Jakarta, Suarakristen.com
“Keutamaan (arete; ἀρετή) adalah disposisi batin yang mantap untuk menentukan pilihan tindakan dan emosi, yang esensinya terdiri dari penghargaan dan penghayatan terhadap prinsip jalan tengah, sebagaimana seorang yang bijak menentukannya,” demikian antara lain Aristoteles menulis tentang keutamaan dalam Etika Nikomakea. Keutamaan muncul dan diartikulasikan secara cantik-memadai dalam tradisi Yunani kuno, khususnya di polis Atena.
Pentinglah kemudian untuk memahami diri kita sekarang dan juga relasi-relasi moral masa kini dalam terang yang disediakan oleh tradisi tersebut.
Menyambung diskusi “Menolak Pemiskinan dan Pembusukan Filsafat di Ruang Publik” pada 13 Februari 2019 lalu, Komunitas Pegiat Filsafat berikhtiar untuk melanjutkan pendalaman pada salah satu topik yang sempat disinggung pada acara tersebut, namun belum cukup diperdalam diskursusnya, yaitu soal Keutamaan (Virtue). Diskusi ini diharapkan dapat mencermati secara kritis situasi sosial politik kontemporer dan menyumbangkan gagasan dalam diskursus tentang keutamaan, yang cenderung absen dalam pergulatan sosial-politik nasional kini.
Kita amati bahwa ruang publik kontemporer dipenuhi cuitan-cuitan gaduh –yang isinya tidak jauh dari blame game, caci maki, dan tuduhan tak ilmiah– dengan tendensi merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Demikian pula, kontroversi tentang beragam kebijakan publik maupun pilihan elektoral membuat masyarakat semakin terpolarisasi dalam voiced disagreement yang nyaris tidak berkesudahan. Dalam situasi tersebut, bukankah semakin dibutuhkan keutamaan publik yang berpihak pada moderasi dan bukan partisan membuta? Tidakkah keutamaan publik demokratis, yang membuka ruang untuk bertahtanya akal sehat dan kritis, menjadi dambaan warga negara di tengah gelombang populisme? Lalu, keutamaan moderasi yang seperti apakah yang dapat merangkul tanpa menundukkan, memoderasi tanpa menghegemoni, dan mencari solusi tanpa pretensi diskriminasi?
Dalam analisis filsuf Platon tentang siklus rezim politik, demokrasi akan berujung pada tirani. Artinya, bila kajian psiko-politik Platon diterapkan pada level individu: manusia demokrasi adalah persiapan menuju manusia tiranik. Psikologi individu berkaitan dengan situasi negara tempatnya hidup. Individu demokratis berkaitan dengan rezim demokrasi yang dihidupinya. Kalau rezim feodal menciptakan kaum kuli dan tuan (patron client relationship), maka rezim demokratis menciptakan manusia demokratis yang segera berevolusi menjadi manusia tiranik yang tahu bahwa selain dikelilingi para penjilat, ia juga berhadapan dengan para tiran lain yang hobinya juga dijilat. Maka ia harus hidup dalam negosiasi permanen jilat menjilat. Di satu sisi, ia senang dan bangga karena dijilat. Egonya melambung akibat jilatan pemujanya. Di sisi lain, ia paranoid karena ia berada di tengah tiran-tiran lainnya yang menuntut penjilatan yang sama. Ia paranoid karena sebenarnya ia tahu jilat-menjilat itu tidak mutu (karena ujung-ujungnya hanya uang), tetapi ia menikmati dan menginginkannya langgeng. Manusia demokratis yang berevolusi menjadi manusia tiran adalah manusia-manusia yang terbelah di dalam (mengalami split personality). Pada tataran sosial, situasi ini mengkhawatirkan. Dalam bahasa Platon, rezim demokrasi yang adalah rezim keterbelahan menjadi awal munculnya figur Sang Tiran (tokoh yang dianggap tegas dan bertangan besi dan bisa menyelesaikan masalah rakyatnya yang bingung dan terbelah jiwanya).
Dalam situasi keterbelahan rezim politik semacam ini, para penangguk keuntungan adalah kaum sukophantes (bhs. Inggris: sychophants). Di era penuh kebingungan, para Sofis dan sukophantes mendapatkan lahan basahnya. Ketika rakyat bingung, saat argumen mentok, padahal demokrasi hanya bisa dimenangkan lewat kata-kata, kaum Sofis dan Sukophantes menjadi tumpuan harapan. Kaum sukophantes ini bisa ditemukan dimana-mana. Mereka suka mengadu opini satu dengan opini lainnya demi bisa menjilat boss masing-masing dan supaya dijilati dengan rakusnya oleh para followernya. Di kalangan politisi, pemuka agama, intellektual, pemegang acara talk show, wartawan (dengan koran cetak maupun online-nya), para selebritis twitter, facebook dan instagram yang followernya berkilo-kilo atau bermega-mega jumlahnya. Saat ini Indonesia mengalami situasi keterbelahan itu. Kaum cebong memiliki dunianya sendiri. Kaum kampret juga memiliki dunianya sendiri. Negara ini sudah terbelah menjadi dua, dan keduanya tak saling berkomunikasi. Tiap pihak mengadukan pihak lainnya. Berkaca dari deskripsi atas fenomena di atas, adakah jalan keluar yang masuk-akal dan win-win dari situasi ini?
Diskusi publik “Keutamaan dan Ruang Publik” diselenggarakan pada Selasa 12 Maret 2019 pukul 18.30-20.30 bertempat di Tjikini Lima Jl. Cikini I no 5 Jakarta, dengan menghadirkan pembicara Dr. Setyo Wibowo dan Prof. Komaruddin Hidayat. Diskusi terbuka untuk umum dan kami mengundang audiens dari kalangan profesional, politikus, mahasiswa, dan peminat kajian filsafat secara umum.