Catatan Kritis Atas Buku “Yubileum 50 Tahun, 1964-2015 GKPI” (Bagian I)

0
3075

Oleh: HMT Oppusunggu

Saya – tgl 30-8-2014- menerima dari Lae Muda Siregar, Penatua GKPI Menteng, Jakarta, buku ‘Yubileum 50 Tahun, 1964-2015 GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan Ke Depan’, 298 halaman, tulisan dari Pdt Prof. Jan Aritonang. Buku ini baru bulan Maret yang lalu saya baca, karena sebelumnya terlalu sibuk menulis dan mengupas kepemimpinan Presiden Jokowi yang sangat saya resahkan, karena selama 5 bulan sejak pelantikannya sebagai Presiden –saya anggap Presiden Jokowi tidak memperlihatkan kesanggupan apa-apa membawakan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemelut ekonomi Indonesia yang sedang mengancam dalam tahun 2015 ini. Sekarang ini suara pemakzulan Presiden Jokowi sudah mulai timbul di mana-mana.

Demikian juga –sebagai warga gereja GKPI- saya meresahkan dan lebih-lebih sangat kecewa serta sedih membaca buku Yubileum dan Sejarah 50 Tahun GKPI tadi, yang selanjutnya saya sebut BUKUNYA. BUKUNYA ini jauh dari menyinggung dan menggambarkan pesta-raya peringatan Hari Ulang Tahun (Yubileum 50 Tahun) GKPI sebagaimana tertera menjadi judulnya. Namun BUKUNYA sama sekali tidak menyinggung apalagi membahas ‘yubileum 50 tahun’ tersebut. Judul kedua dari BUKUNYA: ‘Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan’ terpusat pada tulisan sejarah-GKPI 30-8-1964 hingga 30-8-2014.), Seyogianya BUKUNYA diberi judul: ‘Sejarah Gereja GKPI Selama 50 Tahun dan Tinjauan ke Depan’.

Berdirinya GKPI sangat unik sekali di dunia, karena lahirnya timbul sebagai perpisahannya dari HKBP yang dipicu oleh perseteruan dan kericuhan besar khususnya diciptakan oleh peraturan Gereja HKBP 1962. Perpisahan tersebut bukan berpijak pada perpisahan damai seperti yang diperlihatkan oleh Gereja Simalungun dan Gereja Angkola yang sebelumnya seperti GKPI adalah anggota HKBP. Perpisahan Gereja Protestan (Luther, Calvijn dan Zwingli) dari Gereja Katholik berlangsung damai juga dan berpisah bukan karena cekcok dan ricuh, tapi diciptakan oleh perbedaan dogma dan doktrin Alkitabiah. Perpisahan tersebut tidak pernah di-Jubileumkan secara periodik seperti yang dilakukan Bishop P. Sipahutar M Th.

Istilah Jubileum sendri berasal dari pesta peringatan periodik ulang tahun perkawinan: Jubileum Perak (Ultah 30 tahun perkawinan) , Jubileum-Emas (Ultah 50 tahun) dan Jubileum Berlian (Ultah 60 tahun).       Sejarah Gereja sama sekali tidak membahas ‘the historical Jesus’, tapi melulu ‘the Biblical Jesus’saja. Kita tidak perlu mempersoalkan sejarah mengenai apa dan dimana Yesus makan dan apa saja makanannya, mandi, tidur dan lain sebagainya tiap hari atau selama 5 atau 30 tahun hidupNya di Israel. Yang kita perlukan hanya ‘The Bibical Jesus’ untuk menelaah dan memahami hanya waktu keabadian Alkitabiahnya sebagai Anak Allah yang diutusNya untuk mendamaikan kembali manusia dengan Allah. Tidak dipersoalkan juga kapan Hari Natal sebenarnya, bulan Desember atau Januari seperti dalam perayaan Natal di Gereja Orthodox di Russia. Hari Natal tidak ada artinya bila tidak sekaligus dihubungkan dan diartikan sebagai hari KematianNya di Golgotha. Chronos, kronologi atau periodisasi yang dilakukan Bishop Sipahutar dan Prof. Aritonang hanya ‘artificial’= buatan manusia belaka. BUKUNYA menyajikan garapan sapu pekarangan saja yang mengumpulkan acak-acakan pelbagai ragam fakta-fakta dan kejadian –kejadian yang dialami gereja GKPI selama 50 tahun. BUKUNYA tidak memperlihatkan hubungan korelasi yang berarti semestinya antara kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain, sehingga BUKUNYA menghilangkan gambaran dan arti sejarah Alkitabiah dari GKPI.

