan kemudian sanggup mengkonsumsi ikan lebih dari satu ekor tiap hari dan bahkan sanggup menjadi pedagang penjual ikan. Artinya: harus dengan mengurangi konsumsi-lah terlebih dahulu baru  kita bisa memperbesar savings –pendapatan dari GNP yang  kemudian diperuntukkan dan disalurkan sebagai sumber bagi pertambahan  investasi nasional. Dengan kata lain: hanya dengan relatif mengurangi konsumsi nasional terjadi pemupukan dan bertambahnya savings yang diperuntukkan melakukan pertambahan investasti, sedang investasi tsb bisa dan harus diciptakan bagi keperluan pembangunan serta bagi kenaikan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pembangunan-nasional TIDAK MUNGKIN terlaksana , bilamana Negara memakai seluruh GDP-nya untuk  dihabiskan dalam KONSUMSI: …                             You cannot have the cake and eat it too, stupid!

 

Dengan kata lain: bahwa bertambahnya Investasi dalam alat-alat modal yang jauh lebih superior teknologinya dan investasi bagi pendidikan karyawan-yang lebih trampil dan memiliki produktivitasnya yang lebih tinggi serta pembentukan lembaga-lembaga yang lebih efisien, maka pasti-sekali akan memberikan terciptanya kenaikan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi bangsa dan Negara…  Dengan kata lain:  tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi atau perluasan pasokan  (supply) Produksi nasional, sama sekali bukan terletak pada konsumsi atau pertambahannya, tapi pada  investasi dan kenaikannya.Doktrin ini berlaku baik bagi negara maju maupun negara tertinggal. Bedanya adalah bahwa di negara-maju seperti Jepang atau Korea Selatan, konsumsinya sudah tingkat ‘KFC” (Kentucky Fried Chicken), sedang di  Indonesia kualitasnya tinggal pada tingkat ‘Sate’, atau seperti yang disebut Soekarno pada tingkat ‘Tahu-Tempe’ saja.

 

Memang ekonomi-makro yang dipelopori JM Keynes juga dikenal sebagai ilmu Keynesian Economics atau New Economics vs Old Econmics, terfokus pada teorinya yang mengatakan, bahwa driving force utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah tingkat Pengeluaran keseluruan, yang dijadikan menjadi tolak-ukur dari tingkat Demand keseluruhan dan menyebutkan, bahwa menurunnya Pengeluaran atau belanja konsumsidan Investai akan menentukan  turunnya pertumbuhan-aggregate atau pasokan aggregate Produksi Nasional. Bila teori ekonomi mikro berkata bahwa SUPPLY CREATES ITS OWN DEMAND, Keynesian Economics berkata bahwa Total Demand atau TOTAL SPENDING -lah YANG MENENTUKAN TOTAL SUPPLY… Malaise 1931 timbul -kata Keynes- karena demand konsumsi dan investasi keseluruhan menurun dan tidak lagi menyerap output keseluruan (PDB).

 

Presiden Jokowi merasa ketipu apa tidak oleh ahli-ahli ekonomi  dalam Kabinetnya!?!

 

Alhasil ekonomi Indonesia tinggal melempam total hingga hari ini:orientasi pembangunan di Indonesia selama periode- Jokowi, melulu diprioritaskan justru pada perluasan konsumsi dan bukan pada pertambahan investasi-produksi.

 

Kabinet Jokowi sendiri – yang raksasa belaka ala “Parkonson’s Law’- dilanda oleh kadar dan tingkat efisiensi dan produktivitas yang sewajarnya: ada Menko Ekonomi, yang melulu menerbitkan 13 jilid peraturan-peraturan-admistratif-ekonomi-tanpa-dasar-hukum-ekonomi apa-apa. Sifatnya karya pribadi belaka tanpa merupakan hasil koordinasi dari Kementerian-Kementerian yang di”Menko”-inya; ada Menko, teman karib Pres. Jokowi, yang “Jack of All Trade”, sanggup memberi  kuliah ekonomi dan statistik pada  staf dosen dan mahasiswa ITB Bandung; ada Menteri Perencanaan Ekonomi, yang tinggal pukul lalat belaka; ada pula Menteri BUMN yang mati-matian mempertahankan berdirinya terus ‘negara-dalam-negara’-dan-koruptor terbesar-Pertamina; ada Menteri Keuangan yang bukan mengurus soal moneter-keuangan, tapi turut mencampur-tangani soal-soal keuangan-moneter-sekalipun-domein-satu-satu-nya dari  Bank Sentral (BI) yang aneh bin durhakanya dipimpin sekarang ini oleh ahli-mikro-perbankan dan yang nota bene menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang-abal-abal, yaitu Undang Undang BI No. 23, 1999. Seperti telah diuraikan di atas, Gubernur BI sekarang ini tinggal ngawur melulu dan mata uang Rupiah pun seenaknya –sambil meng-ekori ketentuan Bloomberg- didepresiasikannya paling rendah terparah di seluruh dunia: Rp 14 Ribu per $…

