Oleh: HMT Oppusunggu
Avant-propos.
Kita atau rakyat umumnya kepingin selalu untuk memperoleh gambaran atau penjelasan –sekalipun sedikit- mengenai berbagai segi hidup kita bernegara dan berbangsa, khususnya sekarang ini mengenai hidup ekonomi kita: apa sebabnya hidup ekonomi rakyat semakin terpuruk?
Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan thesisnya bahwa di Indonesia maju mundurnya perekonomi kita sangat tergantung dari tingkat penguasaan dan pelaksanaan pimpinan kita atas ilmu ekonomi untuk bertindak menciptakan dan mengendalikan kesejahteraan hidup rakyat. Bila tingkat pengetahuan ilmu ekonomi dari pimpinan brengsek, maka pasti perekonomian kita akan menjadi brengsek. Pada gilirannya perekonomian kita akan bertambah lebih brengsek lagi, bilamana struktur dan fungsi Kabinet dan aparatur Kementeriannya turut brengsek pula. Dalam hubungan ini, semakin lebih mendalam kita perhatikan, akan lebih jelas pada kita bahwa struktur Kabinet dan fungsinya kita terima saja selama ini sebagai ‘hak prerogatif Presiden’ saja, namun bila Kabinet Jokowi sekarang ini diamati lebih mendalam, maka akan ternyata bagi kita, bahwa struktur dan fungsinya mengandung kejanggalan dan kekacauan yang maha-dahsat dan maha-berat.
Apa dasarnya Presiden Jokowi menyontek Kabinet raksasa –a la Parkinson’s Law zaman SBY? Apa misalnya arti dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, di mana termasuk juga pendayagunaan aparatur DPR, apatur TNI, Polri di samping seluruh aparatur Kabinet sendiri? Tidak ada, kan? Artinya: banyak Kementerian-Kementerian yang brengsek adanya. Apa gunanya Kementerian BUMN? Mengapa perusahaan swasta Astra, Sedayu Group dll, atau perusahaan Negara seperti BRI atau Bank Mandiri dll bebas dan tidak ikut di-BUMN-i Menteri Rini Soemsrno? Mengapa BUMN ‘negara-dalam-negara’ Pertamina(-koruptor terbesar Indonesia) dibiarkan bercokol terus tapi tidak pernah dicampuri Rini. Apakah Rini lebih ahli dari Direksi atau Dewan Komisaris BUMN yang dibawahinya, untuk menangani pemasaran , keuangan, pembelian pesawat-pesawat baru dari GIA dan bukan dari Merpati, Lion Air dll ? Di mana kelebihan Rini dari Dewan Komisaris BUMN tsb tadi? Tidak ada, kan?
Apa gunanya mengangkat Menko-Menko? Menko Polhukam (Jendr. Luhut Panjaitan, misalnya, tidak pernah menyebut atau merumuskan kegiatannya yang dimaksudkan sebagai kegiatan Menko untuk mengkoordinasikan Kementerian Politik(?), Kementerian Hukum dan Kementerian Keamanan (?). Kegiatan apa dan yang mana perlu dikoordinasikan Pandjaitan di sana? Sama sekali tidak ada. Begitu juga Menko Perekonomian (Darmin Nasution) mengeluarkan sendiri Peraturan Administratif –Jilid I-VI- untuk mengatasi kelesuan ekonomi kita dewasa ini, yang pada dirinya sama sekali bukan merupakan hasil kegiataan dari koordinasi antara Kementerian-Kementerian dibawah kontrol dari Menko Perekonomian…
Alhasil, kegiatan dari semua Menko, tanpa kecuali- tidak pernah berada dalam koridor dan artian ‘kegiatan koordinasi‘. Oleh karenanya jabatan Menko tadi diciptakan asal-asalan belaka yang ternyata melakukan ‘kegiatan-pukul-lalat’saja, kan, yang melulu memubazirkan doang gaji-buta para Menko. Alhasil pula, Kabinet Raksasa Jokowi –sama seperti Kabinet SBY- seyogianya harus diperkecil menjadi Zaken-Kabinet dengan 20 Menteri tanpa Menko-Menko-an, supaya Presiden Jokowi sekaligus dengan mudah bisa menghemat dana-savings untuk memperbesar dana investasi Pemerintah. Aspek tentang bagaimana Pemerintah sendiri harus bisa memperbesar savings dan investment dari Pemerintah sendiri tidak pernah terlintas dalam benak Presiden Jokowi, yang hanya memusatkan diri pada perannya melakukan blusukan saja kian kemari.
