Oleh : Firman Jaya Daeli
Semangat dan etos Pancasila pada dasarnya meletakkan perspektif Ketuhanan dalam kerangka untuk menumbuhkan dan mengukuhkan landasan etik, moral, dan spritual dalam kehidupan kemanusiaan. Jiwa dan roh Pancasila menempatkan spritualitas yang bersifat universal dan sosial ini bergerak dan bekerja secara terbuka, moderat, dan toleran. Spritualitas Pancasila lahir dan tumbuh untuk kemudian tidak dan bukan untuk mengembangkan dan menularkan sektarianisme, primordialisme, radikalisme. Pancasila dipastikan tidak merekomendasikan sifat-sifat dan sikap perilaku sektarian, primordial, ekstrim, intoleran, fundamentalis, dan radikal. Sifat dan sikap ini bukan merupakan dan tidak menggambarkan kenyataan sifat, sikap, dan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia.
Spritualitas Pancasila sejatinya lahir dan bangkit justru selamanya untuk menumbuhkan, menggandakan, dan membesarkan spritualitas yang berkebudayaan, berkemanusiaan, berkeadaban, berkesatuan, bergotongroyong, berkerakyatan, bermusyawarah, dan berkeadilan. Spritualitas yang berbudaya, beradab, dan manusiawi. Jalan teologis spritualitas yang ditawarkan dan disebarkan adalah sebuah “Jalan” yang secara hakiki dan maknawi berbasis dan berorientasi pada kemanusiaan dan kesetiakawanan, keadilan dan keadaban, persaudaraan dan persatuan dalam kerangka Pancasila.
Basis dan orientasi dari “Jalan” ini hakekat dasarnya dan secara berkelanjutan harus senantiasa bersifat inklusif (terbuka), moderat, toleran, dialogis, bersahabat, dan tidak diskriminatif. Lagi pula karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan negara agama melainkan negara yang berideologi Pancasila (negara berdasarkan Pancasila), maka landasan etik, moral, spritual dari keagamaan dan kepercayaan dipastikan tidak boleh dan dan jangan sampai memasuki dan mencampuri kehidupan kenegaraan dan berbagai urusan publik lainnya. Namun Negara harus hadir untuk bertugas dan bertanggungjawab melindungi, melayani, dan memfasilitasi sepenuhnya hak-hak dan kemerdekaan rakyat (warga masyarakat) yang Bhinneka Tunggal Ika dalam melaksanakan kehidupan keagamaannya dan kepercayaannya secara bebas, demokratis, aman, nyaman, dan mandiri di dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini perlu dan penting ditegaskan ulang kembali karena Ideologi dan Dasar NKRI adalah Pancasila. NKRI bukan Negara Agama melainkan Negara Pancasila.
Filsafat Pancasila memastikan bahwa kualitas kemanusiaan yang dilindungi, dihormati, dan difasilitasi adalah kemanusiaan yang bertumpu pada keadilan dan keberadaban. Harkat dan martabat manusia (kemanusiaan) menjadi simbol utama yang menandakan dan sekaligus melambangkan penghormatan senyatanya dan sesungguhnya terhadap kemanusiaan. Segala perihal pernyataan dan perbuatan yang berniat dan cenderung memisahkan dan membeda-bedakan manusia (warga masyarakat) secara diskriminatif, maka pernyataan dan perbuatan tersebut pada gilirannya pasti mengalami kegagalan mutlak dan kebuntuan serius karena bertentangan dengan Pancasila.