 

Uraian yang terlalu luas diuraikan  di atas tadi, dimaksudkan hanya untuk bertanya secara fundamental: Apakah memang bukan tidak terlalu banyak Menteri Kabinet raksasa Jokowi ini yang tidak diperlukan sama sekali? Apa gunanya  mendirikan Kementerian Pendayagunaan  Aparatur Negara? Kan, setiap Menteri pada dasarnya  mengetahui benar bagaimana menyusun aparatur Kementeriannya sendiri. Apa gunanya Menteri Sosial?. Bukankah organisasi agama atau adat istiadat dan organisai-sosial setempat sudah lebih dari cukup untuk menangani penduduk korban dari bencana alam, kebakaran dll? Dalam hubungan ini, cukup dan haruslah Pemerintah, i.c. Bank Sentral BI, memberI GRATIS bantuan atau santunan sepenuhnya untuk membiayai seluruhnya kerugian rumah dll yang dialami penduduk bersangkutan! Tidak ada kerugian apa-apa yang dialami BI, selain ongkos cetak dari uang kertas yang gratis diberikan BI tadi. Dengan batuan BI tsb justru dipulihkan kembali seutuhnya kerugian daya Produksi Nasional yang dialami negara; dll dll pertanyaan… sehingga akhirnya dapat menyimpulkan, bahwa kursi Kementerian bisa dikurangi menjadi sangat kecil sambil menghemat APBN untuk dipakai bagi keperluan investasi Pemerintah menyejahterahkan rakyat.

 

Ya, semua Menteri-Menteri ahli-ekonomi dalam Kabinet Jokowi, justru  menjadi tulang punggung dari brengseknya perekonomian kita sekarang ini dan menjerumuskan Indonesia  jatuh dalam jurang malapetaka  luar biasa tsb?

 

Pertanyaan mendasar yang kita hadapi adalah: Apa dan di mana sebenarnya sumber dan latar belakang dari malapetaka ekonomi tsb yang menimpa negara sekarang ini.!!

 

Dari uraian-uraian di atas tadi dapat ditengarai dan disimpulkan, bahwa malapetaka ekonomi kita dewasa ini, semula diciptakan oleh maraknya korupsi-intelektual yasng menyelimuti korupsi uang.(mengenai kedua istilah-korupsi tsb,  dapat dirujuk pada buku  tulisan HMT Oppusunggu, Kwik Kian Gie dan Theo Yusuf, SekJen PWI:Indonesia Dijajah Kembali Oleh Bangsanya Sendiri, hal. xxi).

 

Pada tahun 70-an, terjadi boom-petro$ global luar biasa tapi arus-$ tsb  dimonopoli oleh koruptor besar ‘negara-dalam-negara- Indonesia’ Pertamina saja. Pada waktu itu Indonesia memiliki potensi yang sangat kuat bagi pembangunan industri modern, tapi aneh bin durhakanya, bagi rakyat Palembang saja, dibangun hanya sebuah jembatan AMPERA di Sungai Musi.

 

Arus-$ selebihnya hilang total dikorupsikan menjadi milik ‘negara-dalam-negara’ Pertamina, yang menikmati ‘per capta income’ bagi warganya menjadi 2-3x lipat dari ‘per capita income’ bagi warga Negara Indonesia seluruhnya. AMPERA yang sedianya menandakan Amanat Penderitaan Rakyat, dalam kenyataannya, berubah menjadi AM(anat) PE(nipu) RA(kyat).

