Menjadi Gereja yang Membumi: Catatan Reflektif Hari Kenaikan Yesus ke Surga, 25 Mei 2017

0
1541

Oleh : Pdt. Weinata Sairin

 

Tanggal 25 Mei 2017, umat Kristen di seluruh dunia merayakan hari raya gerejawi, yaitu Kenaikan Yesus ke Surga. Umat Kristen percaya bahwa sesudah bangkit dari kematian-Nya pada hari Paskah, Yesus naik ke Surga duduk di sebelah kanan Allah Bapa, untuk menyediakan tempat bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

 

Menurut sebuah kajian, hari raya kenaikan Yesus ke Surga di Indonesia baru dikenal pada akhir abad ke tujuh belas. Dalam tata gereja tahun 1624 yang disusun oleh Sidang Gereja Agung untuk Jemaat di Betawi dan jemaat-jemaat lain di Indonesia dan hingga tahun 1643, hari raya ini tidak disebut. Dalam Pasal 15 Peraturan Sekolah Baru yang disusun oleh Majelis Gereja di Betawi yang disahkan oleh Pemerintah (VOC) tahun 1684 disebutkan bahwa murid-murid sekolah diberi libur pada hari raya Paskah ke tiga dan pada hari raya Pantekosta ke tiga, pada hari Natal ke tiga, juga pada hari-hari doa pengucapan syukur umum. Umat Kristen Indonesia patut bersyukur dan menghargai kebijakan Pemerintah yang menetapkan tanggal 13 Mei 2010 sebagai hari libur resmi, sehingga umat Kristen dapat dengan leluasa melakukan ibadah.

 

Kondisi seperti itu tidak terjadi pada tahun 2003, karena Pemerintah mengundurkan libur resmi hari Kenaikan Yesus Kristus 2003 dari tanggal 29 Mei 2003 menjadi tanggal 30 Mei 2003. Itu dilakukan demi memperpanjang hari libur sesudah terjadi peristiwa Bom Bali. Dengan cara itu, Pemerintah telah mengintervensi agama, sebagai hasil keputusan Rakor Kesra 5 November 2003 di Jakarta, yang menyatakan hari-hari besar keagamaan terdiri dari yang ritual dan seremonial. Yang ritual tidak boleh dimajukan atau diundurkan, tetapi yang seremonial/peringatan bisa diubah. Hari-hari keagamaan yang ritual menurut Menteri Agama adalah Idul Adha, Nyepi, Waisak, Idul Fitri, hari Natal. Termasuk yang seremonial adalah hari raya Imlek, Tahun Baru Hijriah, Wafat Yesus Kristus, Maulid Nabi Muhammad S.A.W, Kenaikan Yesus Kristus, dan Isra-Miraj. Kita berharap di masa depan kondisi seperti itu tidak terjadi lagi. Pengaturan hari raya keagamaan bukan kompetensi pemerintah, tetapi hak agama-agama.

 

Tema utama hari Kenaikan Yesus yang terdapat dalam Kisah Para Rasul 1:6-11, mendiskripsikan dialog antara Yesus dan murid-murid-Nya sesudah Yesus bangkit dari kematian. Murid-murid masih tetap dalam kondisi yang salah persepsi tentang sosok Yesus, mereka memahami Yesus sebagai seseorang yang ingin mendirikan kerajaan baru di bumi, untuk mengulangi zaman keemasan raja-raja di zaman Perjanjian Lama. Dalam konteks itu terbersit pemikiran di benak para murid, jika nanti Yesus menjadi Raja di dunia, para murid sebagai kelompok terdekat dengan Yesus tentu akan menerima jabatan penting, serta fasilitas yang menggiurkan. Itu sebabnya ketika murid-murid bertemu dengan Yesus sesudah ia bangkit, mereka bertanya kepada Yesus, apakah kini masanya mendirikan kerajaan itu? Yesus menyatakan, soal kerajaan itu adalah agenda dari Sang Bapa, yang tidak diketahui masa dan waktunya oleh manusia. Yesus lebih mengarahkan murid-murid-Nya agar menjadi saksi di Jerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. dengan kuasa yang mereka terima dari Allah.

 

Sesudah Yesus memberikan mandat pengutusan kepada murid-murid, ia berangkat ke Surga disaksikan murid-murid hingga awan menutupinya. Murid-murid terperangah dengan kejadian itu karena peristiwa itu benar-benar berada di luar perhitungan mereka, sebab itu mereka terus-menerus menatap ke langit hingga dua orang berbaju putih memperingatkan mereka bahwa Yesus yang terangkat ke Surga itu akan datang lagi dengan cara yang sama seperti Ia naik ke Surga.