Apakah Sejarah Gereja?

Sejarah ini bukan sejarah biasa, tapi khusus mengenai Gereja saja. Namun perlu dicatat, bahwa penulisan sejarah APAPUN yang kita tulis, bukan dimaksudkan untuk menyajikan dan menuturkan serta membahas secara lengkap semua fakta yang terjadi. Sebab, seluruh kejadian tersebut tidak mungkin kita ingat untuk diuraikan. Oleh karenanya, penulis sejarah diharuskan untuk melakukan penyaringan dan pemilihan data tertentu dari samudra fakta dan kejadian-kejadian yang dialami supaya kita mencari dan meletakkan hubungan yang berarti -yang disebut korelasi- antara pilihan kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain, demi menentukan faktor-faktor atau kejadian-kejadian mana dalam korelasi tersebut yang merusak atau yang kondusif memajukan kelanjutan hidup Gereja. Korelasi atau trend sejarah inilah yang merupaka benang merah yang menelusuri dan melukiskan garis perkembangan yang jelas dan berarti bagi hidup GKPI. Seperti telah dikatakan di atas adi, yang pokok bukan chronos atau kronologi dasawarsa dari kejadian-kejadian seperti yang dilakukan BUKUNYA dalam uraian Bab I-VI. Penulis sejarah harus memiliki kepiawaian dan keahlian menyaring dan menyusun fakta-fakta yang benar-benar berarti untuk dibahas dan dianalisis. Yang mutlak diperlukan supaya penulis menghasilkan dalil-dalil dan norma kebenaran sejarah demi menentukan tindakan follow up selanjutnya yang diperlukan di masa mendatang. Perpisahan gereja Protestan dari gereja Katholik atau timbulnya aneka ragam Gereja di mana-mana di dunia ini didasarkan pada perbedaan dogma dan ajaran Alkitab. Namun perpisahan GKPI dari HKBP bukan didasarkan pada perbedaan dogma, tapi melulu dikarenakan oleh keluarnya PERATURAN GEREJA HKBP 1962 saja.

Sejarah Gereja murni menjadikan Gereja sebagai pokok pembahasannya. Apakah Gereja itu? Gereja adalah perwakilan Kerajaan Allah, di mana Yesus Kristus menjadi fondasi kepemimpinannya. Fondasi ini berlaku absolut (mutlak). Gereja yang menyimpang dari dasar-absolut-kristiani-Alkitabiah ini tidak bisa dinamakan Gereja.Sejarah-gereja yang membuat organisasi dan peraturan Gereja dan bukan dogma atau doktrin tentang Yesus menjadi satu- satunya pusat pembahasannya sama sekali bukan lagi disebut sejarah-Gereja. Yesus secara eksplisit menjadi pusat konkrit dari hidup Gereja, bahkan implisit juga menjadi pusat hidup dari seluruh hidup dunia dengan segala isinya. Gereja lebih dahulu ada dari adanya persekutuan manusia dalam Gereja. Gereja terbentuk, karena Yesus sendiri yang memanggil kita masuk ke GerejaNya untuk bersama dan bersekutu dengan Dia. Kita terpanggil untuk menjadi anggota dari Imamat Am Orang Yang Percaya, sambil menjadikan kita ciptaan baru dalam Kristus. Kita bukan tinggal bersekutu dengan Kristus saja.Tapi kita juga menerima tugas-Kristiani untuk menjadi ‘saksiKU di Yerusalem dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi’ (Kisah Rasul 1:8) untuk memberitakan Berita Keselamatan (glad tidings = Barita Nauli).

