Oleh: Dr. Jamin Ginting, S.H.,M.H.
Jakarta, Suarakristen.com
Berhubung banyaknya pertanyaan kepada saya tentang Putusan yang langsung memenjarakan Ahok maka saya akan memberikan jawaban secara terbuka sebagai berikut :
Pertama-tama saya menghargai dan menghormati putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara Sdr. Ahok, tetapi saya mencermati putusan Ahok yg menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dengan mengambil dasar pemidanaan berdasarkan Pasal 156a KUHP. Perlu dicermati khususnya perintah/penetapan penahanan langsung dari pengadilan ke Rutan Cipinang yang kecendrungan memiliki cacat hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Putusan Majelis hakim yang menetapkan masa 2 tahun penjara bukanlah perintah penetapan untuk bisa mengeksekusi terpidana yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach) untuk dapat ditahan. Karena perintah penahanan dalam tingkat kewenangan Peradilan harus berupa penetapan. Sedangkan baik dalam putusan maupun sebelum putusan tidak ada penetapan yang memerintahkan Sdr. Ahok untuk ditahan.
2. Apa yang menjadi dasar Jaksa mengeksekusi untuk menahan Sdr. Ahok di Cipinang (Tahanan Mako Brimo saat ini) tidak memiliki alas hukum kuat karena :
a. Pengadilan sejak memutuskan terdakwa tidak lagi berwenang mengeluarkan penetapan apapun selain dalam putusannya sehingga dapat dipastikan tidak ada penetapan dari PN Jakarta utara sebelum dan setelah putusan PN jakarta utara untuk menahan Sdr. Ahok.
b. Jika ada Penetapan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta adalah tidak sah karena Belum ada akta permohonan banding yang teregister pada saat sdr Ahok dibawa ke Tahanan hanya disampaikan secara lisan yang artinya secara legal formal belum ada perpindahan kewenangan kepada hakim pengadilan tinggi untuk membuat penetapan penahanan.
Dapat dipastikan tidak ada penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut dan jika ada bertentangan karena perkara tersebut belum dilimpahkan secara register perkara PT DKI Jakarta.
3. Bahwa penahanan seseorang tanpa ketentuan hukum yang pasti merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan melanggar ketentuan Pasal 9 dari International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diadopsi oleh Indonesia melalui UU No.12/2005, penahanan harus dilakukan berdasarkan prosedur yang berlaku dan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Terminologi Penahanan yang tidak sah dapat dipadankan dengan terminology “unlawful detention” atau merupakan “arbitrary detention” atau penahanan yang tidak sah.
4. Putusan menahan Sdr. Ahok, tidak memiliki “keadaan yg mengkuatirkan” sebagaimana disyratkan dalam Pasal 21 KUHAP dan Penyidik serta JPU dalam masa kewengannya tidak pernah menahan sdr. Ahok karena memang sebagai Gubernur DKI Jakarta Aktif tidak ada keadaan yg mengkuatirkan untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti maupun mengulangi perbuatan. Hak subyektif majelis hakim untuk menyatakan kekuatiran tersebut harus didasarkan pembuktian dan menyebutkan keadaan masing-masing kekuatiran tersebut sehingga tidak dapat digunakan sembarangan tanpa penjelasan yang tepat.
5. Bahwa dengan tidak disebutkan dan dijelaskan dalam putusan majelis PN Jakarta utara “keadaan” seperti apa yang sangat “mengkuatirkan” menyebabkan sdr. Ahok harus ditahan maka putusan itu juga tidak memberi pertimbangan yang cukup.
Bahkan Penegak hukum dalam melakukan penahanan terdahap terdakwa/terpidana sebagaimana terjadi dalam kasus sdr. Ahok tanpa ada penetapan dan dasar pembuktian keadaan seperti yang perlu dikuatirkan menjadi salah satu penyebab membludaknya tahanan di Rutan yang menjadi permaslahan berlarut-larut negara RI dan cendrung melanggar HAM.
Semoga pandangan saya ini dapat meluruskan dan memberikan perbaikan sistem hukum pemidanaan ke depan.
Hormat saya.
DR. JAMIN GINTING. SH. MH