Bila sebelum Keynes –selama hampir 2 abad dikenal hanya mazhab ‘old economics Adam Smith’ atau ‘micro-economics’ (‘ekonomi-perusahaan’), sekarang ini -sesudah Keynes- dikenal sejak tahun 30-an, mazhab baru yang disebut ‘macro-economics’ (ilmu ekonomi keseluruhan = aggregate economics atau ‘new economics’ atau ‘keynesian-economics’. Kedua ragam mazhab ekonomi –old and new economics- tsb sekalipun saling isi-mengisi (komplementer dan interdependen), tapi memiliki kaidah- kaidah dan hukum-hukum ekonominya tersendiri-sendiri. Investasi –menurut ‘old economics’ berbeda sekali dari konsep investasi dalam macro-economics… ilmu ekonomi semakin mendalam dan canggih (sophisticated) hingga gampang terjadi campur aduk dan kekacauan pengertian dan penjelasan dari masalah ekonomi yang dihadapi.
Menurut teori micro-economics Adam Smith, penawaran otomatis menciptakan permintaannya sendiri : Sang pengusaha memproduksi sepatu, karena produksinya otomatis menciptakan timbulnya permintaan atas sepatu = Supply creates its own demand. Tapi, menurut teori Keynes, supply tidak selalu menciptakan permintaannya. Hukum micro-economics tadi –kata Keynes- hanya berlaku sampai tingkat full employment. Bahkan sebelum sampai pada tingkat full employment pun, permintaan keseluruhan bisa lebih kecil dari supply. Bila pada tingkat full employment produksi ditambah dan lebih besar lagi dari permintaan maksimum pada tingkat full employment, maka produksi keseluruhan otomatis akan dikurangi atau berkurang, sedangt proses-mesin pengurangan produksi yang disertai penurunan permintaan akan berjalan terus seperti jelas kita saksikan pada krisis ekonomi tahun 1931. Gejala krisis (malaise) tsb mendorong Keynes merumuskan untuk pertama kalinya teori Keynes yang pada gilirannya menelorkan ‘the new economics’ atau ‘macro-ecomics’ yang dikenal sebagai mazhab ‘Keynesian economics’ yang disinggung di atas tadi.
Anehnya –khusus di Indonesia- ilmu ekonomi sekarang ini penuh dengan jargon-jargon, khayal dan kaidah-kaidah mythos (dongeng, isapan jempol) yang mengandung kebenaran setengah-setengah dan kabur saja, sehingga ilmu ekonomi di Indonesia menjelma menjadi ‘dismal economics’ = sebuah ilmu yang suram dan mengacaukan, karena olehnya ‘apa yang sebenarnya sudah jelas-terang-benderang dan logis justru dijadikan ‘gelap-tidak-logis dan sukar untuk dimengerti’.
Para ekonom dalam Kabinet SBY dan Jokowi dan juga para dosen ekonomi di UI dan Gajah Mada- selalu mengemukakan kekeliruan fatal dengan berkata , bahwa naiknya Pendapatan Nasional Indonesia dikarenakan oleh kenaikan Investasi dan kenaikan Konsumsi; padahal kenaikan Konsumsi tidak pernah menjadi faktor penentu dari kenaikan Pendapatan Nasional. Blunder besar tERNAS timbul, karena mencampur-adukkan sequence dengan consequence. Naiknya Konsumsi dan Investasi adalah sequence dari naiknya Pendapatan Nasional, sedang naiknya Pendapatan Nasional hanyalah consequence dari naiknya Investasi saja: Pendapatan Nasional bisa naik disebabkan oleh kenaikan INVESTASI saja… Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang ini –ceteris paribus-hanya dikarenakan oleh turunnya keseluruhan investasi, sekalipun Konsumsi keseluruhan bisa mengalami kenaikan. Kenaikan investasi keseluruhan hanya disebabkan oleh (sebagai consequence dari) timbulnya kenaikan savings yang dialihkan menjadi dan bagi kenaikan dari keseluruhan investasi. Savings naik, bila kita tidak membelanjakan seluruh kenaikan Pendapatan Nasional kita untuk tidak dikonsumsi tapi menimbulkan savings. (You cannot have the cake and eat it too).