 

Dapat ditelusuri dan ditemukan lebih lanjut, bahwa korupsi-intelektual di Pertamina tsb tadi, dipelopori oleh ‘doktrin intelektual dwifungsi baju-ijo’:Pada tahun 70-an tsb tadi, oleh Panglima TNI diangkat seorang Kolonel dan seorang dokter baju-ijo menjadi Dirut Pertamina menggantikan Dirut pendahulunya, seorang ekonom kaum sipil. Dwifungsi baju-ijo tadi berlanjut mewabah terus hingga hari ini: ada dua orang baju-ijo menjadi Presiden RI sedang baju-ijo juga disusupkan turut menjadi ahli-sipil dan berkuasa di Kabinet Jokowi. Bahkan Freeport mengangkat 2 orang baju-ijo menjadi Dirut Freeport Timika, menikmati gaji-aduhai-tanpa-kerja. Sementara itu, Pertamina sekaligus memelopori pula timbulnya praktek ‘korupsi-uang’, di mana Pertamina diberi kebebasan penuh mendirikan 1001 ragam anak perusahaannya di dalam dan luar negeri yang menciptakan per capita pendapatan warganya yang sangat tinggi tsb tadi.

 

Dalam pada itu pada tahun 70-an juga lahir ‘Mafia Berkeley’ yang juga koruptor-intelektual terbesar  dengan keahliannya merumuskan Planless-plan Repelita. Ahli-ahli asing yang dipakai melaksanakan rencana-tanpa-rencana Repelita Indonesia tadi –menurut Prof. Soemitro- mengkorupsikan 30% dari biaya yang disediakan Pemerintah bagi pelaksanaan tsb. Korupsi-intelektual Mafia Berkeley tsb menjalar dan menonjol terus hingga sekarang dengan bercokolnya Menteri Bappenas Kabinet Jokowi yang hanya tinggal pukul lalat belaka dan membuktikan kembali, bahwa korupsi -intelektual Kabinet Jokowi terus saja dibarengi oleh korupsi-uang seperti yang bermula pada tahun-70-an tadi.

 

Apakah Presiden Jokowi tidak merasa ketipu sedikitpun oleh kedua ragam korupsi tadi?!?Sama sekali tidak. Presiden kita memilih untuk tinggal diam, dan tinggal meyendiri dan terisolasi saja.

 

 

Kita akhiri tulisan ini dengan mengulas kembali mengapa Pres. Jokowi menunda-nunda transformasi dan melalaikan pembangunan industri Indonesia khususnya, yang selama berwindu-windu tertinggal retarded (sangat terbelakang bagaikan bayi) saja, sekalipun negara kita memiliki kekayaan luar biasa dari sumber alam bagi pertumbuhan pesat bagi perekonomian industri kita tsb. Indonesia justru jauh tertinggal dari Korea Selatan, yang sekalipun sangat miskin sumber alamnya bagi pembangunan. Indonesia diselimuti terus oleh kedua ragam korupsi tadi.

 

Indonesia sedianya dengan mudah bisa membangun industrialisasi-manufaktur dengan teknologi-canggih dan dengan tingkat produktivitas tinggi bagi kenaikan standar-hidup maupun  bagi memperkuat motivasi bagi pertumbuhan yang  spektakuler bagi kenaikan pesat dari pendapatan serta kesejahteraan rakyat kita.  Sektor industri modern tsb seyogianya dengan mudah juga bisa menyediakan input yang sangat tinggi produktivitasnya bagi pertanian, pertambangan maupun sektor-sektor lain, sedang dampaknya sangat tinggi bagi transformasi transport, perdagangan maupun industri-jasa lainnya.

 

Sejak 1967, Freeport berdiri  menjadi ‘negara-dalam-negara-penjajah’ yang menguasai pertambangan emas cum tembaga terkaya di dunia . Sekarang ini, perusahaan tsb ingin melanjutkan terus penjajahannya tsb hingga 2041,sedang sementara itu, Papua diwariskannya memperoleh danau  menganga kering saja, sambil pimpinan kita tinggal ketipu karena seenaknya bisa dibeli Freeport  dengan bongkahan-bongkahan emas-40 karat -Timika, Papua. Freeport memperjelas kembali, bahwa pimpinan kita saja dicekoki terus dengan bercokolnya terus pada mereka, korupsi-intektual yang dibarengi dan diliputi oleh korupsi uang.

 

 

Kembali mengherankan dan mengecewakan: Mengapa Pres. Jokowi sendiri tidak merasa ketipu oleh ahli-ahli-ekonomi Kabinetnya?

