Oleh : Lintong Manurung
(Ketua Umum Komunitas Jabar Sejati)
“AKU MEMILIH TOLERAN BUKAN KARENA AKU PENGECUT, NAMUN KARENA AKU MENGERTI TOLERANSI ADALAH JATI DIRI KE INDONESIAAN KITA” (Lintong Manurung)
Memasuki era reformasi, Indonesia terus didera berbagai kasus diskriminasi yang berujung kekerasan di berbagai daerah di Indonesia. Diskriminasi terkait agama mendominasi kasus kekerasan yang terjadi, kemudian disusul dengan kekerasan etnis. Bibit-bibit diskriminasi dan kekerasan yang diawali dengan bertumbuh kembangnya intoleransi ditengah masyarakat kemudian meningkat secara kualitatif dan kuantitatif menjadi tindakan radikalisme yang merusak dan menciderai prinsip-prinsip kebersamaan dalam perbedaan dan keberagaman (Bhineka Tunggal Ika) di tengah-tengah masyarakat kita.
Kasus Intoleransi dalam bentuk pasif umumnya diwujudkan dengan penolakan untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan diluar kelompok dan menutup diri untuk tidak bersosialisasi diluar komunitasnya, sedangkan kegiatan intoleransi dalam bentuk aktif dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan verbal maupun fisik seperti: ujaran kebencian, agitasi, provokasi, penolakan dan pengusiran terhadap kelompok agama tertentu sampai kepada aksi perusakan, pembakaran dan penolakan pendirian tempat ibadah.
Intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama ini disebabkan oleh banyak faktor seperti : kesenjangan sosial, ekonomi dan pengetahuan, kepentingan politik praktis oleh kelompok kekuatan politik tertentu didalam negeri serta pengaruh konflik politik berbasis agama yang ada di luar negeri. Dari penelitian terhadap kasus-kasus intoleransi yang terjadi, pemicu aksi intoleransi, antara lain disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Perbedaan memahami ajaran agama secara tekstual maupun kontekstual. Perbedaan doktrin dan pemahaman ini bisa mengkristal sampai kepada perilaku dan sikap yang ekstrim dengan menganggap bahwa hanya kelompoknya yang benar, sedangkan kelompok lain sesat dan bahkan bisa dimusuhi. Kekerasan berbasis agama ini dapat kita lihat dalam kasus-kasus : Islam VS Kristen di Maluku, Kasus Poso, Muslim VS Ahmadyah (Mataram), konflik Sunni-Syiah (Sampang, Madura)
2. Dominasi dan superioritas dari kelompok mayoritas terhadap kalangan minoritas. Aksi dominasi mayoritas ini sangat nyata dalam kejadian sekelompok masyarakat yang secara aktif hadir melarang atau menghambat pendirian, perusakan dan pembakaran tempat ibadah seperti : 1) Agresifitas kelompok-kelompok masyarakat untuk ikut aktif mengawasi pemakaian atribut keagamaan sebagaimana ditetapkan oleh Fatwa MUI 56/2016. 2) kasus perusakan dan penutupan gereja : GKI Yasmin Bogor dan HKBP Ciketing, Bekasi, Gereja Katholik Santa Clara, Bekasi dll 3) Pembakaran Gereja di : Temanggung (2011), Singkil Aceh (2015) , Palu (2017) 4) Pemboman Kuil di Jakarta (2013) dan lain-lain.
Sejak Indonesia memasuki Era Reformasi total pembakaran gereja sudah lebih dari 1.000 kasus. Pada era kepemimpinan B.J. Habibie, terhitung sekitar 162 gereja yang dibakar. Saat kepemimpinan Gus Dur pembakaran gereja memcapai angka 360 kasus. Di zaman Megawati Soekarnoputri angka kebakaran turun ke angka 160 kasus. Jumlah kasus pembakaran kembali meningkat di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama sepuluh tahun memimpin Indonesia, SBY dihadapkan dengan 500-an kasus pembakaran gereja (CNN Indonesia, Rabu 14/10/2015)
3. Ikatan Primordialisme ( fanatisme kesukuan). Kesenjangan sosial dan ekonomi dan ketimpangan penguasaan sumber daya alam merupakan pemicu terjadinya aksi primordialisme di Indonesia. Klimaks krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak Agustus 1997, memicu kekerasan massal atas etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998 di Jakarta, dan peristiwa terburuk lainnya adalah : Etnis Bali melawan etnis Lampung di Lampung Selatan (2012, Dayak versus Madura di Sampit (2015) dan kerusuhan Tanjung Balai (2016).
4. Pemerintah/negara belum bersikap konsisten dan menjaga dengan baik garis demarkasi perbedaan diantara kelompok masyarakat yang berbeda-beda (agama, etnis dan suku ) dengan adil dan objektif. Kasus-kasus antara lain, seperti : Pelarangan perayaan 1 Asyura oleh pemkot Bogor pada tanggal 22 Oktober 2015. Intoleransi agama juga menimpa pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan, keyakinan yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda, yang sebagian besar berdomisili di provinsi Banten dan Jawa Barat. Masyarakat Sunda Wiwitan ini tidak bisa memiliki surat atau akte kelahiran, pembuatan KTP dan buku nikah. Warga Sunda Wiwitan terpaksa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui, bahkan anak-anak sekolah harus memakai jibab pada saat bulan Ramadhan, agar mendapat nilai pada mata pelajaran agama. meskipun mereka tidak menyakininya.