Khusus di Indonesia pula, tidak salah bila dikatakan bahwa setiap orang atau setiap Partai Politik, setiap lembaga atau Menteri-Ekonomi Kabinet Jokowi seenaknya menganggap dirinya ahli-ekonomi tulen dan seenak isi perutnya pula mengemukakan pendapat ekonomi yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain mengenai sebab-musabab dari timbulnya suatu persoalan ekonomi yang dihadapi.
Lain halnya dengan ilmu arsitektur atau ilmu kedokteran. Sukar bagi seseorang menantang arsitek yang mendesign sebuah apartemen atau menantang dan mendebat pendapat seorang dokter. Tapi di Indonesia, seorang expert-ekonomi tidak memiliki perisai seperti yang dimiliki seorang dokter atau seorang arsitek. Sebab, seorang ahli ekonomi selalu ditentang oleh setiap orang yang merasa dirinya lebih unggul lagi ilmu ekonominya…
Hanya di Indonesia, Menteri Budget Nasional disebut Menteri Keuangan; padahal di negara lain, budget diurus oleh Menteri Anggaran (Perbendaharaan) Nasional ( Minister of The Treasury) dan tanpa dicampur tangani oleh ahli-ahli legislatif belaka sebagai anggota DPR; sedang soal -soal keuangan sendiri (di Negara manapun) melulu urusan mandiri dari Bank Sentral saja. Itulah sebabnya, tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani mencaplok Bank Century dan menciptakannya menjadi Bank Mutiara milik Pemerintah keliru total, karena Sri Mulyani kala itu mencaplok kewenangan dan tugas moneter dari Bank Sentral BI. Begitu juga berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penyelamatan Simpanan (LPS) sama sekali bukan urusan Menteri Keuangan seperti selama ini, tapi wewenang BI tok. Kekacauan wewenang atas Budget Nasional lebih dikacaukan lagi oleh DPR, karena melanggar prinsip ‘Trias Politica’ , di mana sebuah badan legislatif (DPR) tidak boleh mencampur tangani secara substansial wewenang eksekutif Pemerintahan. Di mana di dunia ini seperti Indonesia, DPR membentuk badan pelengkap Banggar DPR yang bukan saja mengusulkan tapi aktif menentukan alokasi budget APBN. DPR justru aktif menentukan alokasi anggaran DPR yang bukan-bukan tingginya untuk kenaikan gaji dan biaya telepon/listrik, mendirikan gedung kantor pencakar langit bagi para anggota DPR, kolam berenang, investasi-aspirasi-konstituen di daerah-daerahnya anggota DPR, bahkan juga untuk kenaikan gaji bagi kesejahteraan dari para rusa di pekarangan gedung DPR sendiri dll, dll. Padahal kesibukan DPR tidak lain dan tak bukan melulu 5D (Datang, Daftar,Diam, Duduk-ngantuk, D u i t-korupsi) saja, sambil mentelantarkian tugas hakikinya untuk perumusan Undang-Undang … Bahkan DPR mengamandemen sambil menodai UUD-45.
Keahlian-Ekonomi-Mengepret.
Rizal Ramli, Menteri Koordinasi Maritim dan SD (entah apa arti SD tsb: sumber daya alam, mineral, tenaga kerja?), justru ngotot terus sampai hari ini –bukan untuk meng-koordisasi Kementerian-Kementerian bersangkutan- tapi melulu untuk mengepret Lino, Ketua Pelindo II, sedang DPR –yang merasa ilmu ekonominya lebih unggul lagi, terjun untuk menengahi kepretan Rizal tsb dengan membentuk Pansus Pelindo II. Padahal yang sedang dipersoalkan hanyalah soal tetek bengek dwelling time di Pelabuhan Priok, tapi dibesar-besarkan oleh Menteri Koordinasi Maritim, hingga Rizal mendemonstrasikan wewenang dan keahlian ekonomi ‘Pukul-Lalat’ Menko dengan mengebor sendiri beton yang menutupi rel kereta api lama; maksudnya supaya Lino harus menggantikan pemakaian angkutan trucknya sekarang ini dengan angkutan kereta api yang berlangsung selama ini. Padahal Menko kita ini tidak menyadari dan memperhitungkan bahwa angkutan truck jauh lebih effisien ketimbang angkutan kereta api yang harus direhabilitasi Rizal hanya untuk jarak paling-paling setengah kilometer saja. Menko Rizal tidak menyadari bahwa angkutan kereta api cocok melulu untuk angkutan jarak jauh dan panjang bagi angkutan ratusan penumpang dan ratusan ton angkutan barang-barang berat; bukan untuk mengangkut muatan kapal untu jarak Priok ke Jakarta paling-paling.