 

Pada tahun 2017 yang lalu kami menganjurkan pada Pres. Jokowi, supaya HARI INI JUGA smelter tembaga dan emas-80-karat Papua didirikan di Timika menjadi milik negara Indonesia..… apalagi, karena Indonesia justru adalah  pemilik dari pertambangan emas cum  tembaga terkaya di dunia!!!                                                                                                                                               Kami telah nyatakan juga bahwa pembangunan smelter di Timika tsb tidak bakalan didirikan oleh Freeport, karena perusahaan raksasa tsb tidak akan pernah  berniat untuk meniadakan smelter yang sudah didirikannya di USA… Sedang, bila Pres. Jokowi mau mendirikannya (karena investasinya dengan mudah bisa diambil dari persediaan devisa Indonesia yang sekarang ini nongkrong sebanyak US$ 125 milyar), maka seperti kami telah tuliskan sebelum ini, Presiden akan menciptakan sejarah baru:Dengan didirikannya smelter-milik-Indonesia tsb tadi, Pres. Jokowi meletakkan fondasi baru bagi transformasi dinamis sektor industri kita yang sekaligus  mengalihkan  chick-industry sekarang ini menjadi industri dewasa modern. Sebab, smelter Indonesia tsb sekaligus menyanggupkan Indonesia mendirikan metal-transforming-indusry-nya: Pres. Jokowi mempelopori peletakan fondasi-transformasi bagi perekonomian kita seluruhnya seperti yang dilakukan Korea Selatan.

Tersedianya permintaan pasar domestik Indonesia yang sangat luas, dan sangat mendukung terciptanya pasokan produksi dari metal-transforming-industry tsb, lebih-lebih apabila sekaligus juga disertai oleh perluasan Krakatau Steel untuk beroperasi tidak merugi seperti dewasa ini dan bersama dengan metal-transforming-industry tadi menciptakan transformasi besar-besaran bagi perekonomian Indonesia seluruhnya.

 

Kita dan Indonesia tidak boleh ketipu lagi untuk kedua kalinya, seperti yang terjadi yang dilakukan Pertamina pertama kalinya pada tahun 70-an. Hari ini juga, Presiden harus menghilangkan dan menghapus vested interest korupsi intelektual cum korupsi-uang yang terus saja merasuk dan merusak jiwa pimpinan kita yang tinggal status quo dan tidak menyadari betapa fundamental dan strategisnya peran dari berdirinya smelter baru milik Indonesia tsb.

 

Pada kesempatan ini, kami  mengulangi kembali usul kami supaya Pres. Jokowi, yang populer berkepribadian terbuka, tulus dan jujujr murni, kiranya bersedia  mengubah dan menyederhanakan multy-party system kita sekarang ini menjadi two-party-system saja. Tidak ada seorangpun warga kita yang bisa menyangkal, bahwa Multy-party-system kita selama ini justru dikuasai oleh   persekongkolan mempermanenkan jiwa korupsi-intelektual cum korupsi-uang yang melulu menodai setiap Partai.

 

NODA TSB OTOMATIS HILANG TOTAL, BILA DIDIRIKAN HANYA DUA PARTAI POLITIK SAJA: 1.PARTAI PERSAUDARAAN ISLAM DAN 2. PARTAI KEBANGSAAN TOLERANSI. KEDUA PARTAI TSB BERDIRI DAN BERPARTISIPASI DALAM PEMILU 2019 .

 

Usul lagi, agar Team-Team Pen-sosialisasian keberadaan terbentuknya kedua Partai Politik tsb diserahkan pelaksanaanya pada  Syafii Maarif-Fadli Zon untuk Partai Persaudaraan Islam, dan pada Sahetapy dan Kwik Kian Gie untuk Partai Kebangsaan Toleransi.

 

Baru sesudah itu, kita memperoleh hasil pemungutan suara yang akan menentukan besarnya dan  perimbangan suara dari masing-masing Partai dan yang kemudian memilih dan menentukan Dewan Pimpinan dan Pengurus masing-masing Partai.

 

Semoga Indonesia ‘once and for all’ bebas dari malapetaka korupsi uang dan korupsi-intelektual yang telah membudaya-berurar-berakar di Negara kita. Ya, s e m o g a!?!

 

 

 

PS: 1. Tolong  Sekkab atau Teten Masduki untuk langsung menyampaikan email ini ke tangan Pres. Jokowi. 2. Tolong SekJen DPR –menyampaikan sepenuh hati tulisan ini ke semua Komisi DPR tanpa di-sensor dan diboikot. 3. Seperti biasa, tolong penerima lainnya dari email ini menyebarkannya ke seluruh Sabang-Merauke, sehingga rakyat merasa terpanggil untuk mendesak Presiden kita supaya termotivasi memelopori transformasi industri kita dengan mendirikan smelter baru milik Indonesia tsb dan melakukan transformasi politik dengan membentuk dua Partai Politik saja..

 

5  Januari 2018.

 

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here