Kelas Menengah Ambyar, Mimpi Indonesia Emas pun Bubar
Minggu, 13 Oktober 2024
10 tahun pemerintah Jokowi salah mengurus kelas menengah. Orientasi pembangunan hanya pertumbuhan dan investasi sektor padat modal yang semata dinikmati pengusaha dan politisi penerima komisi-konsesi. Tak ada penciptaan lapangan kerja akibat industri manufaktur padat karya jalan di tempat. Alhasil, yang tumbuh justru kelas pekerja proletariat dengan pekerjaan tidak pasti atau prekariat, seperti pekerja outsourcing, pekerja kontrak, hingga pengemudi ojek online.
Entah tersentak dan terbelalak, atau para anggota DPR itu sebenarnya telah tahu, hingga data yang diangkat Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, di hadapan Komisi XI DPR RI, Agustus lalu itu hanya mengukuhkan kebenaran yang sudah mereka duga. Dalam lima tahun terakhir, menurut BPS, ada 9,48 juta orang tergelincir jatuh dari status kelas menengah, menjadikan jumlah warga kelas ini menyusut drastis dari 57,33 juta menjadi hanya 47,85 juta.
Angka yang tentu tak sekadar penurunan data statistik, melainkan harus dimaknai sebagai guncangan besar bagi fondasi ekonomi Indonesia. Ibarat mesin penggerak, roda kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, kini kian tersendat, malah terancam mogok.
“Jika daya beli kelas menengah menurun, hal ini dapat memaksa mereka untuk berpindah ke calon kelas menengah atau rentan, mengurangi peran mereka sebagai kontributor pajak dan meningkatkan ketergantungan mereka pada dukungan fiskal,” tulis hasil riset LPEM FEB UI. Indonesia Economic Outlook 2024 Triwulan III 2024. Dan itu yang kini terjadi.
Fenomena itu segera membuat pengusaha mobil, Bob Azam, dari Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), khawatir. “Jika daya beli masyarakat tidak segera dipulihkan, pertumbuhan pasar otomotif akan semakin tertekan. Investasi tidak akan masuk tanpa adanya pasar domestik yang tumbuh,” kata Bob dalam sebuah pertemuan di Banten. Pernyataan itu menjadi cerminan betapa sektor manufaktur dan konsumsi kelas menengah sangat rentan terhadap kebijakan ekonomi yang salah arah.
*Kelas Menengah Salah Urus*
Kelas menengah Indonesia, kelompok yang selama ini menjadi penyumbang terbesar bagi konsumsi domestik, kini tak lagi bisa menikmati stabilitas ekonomi. Mereka menjadi korban dari kebijakan yang, bukannya mengangkat, justru menekan.
Banyak dari mereka yang akhirnya terjebak dalam posisi rentan miskin—sebuah jurang yang mengintai akibat gempuran inflasi, lesunya investasi, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menekankan banyak kelas menengah yang turun kasta menjadi kelompok miskin atau rentan karena lesunya sektor industri manufaktur. “Sektor sekunder ini tak mampu menopang arus peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke jasa,” kata Andri.
Padahal, menurut akademisi Indonesia yang selama puluhan tahun ini mengajar di berbagai universitas Australia, Vedi R. Hadiz, dalam bukunya “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East” (2016), kelas menengah Indonesia sering kali berada di garis depan dalam mempengaruhi politik dan kebijakan ekonomi. “Kelas menengah adalah kelas yang memiliki kapabilitas politik untuk menekan pemerintah, namun juga rentan terhadap krisis ekonomi,” ujar Hadiz. Kelas menengah di Indonesia tidak hanya penting sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga kerap menjadi aktor politik yang menentukan.
Bank Dunia pun mengakui peran besar kelas menengah tersebut. Dalam kajian berjudul “Aspiring Indonesia—Expanding the Middle Class” yang dirilis Januari 2020, Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Konsumsi kelompok ini tumbuh 12 persen setiap tahun sejak 2002. Hampir setengah atau 47 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga Indonesia berasal dari kelompok ini.