Ternyata, bahwa BUKUNYA tidak pernah menemukan benang merah apa-apa yang menelusuri sejarah hidup HKBP maupun GKPI. Kedua Gereja tersebut tidak lagi memperlakukan Yesus sebagai fondasi absolut dari Gereja, tapi menjadikan Yesus sekadar sebagai unsur penentu hidup Gereja di samping dan setingkat dengan unsur-unsur pimpinan manusia, yaitu para petugas-petugas Gereja, dan organisasi serta peraturan-peraturan Gereja. Ternyata bahwa BUKUNYA melupakan sejarah, bahwa GKPI TELAH memutus benang merah HKBP sebelumnya sewaktu peresmian berdirinya, 30-8-1964; malahan para Pendeta GKPI –melalui Synode-synodenya- justru secara lebih pesat dan tegas lagi menggaris-bawahi, bahwa peraturan-peraturan Gerejalah yang memegang peran absolut menuntun, mengatur dan menentukan hidup GKPI seluruhnya. Gejala yang sangat menonjol di GKPI ini mendorong saya menerbitkan buku saya: Humuntal Ojahan ni Huria di HKBP dohot GKPI, 1984. BUKUNYA mencatat tentang adanya buku MA Panggabean: Beberapa Catatan Sehubungan dengan Tulisan Sdr. Drs HMT Oppusunggu: Humuntal Ojahan ni Huria di HKBP dohot GKPI, 1991. Namun Prof. Aritonang tidak membahasnya sedikitpun, sedang saya sendiri tidak pernah memperoleh dan membaca buku tulisan Panggabean tersebut. Namun saya yakin bahwa Panggabean –sama seperti Prof. Aritonang- keliru total, karena tidak mengenal benang merah yang saya sebutkan di atas yang menggambarkan betapa gemuruhnya goncangan fondasi gereja di HKBP maupun di GKPI. Bahkan dalam tulisan saya tersebut, saya tekankan bahwa para Pendeta kita meng-HKBP-kan kembali GKPI.

Bab I: Latar Belakang dan konteks Kelahiran GKPI.

Betapapun menariknya data dan kejadian-kejadian yang disajikan dalam Bab ini, namun umumnya sebagian terbesarnya tidak bisa dikategorikan menjadi latar belakang kelahiran GKPI, paling-paling bisa disajikan menjadi latar belakang dari lahirnya HKBP tok. Bagi saya pribadi sangat menarik untuk pertama kalinya membaca dalam BUKUNYA, bahwa Tuanku Rao –pemimin Perang-Padri- adalah orang Batak, rupanya: Si Pokki Nangolngolan dan marga Sinambela lagi. Apakah dia ini masih famili dari pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja dan adiknya Raja Buntal Sinambela, anggota pejuang dan pendiri GKPI –Sriwijaya Medan? Namun demikian, Perang Padri, pembunuhan Munson dan Lyman, kedatangan RMG dll. dll kejadian, yang dicatat dalam BUKUNYA, sama sekali tidak ada korelasinya dengan berdirinya GKPI.

