Oleh: Hotben Lingga
Jakarta, Suarakristen.com
“Saat ini, pelayanan di kota-kota harus menjadi prioritas misi kita. Orang-orang lebih tergerak datang ke kota-kota. Anak-anak muda pindah ke kota untuk mendapatkan peluang-peluang dan kemajuan. Banyak orang pindah ke kota-kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik, mencari terobosan ataupun kebebasan.
Karena itu, kota kota di seluruh dunia bertambah sejuta orang seminggu. Kota-kota Asia berkembang dua kali lebih cepat daripada wilayah lainnya. Karena tidak mungkin mengembangkan infrastruktur secepat pertumbuhan penduduk perkotaan, banyak orang yang baru datang ke kota-kota besar terpaksa harus tinggal di daerah-daerah kumuh dan pinggiran.Kota-kota penuh orang miskin karena kota menarik perhatian orang miskin, bukan karena kota-kota membuat orang miskin.
Saat ini untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, lebih dari 50% populasi bumi tinggal di kota-kota. Pada waktu Konggres Misi Sedunia diadakan di Edinburgh, pada tahun 1910, London merupakan satu-satunya kota super di dunia.Hanya 13% populasi dunia tinggal di daerah perkotaan. Menjelang tahun 1950, 27% populasi dunia tinggal di kota-kota dan 73% tinggal di daerah pedesaan. Sekitar tahun 2009 mulai terjadi gelombang urbanisasi, ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, lebih dari 50% populasi bumi tinggal di kota-kota.
Kota-kota membentuk kita semua. Saat ini, setiap tempat dan setiap generasi lebih bersifat urbanis daripada lima tahun yang lalu. Kota-kota adalah pengekspor besar kebudayaan, produk dan tren-tren.Pemerintah pun berusaha menjadikan kota sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan. Karena itu, kita harus berusaha membangun gereja yang efektif di kota-kota kosmopolitan.”demikian disampaikan Pimpinan Majelis Sidang (PMS) Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) Yeremia Jakarta, Gbl Riko Rassu kepada Suarakristen.com beberapa waktu yang lalu, di kantornya,di JakartaTimur
Ungkap Pdt. Riko Rassu lebih jauh, “Dalam dunia yang diwarnai oleh arus urbanisasi ini, sangat besar potensi untuk menjangkau manusia/masyarakat melalui pelayanan urban. Melayani orang di kota besar merupakan medan misi dan tantangan besar gereja saat ini.
Jutaan orang pendatang baru di kota-kota yang sedang berkembang itu lebih terbuka dengan ide-ide baru dan pada umumnya mau beradaptasi. Para pendatang ini sangat memerlukan bantuan dan dukungan untuk menghadapi tekanan-tekanan baru dalam kehidupan di kota.
Banyak pendatang baru ke kota kota besar tidak mempunyai pekerjaan. Gereja-gereja yang melayani di kota-kota mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk menjangkau dan mengajar para pendatang ini. Gereja seharusnya mau mengadakan pelatihan kerja dan mengajarkan etika kerja Kristen sebagai bagian dari pemenuhan Amanat Agung.
Tegasnya lagi, “Tempat kerja (market place) merupakan tempat ideal untuk menghadirkan pesan-pesan Injil dan untuk mewujudkan hidup yang memancarkan kasih, anugerah, hadirat dan kebenaran Allah. Gereja harus hidup di tempat kerja. Kita perlu membangun budaya kerja yang menghargai akuntabilitas, tanggung-jawab, keunggulan, kerja-sama tim dan dukungan. Kita harus menjadikan tempat kerja sebagai ladang pelayanan.
Umat Kristen harus mentransformasi marketplace (dunia kerja) menjadi lingkungan para professional unggul.Tempat kerja kita adalah tempat Allah menyatakan kemuliaanNya melalui kata-kata dan perbuatan kita.
Panggilan menjadi professional sekuler sama pentingnya dengan panggilan menjadi pelayan Tuhan.
Kita harus mengintegrasikan iman kita dengan pekerjaan kita sehingga setiap pekerjaan merupakan kegiatan pelayanan kita.
Karena 75% populasi dunia saat ini akan menjadi mayarakat perkotaan, kita semuanya perlu visi teologis yang urbanistik.
Kota-kota memerlukan bukan saja gereja-gereja yang percaya pada Alkitab, tetapi pada gereja yang berpusatkan pada Injil
Ketika Kekristenan pertama kali disebarkan, para rasul pergi memberitakan Injil dari kota ke kota. Sudah sejak jaman rasul-rasul, kebangunan-kebangunan rohani dan kemajuan-kemajuan besar gereja terjadi dari dan melalui kota-kota. Kota-kota akan kembali menuntun dunia kepada Kristus.”