 

Dimuliakan

Peristiwa Kenaikan Yesus tak bisa diartikan lain kecuali pemulihan terhadap Yesus Kristus.Yesus lahir dengan hina di kandang domba, seluruh sejarah kehidupannya diwarnai oleh penderitaan yang amat dalam. Ia dihujat dan dilecehkan oleh penguasa pada saat-saat proses peradilan, bahkan mati di kayu salib, namun pada Hari Kenaikan Ia dimuliakan, Ia ditinggikan, Ia memiliki kuasa, Ia mempunyai Power. Alkitab mengatakan bahwa Ia di sebelah kanan Allah sesudah segala malaikat, kuasa dan kekuatan ditaklukkan kepadaNya (1 Petrus 3:22); Allah sangat meninggikan Dia (Filipi 2:9); Ia adalah Tuhan atas segala sesuatu (Efesus 1:22). Kemuliaan dan kuasa benar-benar ada pada Yesus Kristus, kenaikannya ke Surga menyungguhkan hal itu.

Teguran dua orang yang berbaju putih kepada murid yang terus menerus terperangah serta menatap ke langit, adalah teguran yang amat penting dan mendasar. Gereja-gereja dan Umat Kristen acapkali memang hanya mampu terperangah, terpukau dan menatap ke langit. Gereja-gereja bersikap vertikalistik dan eskapistik, melarikan diri dari dunia nyata, mengabaikan penderitaan manusia yang terkapar di pinggir-pinggir kehidupan dengan harkat dan martabat yang terinjak-injak.

 

Gereja seharusnya tidak boleh hanya berorientasi ke atas saja, ke dunia yang transenden, gereja justru di suruh untuk masuk dan bergumul di tengah dunia dengan beragam persoalan yang sedang dihadapi dunia.

 

Yesus yang menjadi Tuhan dan Kepala Gereja adalah Yesus Kristus yang memiliki kemuliaan dan kuasa. Penderitaan, rasa terpuruk, posisi marginal dan minoritas, situasi diskriminasi yang selama ini seolah menjadi stigma dari kekristenan, dalam perspektif kenaikan Yesus merupakan sesuatu yang sama sekali baru. Gereja dan Umat Kristen memiliki kekuatan baru yang menjadikan kekristenan sebuah komunitas yang bermakna yang diperhitungkan.

 

Kenaikan Yesus ke Surga menempatkan gereja dan Umat Kristiani pada posisi zaman baru, yaitu zaman penantian kedatangan Yesus ke dua kali yang akan datang sebagai hakim yang adil. Dalam kurun waktu antara kenaikan dan kedatangan kedua kali itulah gereja hidup dan mengukir karya di bumi.

 

Di tengah perubahan politik, ekonomi, budaya, hubungan antarmanusia gereja harus mampu menjadi gereja yang berkarya bagi kemanusiaan. Bukan gereja yang diam, bisu, apolitis, dan ahistoris.

 

Kenaikan Yesus ke Surga bukan sebuah ilusi atau cerita fiktif dari dunia kekristenan. Peristiwa itu riil dan konkrit. Yesus berkata “tidak ada seorangpun yang telah naik ke Surga selain daripada Dia yang telah turun dari Surga yaitu anak manusia” (Yohanes 3:13). Yesus naik ke Surga hanya karena Ia memang berasal dari Surga. Bahkan, Yesus bertanya kepada para murid dan bagaimanakah jikalau kamu melihat anak manusia naik ke tempat dimana Ia sebelumnya berada (Yohanes 6:62).

 

Kenaikan Yesus ke Surga bukan kembali “ke negeri leluhur” atau pulang ke asal. Misinya amat jelas “aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yohanes 141:2). Kepergian-Nya adalah kepergian yang menyedihkan. Ia pergi dengan misi yang mulia menyediakan tempat bagi umat manusia yang percaya kepada-Nya. Realitas ini semestinya menyadarkan gereja dan Umat Kristen untuk tidak terjebak pada situasi, membelenggu diri dengan tempat, locus, disini di bumi ini; tetapi gereja harus berorientasi kepada yang disana, pada keakanan pada tempat dan locus yang Yesus sediakan.

 

Dengan berorientasi pada keakanan, gereja harus mampu menjadi kekuatan moral di tengah kekinian zaman. Kekuatan moral yang memberi arah bagi perjalanan sejarah umat manusia, yang memandu perjalanan bangsa dan bersifat kritis dan korektif bagi kehidupan zaman. Gereja tidak boleh terbelenggu pada establishment, tergiur pada rayuan politik; gereja harus menjadi garam dunia agar dunia terhindar dari proses pembusukan.

Gereja harus berakar dan mengakar di bumi mengasihi dan melayani mereka yang tengah menghidupi bumi. Tak ada pilihan lain.

 

Penulis adalah Teolog.

(Artikel ini pernah dimuat di Suara Pembaruan, 15 Mei 2010)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here