Satu-satunya faktor-penyebab dari lahirnya GKPI adalah peraturan dalam Keputusan Synode Godang HKBP, 1962, seperti yang disebutkan BUKUNYA dalam Bab I, C2. Keputusan Synode 1962 tersebut menciptakan dasar bagi tindakan baru dari HKBP yang, dimana Ephorus pimpinan HKBP (Ds TS Sihombing) dalam prakteknya secara effektif berada dalam tangan dan dikuasai oleh Ketua Parhalado Pusat, Tumpal D. Pardede seorang pengusaha kaya raya yang menerapkan prinsip-prinsip organisasi perusahaan, dalam perumusan peraturan organisasi Gereja HKBP. Parhado Pusat –yang pada galibnya merupakan badan pembantu saja dan berada di bawah pimpinan Ephorus, tapi sejak 1962 beralih ke tangan TD Pardede karena kedudukan atasan Ephorus dijadikan bawahan yang didikte oleh Tumpal D Pardede… Salah satu dari selebaran-selebaran saya -1963- yang diedarkan di Gereja Bolon HKBP Medan menyebutkan: Di mula ni mulana nunga adong Tumpal i; mian dohot Ephorus do Tumpal I, jala Ephorus do Tumpal i (Yoh.1:1).                                                                                         Pimpinan HKBP dialihkan untuk tunduk mengikuti dan menghayati peraturan-hasil-otak-manusia, yakni Keputusan Synode 1962, sambil dalam prakteknya menghilangkan kedaulatan penuh dari peraturan Alkitab atau peraturan dari Yesus yang Raja Gereja. Pada dasarnya, peraturan Alkitab sudah lengkap selengkap-lengkapnya mengatur hidup Gereja dalam segala waktu dan dalam situasi yang bagaimanapun coraknya. Namun, dalam pada itu –berdasarkan peraturan 1962 tadi – Ephorus menciptakan kuk-agama baru yang sangat berat yang berlaku di samping kuk-Yesus yang disebutNya lembut dan ringan, karena berasal dari Allah dan dipasang oleh Yesus sendiri. Implikasinya yang lebih parah lagi adalah bahwa Ephorus dan Parhalado Pusat pada dasarnya menggantikan Kristus-Raja-Gereja dan menobatkan diri mereka menjadi pusat mutlak dari hidup Gereja. Seperti telah diuraikan di atas: Benang merah sejarah Gereja HKBP inilah yang sama sekali tidak dikemukakan dalam rangkuman Bab I dari BUKUNYA..

Juga perlu diperhatikan, bahwa protes keras mula-mula terhadap Peraturan Synode Godang HKBP 1962 tersebut, timbul bukan dari Fakultas Teologia Nommensen atau dari golongan teolog para Pendeta HKBP, tapi terutama dari kaum awam-teologi -‘inanta parrengge-rengge’ yang gigih berjuang memelihara dan mempertahankan HKBP Simpanglimun untuk tidak dinodai oleh Peraturan HKBP 1962.

Ibu-ibu parrengge-rengge di HKPB Simpanglimun Medanlah, yang bangkit menjadi gerakan pertama-tama memprotes secara gigih dengan tidak mengakui berlakunya Keputusan Synode Godang HKBP 1962, sewaktu team Pendeta dari Parhado Pusat HKBP yang datang untuk resmi – berdasarkan Keputusan tadi- memindahkan Pdt KC Lubis yang sangat mereka kasihi, ke tempat terpencil (pispisri). Bukan tinggal di situ saja. Protes HKBP Simpang Limun tersebut bergema dan menyebar luas kemana-mana. Gerakan Simpang Limun sendiri segera diikuti inanta-parrengge-rengge di HKBP Tomuan, Siantar. Menyusul pula Gereja Bolon HKBP Jl. Sudirman Medan yang dipelopori klub pengusaha Nambur (Na Mura Buaton Rohana). Kemudian, nama Meester Li (Liberti Hutagalung, ipar dari Dr. Luhut L. Tobing, anggota Nambur) menjadi sangat populer dari sejak berdirinya GKPI Jl. Sriwijaya Medan, karena Meester Li menciptakan semboyan GKPI yang sangat terkenal itu: SABAS NA MAR-GKPI ON ( Betapa Lega dan Memuaskan Ber-GKPI Ini = kita mersa lega, lepas dari beban kuk-Peraturan Synode HKBP, 1962.