Menyusuri jalan panjang pemerintahan Jokowi, seolah kita melihat pencapaian infrastruktur yang memukau, jalan tol yang berkelok menembus bukit-bukit, hingga megaproyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, di balik semua itu, masalah mendasar ekonomi terabaikan. Salah satu kegagalan yang paling kentara adalah soal daya beli yang terus merosot. Selama lima bulan berturut-turut, Indonesia mengalami deflasi. Meskipun sekilas tampak baik karena harga-harga turun, deflasi ini mencerminkan betapa lesunya permintaan masyarakat.
Selama ini, pemerintahan Presiden Jokowi tak pernah absen sesumbar berhasil mengurangi angka kemiskinan. Dari 9,41 persen pada 2019 menjadi 9,36 persen pada 2023. Padahal upaya menekan angka kemiskinan itu dicapai dengan cara instan bin sim salabim: mengguyur kelompok miskin dan rentan dengan bantuan sosial rutin yang tak mampu membuat mereka naik ke kelas menengah.
Sementara, orientasi pembangunan pun hanya pertumbuhan dan investasi. Sialnya, investasi yang tumbuh adalah sektor padat modal dan ekonomi berbasis sumber daya alam, yang tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan, tak laiknya industri manufaktur. Yang menjadi penikmat terbesar pertumbuhan sektor padat modal serta ekonomi sumber daya alam ini hanya kalangan pengusaha dan politisi penerima konsesi.
Gaya instan pembangunan ini membuat penciptaan lapangan pekerjaan bagi kelas menengah berkurang, industri manufaktur padat karya tidak tumbuh. Yang ada malah banyak yang tumbang kena PHK. Tumbuhlah kelas pekerja (proletariat) dengan pekerjaan tidak pasti alias prekariat, istilah yang dipopulerkan Guy Standing dalam “The Precariat: the New Dangerous Class”, paduan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), alias pekerja rentan. Mereka adalah pekerja alih daya (outsourcing), pekerja kontrak, hingga pengemudi ojek online. Akibatnya, Bank Dunia pun menyebut Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah.
“Kami harus mengurangi produksi,” curhat salah seorang pemilik pabrik tekstil di Jawa Barat. “Pasar domestik sepi. Orang-orang tidak lagi mampu membeli seperti dulu.” Lebih dari sekadar kisah pahit industri tekstil, ini adalah tanda bahwa ekonomi rakyat sedang ambruk. Kelas menengah yang dulunya menjadi tumpuan konsumsi, kini hanya berusaha bertahan hidup dari hari ke hari.
Dalam kajian Chatib Basri, mantan menteri keuangan Indonesia, pemerintah sering kali terjebak dalam narasi pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif. “Pertumbuhan ekonomi yang pesat memang penting, tetapi tanpa distribusi yang adil dan perhatian pada kelas menengah, pertumbuhan itu akan menjadi rapuh,” tulis Chatib dalam The Indonesian Economy in Crisis (2020). Situasi ini membuat pencapaian ekonomi Indonesia tampak mengesankan dari luar, ternyata rapuh di dalam.
Jika Anda perlu metafora, maka situasi kelas menengah Indonesia saat ini bisa diibaratkan sebagai sebuah jembatan gantung di atas jurang ekonomi yang terjal dan dalam. Jembatan ini, yang dulunya kuat dan menopang beban ekonomi nasional, kini mulai keropos, satu per satu tali pengikatnya putus.
Beban ekonomi terus bertambah, namun jembatan itu tidak diperbaiki. Sebaliknya, pemerintah terus menambah beban dengan kebijakan yang tak memperhatikan dampaknya pada kelas menengah. “Mereka lupa,” kata Chatib, “bahwa kelas menengah adalah pengeluh profesional. Ketika mereka marah, kekuatan politik yang mereka bawa akan mengancam stabilitas ekonomi dan politik negara ini.”
Fenomena ini pernah terjadi di Chile, yang dikenal dengan istilah Chilean Paradox. Meski ekonomi negara tersebut tumbuh dengan baik, kelas menengahnya justru terabaikan dan mengalami penurunan kualitas hidup. Revolusi sosial pun tak terelakkan. Dalam “The Chile Project: The Story of the Chicago Boys and the Downfall of Neoliberalism” (2023), Sebastian Edwards menjelaskan, “Ketika ekonomi tumbuh tetapi tidak merata, kelas menengah menjadi frustrasi karena merasa tertinggal. Ini menciptakan ketidakstabilan sosial dan membuka jalan bagi revolusi.” Kondisi yang mirip bisa saja terjadi di Indonesia.