5. Media sosial seringkali menampilkan ujaran dan menebar kebencian (hate speech) dan berita bohong (fake news) kepada masyarakat utamanya kepada generasi muda. Kuatnya pengaruh media untuk membentuk pola pikir masyarakat akan meningkatkan intoleransi dan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda. Penggunaan media sosial untuk tujuan kontestasi politik saat Pilpres tahun 2015 dan pilkada DKI tahun 2017 , memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap munculnya ketidakrukunan masyarakat. Masyarakat telah terbelah menjadi kelompok lovers dan haters yang saling bermusuhan.
6. Dunia pendidikan mulai dari tingkat paling dasar (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai dengan dengan Perguruan Tinggi sudah digunakan menjadi arena untuk memperkuat sektarianisme. Institusi Pendidikan di Indonesia saat ini banyak dijadikan sebagai tempat indoktrinasi dan sosialisasi nilai-nilai yang memecah belah. Pemecah-belahan itu dilakukan melalui indoktrinasi untuk mengenalkan paham-paham radikalisme yang akan meningkatkan intoleransi anak didik.
7. Tumbuh suburnya ormas-ormas dan kelompok-kelompok masyarakat intoleran sesudah era reformasi, merupakan sebab maraknya kegiatan-kegiatan agitasi, permusuhan, pengrusakan dan pembakaran aset/rumah ibadah.
Sikap intoleransi juga telah menyusup ke dalam birokrasi dan sistem Pemerintahan di daerah, karenanya birokrasi pemerintahan sudah tidak steril dengan nilai-nilai fundamentalisme dan itu tidak dapat dikontrol. Dari temuan intelejen di daerah, ada Pengawai Negeri Sipil (PNS) yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran dan menolak Pancasila yang ingin mendirikan khilafah atau negara Islam. (Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, 2017). Kasus kehadiran walikota Bogor Bima Arya Sugiarto yang dalam acara “Silaturahmi Tokoh dan Peresmian Kantor DPD II Hizbut Tahrir Indonesia Kota Bogor” pada Senin, 8 Februari 2016 seharusnya tidak terjadi apabila pemimpin daerah menyadari risiko dan akibat kerja sama atau atau mendukung dengan kelompok-kelompok intoleran.
Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM mencatat terjadi peningkatan kasus intoleransi dibanding dua tahun sebelumnya. Pada 2014, tercatat sebanyak 74 kasus intoleransi masuk dalam meja pengaduan Desk KBB. Tahun 2015, jumlah pengaduan meningkat, dengan total pengaduan sebesar 87 kasus, dan pada tahun 2016 hampir 100 kasus.
Fanatisme dan sikap intoleransi yang berlebihan terjadi karena perbedaan : pemahaman agama dan doktrin agama yang sempit, yang berakibat tumbuhnya aliran-aliran dan kelompok masyarakat yang saling memfitnah, mengharamkan, mengkafirkan aliran dan agama lain. Intoleransi ini sudah parah merusak dan menghancurkan dan telah membuat bangsa kita menjadi bangsa yang lemah dan gagal membangun identitas bangsa yang besar dan bermartabat.
Untuk melawan sikap intoleran seperti ini, yang dibutuhkan sebuah nilai budaya yang mau menerima perbedaan, menghargai dan menghormati perbedaan itu sebagai prasyarat untuk membangun harmoni sosial, serta kehidupan yang selaras untuk berbangsa dan bernegara. Setiap individu dalam masyarakat kita harus menyadari bahwa Indonesia dibangun, bertumbuh dan dipersatukan dalam perbedaan dan keberagaman. Dengan demikian setiap warga negara harus menyadari dan siap bersosialisasi dengan kehadiran kelompok yang berbeda dengan mereka, dan dalam kehidupan nyata harus siap dan sedia berbagi dengan pihak lain.
Intoleransi, perseteruan dan dendam kesumat yang muncul dalam individu dan kelompok masyarakat, sebenarnya dapat dikendalikan dan tidak akan berkembang menjadi energi yang destruktif jika Pemerintah mengelolanya dengan baik dan bijaksana. Program prioritas pemerintahan Jokowi dalam rangka penanganan masalah intoleransi ini diharapkan akan segera efektif berjalan melalui program dan kegiatan terpadu dan terarah diantara seluruh pihak yang berkepentingan. Upaya-upaya dan langkah-langkah yang dianjurkan adalah :
1) Membangun dan mempersatukan kelompok masyarakat yang berbeda-beda dalam satu kegiatan atau interaksi sosial dan budaya secara bersama-sama.
2) Mendidik anak-anak sejak usia dini agar dapat menerima perbedaan kelompok dan dapat menerima kenyataan bahwa selalu ada wilayah atau bagian yang mesti dibagi dengan pihak yang lain.
3) Pemerintah harus segera menyusun aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas yang sudah disahkan oleh DPR sebagai undang-undang, agar dapat digunakan secara pro aktif untuk membubarkan seluruh ormas-ormas intoleran yang ada saat ini.
4) Agar seluruh ormas, organ dan kelompok masyarakat, mendukung program dan kegiatan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) guna meningkatkan pemahaman dan pengertian yang benar dan baik mengenai Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan ideologi bangsa.