Boleh dikatakan hampir 80% dari seluruh gereja HKBP di kota Medan berencana menjalankan kebaktian kedua yang terpisah dari kebaktian resmi biasa. Melihat perkembangan tersebut, lalu Ephorus Ds TS Sihombing –atas dikte TD Pardede- meminta bantuan dari Pemerintah- supaya melarang kebaktian kedua tadi, tapi direspons kembali dengan meluasnya gerakan mendirikan gedung Gereja yang baru. Untuk mencegah perpecahan fatal dari HKBP menjadi dua gereja, timbul lagi gerakan-gerakan kesaksian untuk memelihara keutuhan dan kesatuan HKBP: ‘Pardalan Pat dari Medan Ke Pearaja’ untuk memohon supaya Ephorus mencegah perpecahan HKBP. Ini disusul pula oleh lahirnya Panitia Panindangi Reformasi (PPR), Panitia dan Dewan Penghubung Keutuhan HKBP, Dewan Keutuhan HKBP dan Dewan Koordinasi Patotahon HKBP. Dalam pada itu karena Rektor beserta Wk Rektor Universitas Nommensen dinilai tidak koperatif mendukung kuasa Ephorus dan TD Pardede, maka Ketua Yayasan Nommensen, yang juga TD Pardede sendiri, mengambil keputusan memperkecil atau dalam konkritnya berarti meniadakan wewenang pimpinan Universitas Nommensen, maka oleh sebab itu kami berdua pimpinan Universitas, melayangkan surat protes untuk tidak mengakui lagi pimpinan TD Pardede dalam Yayasan Universitas. Surat ini segera disebar-luaskan ke pelbagai gereja-gereja HKBP. TD Pardede kemudian menyerahkan Universitas Nommensen ke tangan Gubernur Ulung Sitepu yang kemudian memecat Rektor dan Wakil Rektor dari pimpinan Universitas Nommensen dan digantikan oleh Pimpinan yang terdiri dari tiga orang dari luar HKBP. Mengherankan, bahwa surat ketetapan Ulung Sitepu memecat saya sambil memberikan saya izin menempati rumah dinas Univ. Nommensen sampai Juli 1965. Izin tersebut memberi kesempatan bagi saya untuk giat terus bersama teman-teman GKPI Jl. Sriwijaya melebarkan kesaksian-pembaruan di berbagai kumpulan anggota Gereja HKBP di sekitar Medan kota. Pada acara perpisahan keluarga saya dari GKPI Jl. Sriwijaya, sewaktu mana dilangsungkan juga pembaptisan anak kami ke-5 yang kami beri nama: Togu Pardamean.

Semua gerakan-gerakan protes tadi menggambarkan timbulnya gerakan imamat am orang percaya, yang terdiri dari Pendeta dan kaum awam yang sama-sama merasa terpanggil untuk bersaksi bahwa Yesus sajalah Raja Gereja dan Fondasi Gereja, yang pada dasarnya memelihara keutuhan dan kesatuan HKBP.

Kesaksian gigih dari imamat am tadi merupakan pertanda juga, bahwa nantinya kelahiran Gereja GKPI tidak terbendung lagi. Satu atau dua minggu sebelum GKPI resmi didirikan, kaum ibu dari Gereja Jl. Sriwijaya, Medan, yang berkumpul di rumah Jaksa Siahaan mendesak supaya gereja baru, tanpa ditunda-tunda lagi, harus segera dilaksanakan. Pada rapat inilah Dr. Andar Tobing akhirnya menyetujui berdirinya GKPI yang terpaksa berpisah dan lepas dari HKBP, katanya- bagaikan kapal-kapal di San Salvador, Amerika Latin, yang dulu-dulu harus menyingkir dan meninggalkan pelabuhan supaya jangan karam, tapi selamat dari badai angin puting beliung yang datang mengancam dan merusak. Sikap ini sama dengan yang dikemukakan Dr. Sutan Hutagalung yang dalam BUKUNYA halaman 60 menyatakan, bahwa … ‘Kalau di suatu Gereja kepercayaanmu dan imanmu untuk mendekati Tuhanmu terhalang oleh perbuatan-perbuatan, peraturan-peraturan dan ancaman-ancaman dari pengurus Gereja … dan kepercayaanmu terus-menerus terhalang dan tidak beroleh damai dan kegembiraan lagi di dalam jemaat tersebut, maka Saudara harus meninggalkan jemaat tersebut. Akan tetapi, saya sendiri belum melihat suatu alasan yang dapat saya pertanggungjawabkan pengunduran diri saya dari HKBP secara mutlak … (Dr. Soetanpun tidak hadir dalam peresmian GKPI, 30-8-1964).