HAMPIR 80 tahun gereja ini berdiri di Jakarta, sebelumnya KGPM Yeremia sama-sama beribadah di tempat Gereja Anglikan Menteng. Namun, kini KGPM Yeremia Jakarta hampir 11 tahun memiliki gedung sendiri di Kelapa Gading kawasan Mitra Gading.
KGPM Yeremia Jakarta saat ini dibawah motor ketua Badan Pimpinan Sidang (BPS) Pnt Edwin Poluan Msi dan Pimpinan Majelis Sidang (PMS) Gbl Riko Rassu dan penasihat sidang Drs Markus Wauran.
Beberapa waktu lalu KGPM dikunjungi PLT Gubernur DKI Sonny Sumarsono. Gereja ini juga menjadi tempat beribadhnya mantan Gub sulut Sinyo Sarundayang dan beberapa tokoh-tokoh KGPM.
SEKILAS TENTANG KGPM.
Sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari Indische Kerk semakin meluas dan semakin hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Gerakan ini semakin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan gereja dari Negara dan akan mengambil-alih kembali NZG pada tahun 1930.
Dalam kondisi seperti itu Komisi Reorganisasi (Komisi XII) dibentuk Ds. De Vreede untuk melaksanakan tugas tersebut. Pada tahun 1932 Komisi XII memutuskan mengangkat GSSJ. Ratulangi, R. Tumbelaka dan Mr. A. A. Maramis, sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia berdirinya gereja otonom di Minahasa.
Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon dengan keputusan:
Membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa.
Dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom, dengan sembilan anggota:
Ketua Josef : Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado),
Wakil ketua : Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond),
Sekretaris : B. W. Lapian (Pangkal Setia).
Anggota-anggota :
A Kandou (pensiunan School Opziener),
B. Warouw (pensiunan Hoof Opziener),
E. Sumampouw (pensiunan guru Manadosche School),
A. E. Tumbel (pensiunan guru Manadosche School),
P. A. Ratulangi (pensiunan Kepala Distrik)
J. L. Tambajong (pensiunan Kepala Distrik).
Pada 11 Maret 1933 bertempat di Sicieteit Harmoni (sekarang Bank BNI 1946) yang dulunya dikenal dengan jalan Juliana Lau kemudian jalan Hatta, berkumpullah 75 orang tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti: J. U. Mangowal, J. Jacobus, F. E. Kumontoy, dr. C. Singal, d.r A. B. Andu, Z. Talumepa, N. B. Pandean, B. W. Lapian, R. C. Pesik dan lain-lain. Mereka bertemu dengan GSSJ Ratulangi yang memimpin pertemuan. Pertemuan itu membicarakan pemisahan gereja dan Negara dan tuntutan untuk segera mendirikan Gereja Protestan Minahasa.
Meski belum mendapat restu dari pemerintah Belada untuk mendirikan gereja berdiri sendiri, namun para peserta telah sepakat mendirikan gereja otonom. Dengan memilih Josep Jacobus menjadi formatur tunggal sebagai ketua badan dan membentuk pengurusnya. Hasil ini diminta disampaikan oleh Sam Ratulangi pada sidang Volksraad berikut. Pertemuan ini sempat heboh setelah diberitakan dalam media melalui Mingguan Pikiran Pangkal Setia, Keng Hwa Poo, Menara, Pewarta dan media lain.
Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18 Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado. Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr. A. A. Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan nama pengurus organisasi gereja.
Susunan Organisasi :
Pengurus Badan Organisasi :
Ketua : Joseph Jacobus,
Wakil Ketua : Zacharias Talumepa,
Sekretaris : B. W. Lapian,
Bendahara : A. K. Kandou.
Pembantu-pembantu : B. Warouw, E. Sumampouw, P. A. Ratulangi, E. A. Tumbel dan J. L. Tambajong.
Badan Pengembalaan : Zacharias Talumepa, H. Sinaulan dan N. B. Pandean.
Badan Penasihat : GSSJ Ratulangi, A. B. Andu, Ch. Singal dan A. Mononutu.
Badan Pendamping : J. U. Mangowal, A. M. Pangkey dan H. M. Pesik.
Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah: KERAPATAN GEREJA PROTESTAN MINAHASA disingkat KGPM.
Pada tanggal 21 April 1933 atas dorongan Sam Ratulangi diadakan pertemuan yang dikenal dengan nama Kongres Rakyat di Gemeente Bioskoop Manado (dikenal dengan gedung Manguni, Balai Pertemuan Umum atau sekarang Hotel Plaza Manado). Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 70 orang dari latar belakang politik yang berbeda, termasuk pada pendeta, penolong injil syamas, tokoh Indische Kerk Minahasa dan Badan Pengurus KGPM. Ikut juga 12 organisasi yakni: Pangkal Setia (1915), PIKAT (1917), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Minahasa (1927), Inlandsch Leraren Bond (1928), Permufakatan Kaum (1930), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia Raya, Partai Indonesia, Partai Bangsa Indonesia, Manangkung Nusa dan Persatuan Pakasaan.