*Amuk Revolusi Kelas Menengah*
Sejarah dunia membuktikan bahwa sebagian besar revolusi besar didorong oleh kemarahan kelas menengah. Kelas ini, yang biasanya berada di antara jurang kemiskinan dan elit kaya, adalah kelompok yang paling sensitif terhadap perubahan sosial dan ekonomi. Ketika mereka merasa terpinggirkan atau diabaikan, dampaknya bisa sangat destruktif.
Ekonom INDEF, Prof. Bustanul Arifin, memperingatkan bahwa situasi seperti ini adalah medan yang subur bagi revolusi. “Ketika kelas menengah mulai merasa tidak dipedulikan, mereka bisa menjadi kekuatan yang berbahaya,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Kelas Menengah Turun Kelas”, Senin (9/9/2024). Sejarah Prancis, Rusia, hingga revolusi di negara-negara Amerika Latin adalah bukti bahwa kelas menengah yang kecewa bisa menjadi motor perubahan yang mengguncang sebuah negara.
Di Indonesia, ancaman ini bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Amarah kelas menengah yang tertekan bisa berubah menjadi gelombang ketidakpuasan yang mengguncang fondasi pemerintahan. Bustanul menambahkan, “Kita harus waspada terhadap gejolak sosial yang mungkin terjadi, terutama di tengah ketidakstabilan ekonomi seperti sekarang.” Alhasil, jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, ancaman terhadap stabilitas politik pun bisa menjadi nyata.
Seperti yang terjadi di Chile, harapan kelas menengah yang tidak terpenuhi dapat memicu gelombang protes massal yang berujung pada revolusi. Indonesia, dengan sejarah panjang pergolakan sosial-politik, harus belajar dari kejadian ini. Jika pemerintah terus mengabaikan kelas menengah dan membebani mereka dengan kebijakan yang merugikan, situasi seperti ini bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
*Beban Berat Pemerintahan Prabowo*
post-cover
Presiden Terpilih Prabowo Subianto usai menghadiri pelantikan anggota DPR RI, DPD RI, dan MPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2024). (Foto: Inilah.com/Vonita)
Ketika Prabowo Subianto naik sebagai presiden, ia tidak hanya mewarisi infrastruktur megah, tetapi juga perekonomian yang rapuh. Dengan 9,48 juta orang terlempar dari kelas menengah, tantangan yang dihadapi Prabowo adalah bagaimana memulihkan daya beli dan mengembalikan roda ekonomi agar berputar kembali. Salah satu strategi yang harus diambil adalah menciptakan lapangan kerja di sektor padat karya seperti manufaktur dan memperkuat kebijakan perlindungan sosial.
Namun, ini bukan tugas mudah. Jika kita belajar dari sejarah, revolusi sosial kerap kali digerakkan oleh kelas menengah yang terpinggirkan. Seperti diingatkan Prof. Bustanul Arifin, “Ketika kelas menengah merasa tertindas, revolusi akan menemukan jalannya. Kita harus waspada terhadap gejolak sosial yang bisa terjadi kapan saja.”
Untuk menghindari kehancuran lebih lanjut, ada beberapa langkah yang perlu diambil segera. Pertama, pemerintah harus segera menunda kebijakan kenaikan PPN dan fokus pada penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Kedua, sektor manufaktur perlu diselamatkan melalui kebijakan fiskal yang lebih mendukung investasi domestik dan internasional. Ketiga, perlindungan sosial bagi kelas menengah harus diperkuat, termasuk program bantuan langsung tunai yang lebih efisien dan tepat sasaran.
Di tengah mimpi besar “Indonesia Emas 2045,” situasi kelas menengah yang ambruk ini menjadi peringatan keras bahwa tanpa reformasi ekonomi yang signifikan, mimpi tersebut akan buyar. Bukannya menuju negara maju, kita mungkin akan tergelincir ke dalam jurang ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang bisa menggoyahkan fondasi bangsa. Jangan sampai jargon popular “Indonesia Emas” harus berubah menjadi “Indonesia Cemas”, penuh ketidakpastian dan krisis berkepanjangan.
[dsy/muhammad harris muda]
Sumber: Inilah.com –