Sewaktu saya pindah ke Jakarta pada Juli 1965 saya masih dititipkan pesan oleh Dr Andar untuk menghubungi DGI mengenai keanggotaan GKPI di DGI, yang kemudian merujuk saya untuk terlebih dahulu menghubungungi Ds. Abednego, Ketua Bimas Kristen, Kementerian Agama; sebab pengakuan Gereja oleh Pemerintah –kata DGI- merupakan syarat mutlak terlebih dahulu sebelum bisa menjadi anggota DGI (sekarang PGI). Saya melaporkan persyaratan ini kepada Dr. Andar sebelum saya pindah, tahun 1967 bekerja kembali ke ESCAP Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bangkok. Dalam salah satu kunjungan keluarganya pada kami di Bangkok –setelah bertugas di Jerman, Dr Andar menjelaskan, bahwa Tata Gereja GKPI telah dirumuskan sederhana sekali yang dianggapnya formalitas saja, tapi menjadi keharusan supaya Tata Gereja tsb menyebutkan juga ‘Pancasila’ dicantumkan sebagai dasar bagi GKPI selaku ‘organisasi bermasyarakat’. Selama saya bertugas di PBB sampai pensiun pada 1983, saya tidak pernah lagi mencampuri hidup GKPI.

Bab II: Proses Kelahiran dan Perkembangan GKPI Pada Dasawarsa Pertama 1964-1974.

Dalam penyusunan Pengurus GKPI pada waktu berdirinya GKPI tgl 30-8-1964, Dr. Andar menanyakan pendapat saya tentang strukturnya dan saya mengusulkan supaya kepemimpinan dalam struktur organisasi Gereja tersebut mencerminkan pemisahan antara tugas Pendeta-Pendeta, yang melulu mengurus kerohanian saja,sedang tugas-tugas organisasi dan peraturannya diserahkan pada kaum awam yang terpusat pada soal non-kerohanian organisasi, seperti soal-soal admistrasi, keuangan dan sebagainya. Saya sendiri –kata saya- jangan dimasukkan dalam kepengurusan, karena tahun depan saya sudah harus pindah ke Jakarta. Namun nama saya dimasukkannya juga dalam kepengurusan GKPI sebagai pembantu dari guru MC Simatupang, yang diangkat menjadi Kepala Seksi Penerangan. Seksi inilah yang pertama kali menerbitkan Suara GKPI menjelang akhir 1964. Suara GKPI dulu sangat jauh berbeda dari Suara GKPI sekarang ini. Namun perlu dikemukakan bahwa Suara GKPI pada permulaan berdirinya Suara GKPI artikel-artikelnya menyajikan tulisan ‘to the point’ tanpa uraian bertetele –tele dan tanpa dihiasi dengan photo-photo berwarna ; dicetak di atas kertas koran dan bukan kertas luks, yang meminta perongkosan yang kelewat batas seperti sekarang ini. Ongkos cetak Suara GKPI dahulu dibiayai oleh angkang J. Hutabarat dari klub Nambur, anggota GKPI Jl. Sriwijaya, Medan.