Dalam hubungan ini perlu pula diperhatikan pembangunan bullet-trainnya Presiden Jokowi Jakarta-Bandung dan Jakarta –Surabaya: Apakah bullet-train tersebut dibangun disamping dan memakai juga kereta api sekarang ini ? = kereta dobbel artinya, yang sekaligus disertai oleh pemborosan pembiayaan peralatan modal dobbel pula, artinya. Atau apakah yang dimaksudkan Jokowi :membongkar dahulu dan meniadakan kereta api sekarang ini sebelum digantikan dengan bullet-train … Ini berarti menghanguskan secara total angkutan kereta api seluruhnya selama beberapa tahun. Pertimbangan ekonomi Presiden Jokowi ngawur belaka, kan? Sebab angkutan kereta api dikepret Jokowi untuk dihentikan atau dipasang dobbel? Lagi pula, apa untung ekonominya bagi Indonesia membangun bullet-train dalam keadaan perekonomian Indonesia yang sedang morat marit sekarang ini, sekalipun pembiayaannya gratis dihadiahkan oleh RRT.
Keahlian Ekonomi Peraturan.
Dalam menghadapi kelesuan ekonomi dewasa ini Menko-Ekonomi Kabinet Kerja-Keras Jokowi mengeluarkan Peraturan-Peraturan Administratif Jilid I s/d VI tanpa disadari bahwa Peraturan-Peraturan Administratif tersebut hanya menodai dan mem-veto berlakunya kaidah-kaidah-ekonomi. Misalnya, maksud Menko Darmin Nasution mengeluarkan Peraturan Jilid III adalah untuk memberi kejutan yang menyenangkan hati, khususnya bagi buruh yang keluarganya selama ini sudah sangat menderita perut kosong sebagai akibat dari rendahnya upah minimum mereka selama puluhan tahun belakangan ini. Sekarang upah buruh tersebut dinaikkan dengan persentase dobbel lagi oleh Menko Darmin Nasution: kenaikan yang satu dijalankan menurut kenaikan Pendapatan Nasional, tapi ditambah lagi seturut kenaikan tingkat inflasi. Jadi menurut Darmin: Bila misalnya Pendapatan Nasional naik dengan 5% dan inflasi naik dengan 5% pula, maka para buruh akan menerima kenaikan upah 10%. Tapi, Darmin –sementara itu- tidak mengerti apa arti kenaikan Pendapatan Nasional Indonesia dengan 5%. Oleh karena Badan Pusat Statistik menghitung Pendapatan Nasional Indonesia hanya dalam arti nominal -seturut harga-harga yang berlaku- maka kenaikan upah 5% pertama tadi sudah menutupi kenaikan harga nominal atau ‘harga-inflasi 5%’ tadi. Ini berarti bahwa tambahan kedua 5% dari kenaikan upah (-ekstra) tsb yang menurut Darmin- dimaksudkan untuk menutupi akibat inflasi -5%- merupakan kenaikan ekstra mubazir saja yang tidak ada lagi dasar- atau dalil ekonomi untuk menaikkannya. Kedengarannya saja kenaikan 10% tadi luar biasa besarnya, padahal basisnya 10 tahun yang lalu dengan upah minimum yang sangat rendah sekali … Alhasil, Darmin sebaliknya mendorong ribuan buruh malah untuk berdemo di muka istana Presiden Jokowi -tgl 29-10-2015 yl; buruh menuntut supaya Peraturan Jilid III yang tidak berperi-kemanusiaan itu dibatalkan saja, karena perbaikan upah buruh yang dimaksudkan Darmin sekedar sebagai lipservice belaka untuk mengobati penderitaan perut kosong dari para buruh. Para demonstran bersedia menunggu semalam suntuk untuk memperoleh jawaban dari pihak Istana. Namun, Pramono Anung dan Teten Masduki tinggal diam saja, takut menghadapi perut klosong dari massa buruh. Justru Menko Polhukam –Jendr. Luhut Panjaitan- yang terkenal penuh peri- kemanusiaan itu, dari jauh sana tampil dan dalam kapasitasnya sebagai Menko, merasa pada tempatnya menginstruksikan dengan tegas supaya Polisi membubarkan saja para demonstran dengan membom mereka dengan gas air mata … tanpa mempedulikan jeritan para demonstran yang mengeluhkan perut kosong dari keluarga para demonstran dan, yang menganggap kenaikan upah Jilid III dari Menko Darmin Nasution hanya omong kosong belaka.