Sehubungan karena NKRI bukan Negara Agama melainkan Negara Pancasila dan Negara yang bersemboyan dan beretos Bhinneka Tunggal Ika, maka setiap dan seluruh sistem ketatanegaraan dan pemerintahan ; semua urusan kebijakan dan ketentuan publik kebangsaan dan kenegaraan di tingkat nasional, daerah, dan di seluruh persada nusantara – harus senantiasa berdasarkan Pancasila. Tugas dan tanggungjawab bersama sesungguhnya dan secepatnya sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia adalah membumikan Pancasila. Tugas dan tanggungjawab sebagai masyarakat yang beraneka ragam dalam bingkai Persatuan Indonesia – justru bukan lagi dan tidak boleh lagi mencita-citakan dan memikirkan untuk mengagendakan ideologi dan aliran lain di luar dan selain Pancasila untuk diberlakukan dan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, urusan kebijakan menyeluruh, dan ketentuan publik kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Salah satu potensi dan basis kekuatan NKRI terletak pada Persatuan Indonesia – yang menjadi dan merupakan penjaga dan penguat kedaulatan bangsa dan keutuhan negara.
Keunggulan dan kekuatan Negara Pancasila terletak pada tersedianya dan tergunakannya prinsip kedaulatan rakyat, sistem demokrasi, dan kerakyatan yang pertumbuhannya mengutamakan kemauan untuk berdialog, bermusyawarah, saling mengakui, menghormati secara arif dan bijak dengan toleransi dan moderasi yang tinggi. Cara pandang dan pola pendekatan ini merupakan tradisi dan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia, sebuah cara dan pola dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah. Tradisi dan kepribadian inilah yang harus menonjol dan mengemuka ketika bergotongroyong memajukan dan menyeterahkan rakyat serta mengembangkan dan membangun : Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian di dalam kebudayaan.
Karakteristik Pancasila ketika merumuskan dan menjabarkan sistem nilai keadilan selalu konsisten berdiri tegak dalam rangka keberadaan dan kepentingan rakyat secara menyeluruh. Kualitas keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan sosial dan keadilan substansial, sebuah keadilan yang bermakna dan bermanfaat sepenuhnya dan seterusnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Bobot keadilan dalam konteks ini semakin meneguhkan sebuah keadilan yang tidak membeda-bedakan latarbelakang asal usul, sama sekali tidak ada mayoritas dan minoritas, tidak ada pertumbuhan dan perlakuan keadilan yang bersifat SARA dan rasis. Sistem nilai keadilan dengan bangunan pemikiran Pancasila pada dasarnya tidak diperuntukkan dalam makna pengertian keadilan parsial (sepotong-sepotong dan diskriminatif) dan bukan keadilan individual (individualistik). Indonesia Raya sebagai Negara Pancasila berposisi tegas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Konstruksi dan substansi Pancasila inilah yang mencerminkan sifat dan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harus dirayakan dengan bahagia dan bangga melalui agenda mengaktualkan dan mengorganisasikan Pancasila di bumi Indonesia Raya. Membumikan Pancasila di NKRI adalah sebuah dan sebarisan perjuangan panjang dan menetap untuk memaknai, mendasari, dan melandasi NKRI. Menjaga NKRI selain berkaitan dengan penguatan kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI, juga meliputi dan bertalian dengan pemastian dan pengukuhan Pancasila sebagai Ideologi NKRI.
Pemaknaan NKRI yang otentik adalah terletak pada bangunan rumah besar NKRI yang harus berideologi dan berdasarkan Pancasila. Kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI hanya berarti dan baru bermakna ketika mengakui, menghormati, dan membumikan Pancasila. Manakala hanya bersuara keras dan berbicara lantang hanya sebatas agenda mempertahankan NKRI tanpa bekerja keras dan bertugas penuh sepaket dan sejalan dengan agenda membumikan Pancasila, maka materi suara dan bicara tersebut akan menjadi kehilangan makna. Agenda dan kebijakan Membumikan Pancasila Dan Menjaga NKRI adalah Paket Jalan Ideologis yang merupakan dan menjadi tugas dan tanggungjawab bersama dalam setiap dan seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
*Firman Jaya Daeli (Mantan Anggota Komisi Politik Dan Komisi Hukum DPR-RI)