Tapi, yang paling penting -saya rasa- untuk dicatat adalah persetujuan Dr. Andar untuk memisahkan tugas Kerohanian dari tugas tugas organisasi beserta administrasi gereja. Dan terbentuklah Dr. Andar sebagai Pemimpin Kerohanian, dan Dj. P. Nainggolan, Pemimpin Organisasi. Namun pemisahan tugas pimpinan berjalan sebentar saja. Dengan masuknya Dr. Soetan dalam kepengurusan GKPI, lahirlah masalah baru dengan terdepaknya JP Nainnggolan dan digantikan oleh Dr. Soetan sendiri yang tentunya tidak menghendaki posisinya seperti dari JP Nainggolan. Pimpinan GKPI berubah menjadi Bishop dan Pimpinan Organisasi disebut Sekretaris Jenderal dan Dr. Soetan menjadi SekJen GKPI pertama. Dengan perubahan ini kerjasama kerohanian dan organisasi Gereja dihilangkan begitu saja menjadi tidak ada lagi. Sejak masuknya Dr. Soetan dan begitu juga semua Pendeta yang masuk menjadi Pengurus di Kantor Pusat menganggap diri mereka justru memiliki keahlian organisasi dan peraturan-peraturan, sedang para Pendeta yang bertugas di Kantor Pusat sebenarnya buta huruf dan sebelumnya tidak pernah mengikuti kuliah atau pelajaran tentang organisasi dan peraturan, namun menganggap diri ahli dan turut bertanggung jawab atas soal-soal organisasi dan peraturan Gereja. Di dunia Barat para Pendeta tidak pernah menyusun dan menerapkan keperluan organisasi dan peraturan Gereja. Namun, di GKPI akhir-akhir ini, Synode dari Pendeta-Pendeta GKPI secara rinci dan sangat panjang lebar merumuskan Tata Gereja, Peraturan Rumah Tangga dan Garis Kebijaksanaan Umum (GKU). Pun BUKUNYA menambahkan lagi rumusan RENSTRA (Rencana Strategis) dari GKPI. Kesemuanya perturan-perturan tersebut begitu njelimet dan rinci hingga kita tidak mengerti apa juntrungannya: arti dan tujuan perumusannya tidak mungkin bisa dimengerti oleh siapapun. Alhasil, organisasi dan peraturan GKPI dinobatkan men jadi sebuah Peraturan KITAB GKPI di samping dan setingkat dengan ALKITAB. Penyimpangan dan melencengnya tugas kerohanian Pendeta untuk mencakup bidang organisasi dan peraturan gereja, menjadi benang merah yang menelusuri lautan fakta dan kejadian-kejadian di GKPI yang sangat banyak disajikan oleh BUKUNYA dalam lanjutan Bab III sampai dengan Bab VI.

Kesaksian teguh dari Pendeta dan kaum awam dalam kesatuan ‘imamat am orang-orang percaya’-lah yang membuat sungguh pesatnya kelahiran dari jemaat baru GKPI yang memisah dari HKBP. Menurut BUKUNYA, jumlah Jemaat yang hanya 56 saja pada 1964 menjadi 460 pada 1974. Memang selama beberapa tahun sejak berdirinya GKPI kaum awam masih berperan penting dalam pembentukan GKPI baru di mana-mana, termasuk pembentukan sarana organisasi, seperti perkantoran GKPI dan rumah dinas Bishop dan lain-lain akan tetapi peran kaum awam semakin cepat meredup dan ditinggalkan begitu saja oleh para Pendeta sendiri, yang pada gilirannya justru semakin giat-giatnya dan gencar memasuki domein organisasi Gereja. Kesibukan organisasi tradisional di HKBP- seperti Pekabaran Injil , Diakonia, Mamre, Dana Agape dan lain-lain, dilakukan para Pendeta di Kantor Pusat. Bahkan perkebunan sawitpun dimiliki GKPI Pusat. Namun semua itu dilakukan tidak konsisten dan tanpa perencanaan apa-apa tentang tujuan dan perongkosannya, sehingga hasilnya ternyata tidak memuaskan.