Hal ini mengingatkan kita kembali tentang seorang ibu yang anaknya jadi korban di antara pembunuhan 13 mahasiswa yang mati tanpa jasad. Ibu ini berjanji berdemo sendirian menangisi anaknya yang hilang tadi pada tgl 17 Agustus tiap tahun di muka istana Presiden; namun, tangisan ibu tadi tentang anaknya yang hilang tsb tadi, tidak diapa-apakan Presiden SBY. Sejak 2011 ibu ini tidak pernah kelihatan lagi, mungkin karena sudah tiada lagi karena menghilang dalam kesedihan luar biasa.
Lain lagi soal kemudahan izin mendirikan proyek investasi baru. Berdasarkan Peraturan Darmin Nasution –Jilid IV, izin tsb akan saya keluarkan dalam 3 jam saja, kata Sibarani Ketua BKPM dengan sangat bangga. Sibarani atau siapa saja: Menurut akal sehat ekonomi, masihkah mungkin mengharapkan datangnya investasi baru yang akan didirikan dalam perekonomian kita yang sudah mampet ‘high cost economy’ ini dengan kurs Rupiah yang mengalami depresiasi luar biasa tingginya ?
Dinamika Ekonomi.
Dalam hubungan satu tahun umurnya Kabinet-Kerja-Keras Presiden Jokowi, Metro TV menayangkan tgl 22-10-2015 yl, wawancara “Mata-Najwa” yang a.l. menanyakan, apakah Presiden tidak merasa risih melihat seorang Menkonya mengepret Menteri-Menteri lain bahkan juga Jusuf Kalla Rekan-kepresidenan Jokowi sendiri? Saya –sambut Presiden- memberikan setiap Menteri kebebasan penuh menjalankan tugasnya sesuai dengan keahlian masing-masing, seperti misalnya di bidang musik, … Ada ahli pemain keroncong, guitar, trompet dll. Apakah Presiden tidak merasakan bagaikan pimpinan bertindak sebagai dirigen namun tidak melihat gangguan apa-apa dari gesekan-gesekan antar-Menteri? Ya, gesekan-gesekan tsb gejala biasa seperti kita dapati di setiap organisasi di negara manapun .Apalagi dalam keadaan perlambatan ekonomi kita sekarang ini. Gesekan atau ketidak sepahaman antar-Menteri sedemikian, kita kenal sebagai gejala dinamika saja, seperti dinamika-ekonomi dalam hal perlambatan ekonomi sekarang ini. Semua gejala tsb akan hilang dengan sendirinya, karena masing-masing Menteri dijiwai oleh cinta tanah air yang tidak pernah saya ragukan. Semua Menterri kerja keras. Itulah fondasi kerja dari Kabinet Jokowi…
Makanya diperlukan Kabinet Raksasa untuk melakukan kerjasama raksasa, kan!?!
Di Mana ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)?
ILC (Indonesian Lawyers Club) dalam tayangan TV One bulan Oktober yl juga membicarakan dan mengupas kinerja bidang hukum dari Kabinet Jokowi dalam 1 tahun belakangan ini dan mengambil kesimpulan berdasarkan diskusi hukum yang ternyata sangat profesional, bahwa Kabinet Jokowi hanya bisa diberi Raport Merah saja (angka 4 atau 5). Namun anehnya: Di mana profesionalisme ISEI yang selama ini tinggal ko.kok.be.luk, bungkem total seribu-basa tentang prestasi ekonomi Pres. Jokowi … ya, pasti tidak sanggup seperti ILC menyajikan diskusi profesional. Karena, seperti para ekonom Kabinet Jokowi sendiri, ISEI juga memiliki hanya ‘dismal economics’.
Korupsi Intektual-Ekonomi Menteri Kabinet-Kerja Pres. Jokowi.