Dengan meredupnya peran awam yang disertai oleh semakin giatnya pengambil-alihannya oleh rohaniawan Pendeta-Pendeta, maka sejajar dengan itu, semakin sulit pula bagi Pendeta-Pendeta untuk menyelesakan masalah korupsi yang dilakukan Bishop, pemakaian bantuan Pemerintah serta alat-alatnya untuk menjaga ketertiban dalam pelaksanaan Synode,dll. Kericuhan intern organisasi atau perbedaan faham dan pertikaian bahkan permusuhan di kalangan Pendeta di Pusat maupun antar- Jemaat-Jemaat tetap hidup terus….Kejadian-kejadian dan pertikaian sengit di Pusat dan di Jemaat-Jemaat tadi diuraikan panjang lebar dalam BUKUNYA, namun tidak mengemukakan apa sebab-rohaniah dari aib GKPI tersebut. BUKUNYA menganggap keonaran sengit tadi bagaikan gejala rutin dan biasa-biasa saja seperti yang berlaku di Partai Politik atau organisasi bermasyakat belaka dan menganggap bisa hilang dengan sendirinya. Padahal kesalah pahaman dan kebencian antar-Pendeta tetap saja hidup terus = Pendeta-Pendeta tidak mengindahkan lagi landasan tugas Pendeta yang diaturkan Yesus: Kasihilah temanmu bahkan musuhmu pun seperti AKU mengasihi kamu. Sangat aneh pula membaca dalam BUKUNYA, bahwa kedua tokoh dwitunggal Dr. Andar dan Dr. Soetan bisa salah paham berat, hingga harus didamaikan di muka altar oleh sebuah Tim Sesepuh yang diikut-sertai oleh Prof. Aritonang. BUKUNYA sama sekali tidak menjelaskan sepeserpun tentang sebab-sebab dari pertikaian tersebut. Sepanjang saya mengenal kepribadian dari kedua tokoh teologia ini, masalahnya bukan terletak pada perbedaan dogma atau ajaran teologia, tapi melulu dikarenakan oleh perbedaan temperamen mereka berdua saja… Dr. Soetan merasa kesal sekali tidak pernah menduduki jabatan nomor satu di GKPI. Mengapa persoalan mereka berdua atau kericuhan antar-Pendeta tidak gampang diselesaikan berdasarkan ajaran Alkitab: Kasihilah temanmu -bahhkan musuhmu- sama seperti kamu mengasihi dirimu sendiri atau dalam doa mereka saban Minggu: Bapa kami, Ampunilah dosa saya seperti saya mengampuni dosa Pendeta, teman saya.

Pendek kata: Para Pendeta GKPI menyingkirkan kaum awam dan berkecimpung ke bidang organisasi yang bukan domain Pendeta. Inilah Benang Merah tentang Organisasi dan Peraturan Gereja GKPI yang melukiskan betapa parahnya para Pendeta kita –melalui Synode-Synode- semakin menyimpang dan melenceng keluar dari tugas-tugas domain kerohanian Alkitab dan justru beralih memusatkan diri pada tugas-tugas domain awam di bidang organisasi dan peraturan Gereja dan merumuskannya sebagai KITAB GKPI di samping dan sederajat dengan ALKITAB sendiri.

Benang merah dalam sejarah GKPI tersebut jauh berbeda dari benang merah yang menelusuri sejarah HKBP. Di HKBP justru kaum awam yang dinobatkan Peraturan Synode Godang 1962 menjadi pimpinan efektif, HKBP, sekalipun buta hornop tentang ilmu theologia, sedang di GKPI para Pendeta yang sekalipun buta-hornop mengenai organisasi dan peruturan Gereja menggeser ahlinya kaum awam dari kepemimpinan Kantor Pusat.

Tinjauan kita selanjutnya atas BUKUNYA kita batasi pada Benang Merah selanjutnya dari sejarah GKPI tadi saja tanpa membahas lagi seluruh lautan fakta dan kejadian yang disajikan dalam Bab III sampai dengan Bab VI dari BUKUNYA.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here