Dari uraian di atas jelas, bahwa umumnya, tidak satupun dari para Menko dan Menteri Kabinet Kerja Jokowi yang tidak melakukan korupsi- intelektual = korupsi-jabatan. Ketimbang memperlihatkan leadership sejati, para Menteri apalagi para Menko memperagakan showmanship alias peraga pesona dan lipservice – lidah tak bertulang- saja.
Tapi, yang paling parah adalah Menteri/Ketua Bappenas, Sofyan Djalil dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo.
Hingga hari ini Soyan Djalil –sama seperti Hatta Rajasa tatkala di dalam Kabinet SBY, tidak pernah merumuskan sebuah rencana satu atau lima tahunan bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena, seturut kata Bona Pasogit kami dengan Luhut Panjaitan – Menteri tsb melulu BUTA-HORNOP total dalam ilmu perencanaan pembangunan ekonomi (economics of development planning). Itulah sebabnya, mengapa Indonesia tidak pernah mengenal skala prioritas dari investasi pembangunan di pelbagai sektor ekonomi. Investasi berlangsung sembrono terpecah-pecah (fragmented) tanpa terintegrasi dalam ‘forward and backward linkages’.
Malaysia sendiri –seperti umumnya negara-negara ASEAN lainnya- sudah merumuskan dan melaksanakan Rencana Pembangunan ke-10 hingga 2015 ini. Pendapatan Nasional per capita bruto Malaysia telah meningkat dari US$8,256 pada tahun 2010 menjadi US$ 12,139 pada 2015, sedang tingkat penganggurannya menurun menjadi 3,1% saja.
Apakah Pres. Jokowi tidak merasa malu sedikitpun menyaksikan, banwa lebih dari 2 jutaTKI kita terpaksa harus ‘lari’ ke Malaysia untuk diperbudak menjadi babu di satu pihak dan diper-kuli-kontrak di lain pihak, gejala mana sama seperti pada zaman kolonial Belanda?
Begitu juga Gubernur BI –Agus Martowardojo- juga total Buta-Hornop saja di bidang ilmu moneter, tapi berani menduduki kursi tertinggi di Bank Sentral BI, sedang seperti Sofyan Djalil, Gubernur BI tinggal ongkang-ongkang-kerja-keras-tanpa-kerja saja, namun menerima gaji-buta aduhai doang. Agus sama sekali tidak mengerti instrumen-instrumen moneter BI apa yang harus ia pakai untuk mengendalikan sektor moneter dan juga tidak mengerti apa dasar-ekonomi dari kurs Rupiah yang membubung ke langit kelewat tinggi. Agus juga tidak mengerti, bahwa Undang-Undang BI no. 23, 1999 palsu dan abal-abal saja, sedang Cabang BI di Singapura, Tokyo, London dan New York dibiarkannya hanya utk memboroskan persediaan devisa Indonesia saja. Agus juga buta-hornop mengapa tidak ada satu pun Bank Sentral lainnya di dunia ini yang pernah mendirikan cabang Bank Sentralnya di luar negeri.
Apa Pres. Jokowi menyadari bahwa tanpa pengendalian sektor riil perekonomian berdasarkan perencanaan-ekonomi di satu pihak dan di lain pihak membiarkan sektor moneter kacau-balau ditangani oleh Gubernur BI yang total butahuruf dalam ilmu moneter, maka kemelut-ekonomi Indonesia sekarang ini total tidak akan bisa diatasi Kabinetnya sampai kapan pun. Pokoknya Ketua Bappenas dan Gubernur BI harus di-retool sesegera mungkin atau masing-masing paling sedikit didampingi oleh seorang ahli Perencanaan Ekonomi dan ahli Moneter yang seyogianya harus dimohon Pres. Jokowi untuk diperbantukan oleh PBB.
Pelajaran-Ekonomi Apa Yang Diberikan Malapetaka Asap Indonesia Baru-Baru Ini?
Kita tidak perlu mencari-cari apa atau siapa biang kerok dari malapetaka kebakaran luar biasa luasnya dari lahan hutan dan gambut yang dialami Indonesia tahun ini. Pelajaran yang harus kita ambil adalah tersedianya sekarang kesempatan emas (golden opportunity) bagi kita untuk men-transformasi pertanian dalam skala besar dan ‘mechanized’ untuk menanam dan mengasilkan padi, kedelai, pulowijo, tebu dll dengan memakai peralatan modern seperti yang kita dapati di negara-negara maju. Kita harus melakukannya supaya once and for all kita lepas dari keterkaitan kita dari impor ‘sembako’ yang selalu mengancam Negara kita.
Last but not least: FREEPORT.
Sangat susah rupanya melikuidasi ‘negara-dalam-negara’ Pertamina, koruptor raksasa di negara ini. Memang sulit dan tidak mungkin membubarkan ‘negara’ istimewa ini, karena sudah ribuan pemimpin-pemimpin negara ini yang vested interestnya di Pertamina dan ribuan anak perusahaannya sudah membudaya dan berurat berakar sejak berdirinya Pertamina di bawah pimpinan Ibnu Sutowo. Baru-baru ini Dirut Pertamina membubarkan PETRAL, namun begitu gampang saja tanpa pengusutan dari kelihaiannya menipu Negara oleh negara. Boleh-boleh saja terjadi demikian, namun tentunya tidak mempengaruhi kejayaan Pertamina sendiri…. Tapi koruptor Freeport ?!?
Masihkah Freeport dibiarkan Pres. Jokowi menjajah terus TAMBANG EMAS dan TEMBAGA TERBESAR DI DUNIA milik Indonesia di Timika? Kabinet Jokowi baru berumur 5 bulan, Menteri ESDM , Sudirman Said,–dengan memakai istilah Bona Pasogit kami dengan Jendr. Luhut Panjaitan- sudah sejak dini di-dengke-dengke-i Freeport. Freeport pun berhasil memperoleh janji dari Sudirman untuk mempercepat perundingan tentang perpanjangan Kontrak Karya dengan Freeport, sekalipun Kontrak sekarang ini baru berakhir pada tahun 2021. Pres. Jokowipun dikerjain pula untuk blusukan ke Washington DC dan bertemu tgl 27 Oktober yl. di White House dengan Obama. Dalam hubungan ini, Fadli Zon, Wk Ketua DPR menyatakan, bahwa ia tidak melihat manfaat apa-apa dari kunjungan Jokowi tsb. Jokowi dijanjikan Obama akan masuknya 20 milyaran Dollar investasi USA ke Indonesia. Dua hari sebelum Jokowi berangkat ke Amerika, Freeport sudah menemui Jokowi dan memperoleh kepastian, bahwa perundingan perpanjangan kontrak dengan Freeport akan dilaksanakan.
Rizal Ramli mengemukakan perlunya mencatat permainan lihai dari Freeport sendiri yang selama ini menyerahkan pada Pemerintah royalty sebanyak 1% saja, sedang banyak pimpinan kita menerima uang-sogok dari Freeport. Lagi pula –menurut Rizal, Freeport membuang limbah penuh mercury mencemari sungai-sungai di Timika dan mematikan ikan-ikan di sana.
Kami sendiri menyampaikan email tgl 19-10-2015 a.l menyerukan:
Presiden Jokowi,
KAPAN LAGI, Pak Presiden memperlihatkan ketegasan wibawanya dan martabat Rakyat Indonesia?
Masa’ Indonesia yang sudah merdeka 70 tahun masih mau dijajah terus? Rizal Ramli sendiri dengan dibantu oleh sebuah Dewan Direksi lulusan-pertambangan ITB, pasti akan sanggup melanjutkan penambangan yang dilakukan Freeport selama ini. Sekalipun pada taraf permulaan nasionalisasi dilakukan dan Rizal bersama Dewan Direksinya hanya sanggup mencapai tingkat 30-40% dari produksi Freeport, itu jauh lebih menguntungkan bagi Indonesia ketimbang ROYALTY 1% yang kita terima dari Freeport.
PS utk Pramono Anung:
Buku kami –HMT Oppusunggu dan Kwik Kian Gie: Indonesia Dijajah Kembali oleh Bangsanya Sendiri – beserta email terkait tgl 24-9-2015 yang kami kirim tercatat kepada Pres. Jokowi –seperti diduga, telah disensor Pramono terlebih dahulu tapi tidak disampaikan semestinya pada Presiden. Harap dengan sangat supaya kali ini saja email ini Sdr sampaikan ke Pres. Jokowi. Lain halnya, bila Pramono sejujurnya mendukung kekacauan Kabinet Raksasa Pres. Jokowi yang menciptakan kemelut ekonomi Indonesia sekarang ini. Logis, Pramono tidak mau meneruskannya.