Quo Vadis Kaum Injili/Evangelikalisme Indonesia?

0
3961

QUO VADIS KAUM INJILI/EVANGELIKALISME INDONESIA?

Oleh: Hotben Lingga

FrikirkenTønsbergEvangelikalisme (Gerakan Injili) adalah istilah yang biasanya merujuk kepada gerakan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi keagamaan yang terdapat dalam agama Kristen Protestan konservatif. Istilah Injili umumnya mengacu pada kelompok konservatif Protestan, yang terdiri dari banyak denominasi dan kelompok iman yang memegang teguh kredo, kepercayaan dan praktek Kristen Protestan historis. Penekanan/komitmen utama Evangelikalisme adalah: perlunya pertobatan pribadi atau kelahiran baru; kesaksian dan penginjilan secara aktif; iman yang berorientasi pada Alkitab, bahwa Alkitab merupakan otoritas iman yang tidak dapat salah (biblical innerancy); penekanan pada ajaran yang memproklamasikan kematian dan kebangkitan Yesus (Salibsentrisme); serta penekanan pada ajaran dan keyakinan tentang relevansi iman Kristen pada masalah-masalah kebudayaan.

Secara umum, pengertian Evangelical/Injili di Eropa daratan, biasanya diartikan sebagai Protestan atau bahkan Lutheran seperti yang biasa digunakan dalam terjemahannya ke dalam bahasa Jerman “evangelisch”. Di Jerman, kelompok Protestan yang dikenal sebagai Lutheran di AS dan di berbagai tempat lainnya di seluruh dunia, secara eksklusif disebut sebagai Evangelische atau Injili. Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, Gereja-gereja, orang-orang, dan gerakan-gerakan yang menolak liberalisme Protestan secara akademis, biblikal dan moderat sering dicap Evangelical Protestant (Protestan Injili) atau disebut Injili saja.

Sebagai sebuah gerakan keagamaan, Evangelikalisme secara historis dimulai di Inggris di tahun 1730-an sebagai reaksi atas rasionalisme dan filsafat pencerahan. Gerakan Injili menjadi popular di AS ketika terjadi rangkaian Kebangunan Rohani Besar (Great Awakenings) pada abad 18 dan 19. Pietisme dan Puritanisme Protestan melahirkan Gerakan Kebangunan Rohani Injili gelombang pertama, dengan tokoh seperti John Wesley, Jonathan Edwards dan George Whitefield. Gelombang kedua Kebangunan Protestan Injili dipelopori oleh Penginjil-penginjil besar seperti Charles Grandison Finney, William Wilberforce, John Nelson Darby, Cyrus Scofield, Charles Spurgeon, Dwight L. Moody dan Billy Sunday. Pada abad ke 20 tokoh-tokoh yang menjadi pelopor Kebangunan Rohani Protestan adalah Bob Jones, Sr., John R. Rice, Charles Woodbridge, Harry Ironside, David Otis Fuller, R.A. Torrey, Billy Graham, John Stott, Martyn Lloyd-Jones, Charles Parham, William Seymour, dan A.J. Tomlinson. Salah satu sekolah teologi Injili paling besar dan paling terkenal yang menjadi “otak dan think tank” Gerakan Injili sedunia adalah Fuller Theological Seminary.

 

Di Amerika Serikat sebagai Pusat Protestan Injili sedunia saat ini diperkirakan terdapat sekitar 30-35 % (sekitar 100 Juta orang) pengikut Evangelikalisme dari total populasi AS. Saat ini di AS Evangelikalisme merupakan gerakan keagamaan yang paling berpengaruh, kuat dan besar. Menurut Pusat kajian Keagamaan Universitas Princeton, Gereja/aliran yang berpaham “Injili” di AS adalah: Assemblies of God, Southern Baptists, Independent Baptists, Black Protestants, African Methodist Episcopal, African Methodist Episcopal Zion; Church of Christ, Churches of God in Christ, Lutheran Church – Missouri Synod, National Baptist Church, National Progressive Baptist Church, Nondenominational, aliran-aliran Pentecostal, the Presbyterian Church in America, dan faksi-faksi konservatif dalam the Episcopal Church, USA, the Presbyterian Church (USA), dan the United Methodist Church.

World Evangelical Alliance sebagai induk jaringan gereja (dari 129 negara) dan lebih dari 100 organisasi internasional mengklaim mempunyai pengikut lebih dari 600 juta umat Protestan Injili sedunia. Bahkan, sepertiga penduduk Amerika Latin saat ini telah beralih dari Roma menjadi Injili dan diperkirakan dua dekade lagi Amerika Latin akan menjadi Benua Protestan.

Selama tiga dekade ini, kelompok Injili di AS, Amerika Latin dan di seluruh dunia terus berkembang pesat. Sementara itu, juga di AS, kelompok mainstream Protestant yang liberal, secara statistik semakin merosot dan berkurang pengikutnya selama tiga dekade ini. Gereja-gereja Protestan yang liberal telah kehilangan puluhan juta anggota! Jutaan jemaat gereja mainstream “murtad” menjadi atheis, penganut New Age Movement, Hindu, Budha, Katolik, Gereja Setan, theosofi (aliran kebatinan), dan ribuan aliran-aliran sesat. Dalam konteks perang terhadap teologi dan kelompok liberal inilah makna dan relevansi Gerakan Injili mendapat arti dan menjadi penting.

Protestantisme di AS dan Eropa akan mengalami kehancuran dan kebangkrutan total apabila selama tiga abad ini tidak diselamatkan oleh Gerakan Evangelikalisme. Secara umum dapat dikatakan bahwa Kaun Injili merupakan penyangga, tonggak, benteng, pembela iman Protestan sebagaimana diajarkan para Reformator seperti Martin Luther, John Calvin, dll. dan penyelamat Protestantisme dari kebangkrutan karena teologi liberal.

Di Indonesia, Gereja-gereja dan organisasi Injili mayoritas bergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili (dahulu bernama Persekutuan Injili Indonesia). Tokoh-tokoh utama Kaum Injili Indonesia di antaranya Pdt. DR. Stephen Tong, Petrus Octavianus, Chris Marantika, Yakub Susabda, Nus Reimas, Pdt. DR. Mangapul Sagala, Pdt. Bigman Sirait dan lain-lain.

 

 

 

Mau Kemana Kaum Injili Indonesia?

Sama seperti alasan/faktor historis lahirnya Evangelikalisme, Evangelikalisme Indonesia juga terutama lahir dengan tujuan untuk membendung Teologi Liberal. Menurut kaum Injili, teologi liberal adalah musuh utama Protestantisme dan harus dilawan (karena berlawanan dengan spirit ajaran Protestan yang dirumuskan para Reformator). Protestantisme di Barat mengalami krisis, penurunan dan degradasi karena Gereja telah meninggalkan lima prinsip dasar, yaitu Sola Scriptura (Alkitab sebagai Firman Allah yang penuh kuasa, satu-satunya otoritas terakhir/tertinggi, “nafas” dan “agama”nya umat Tuhan), Sola Christos (Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan, Juruselamat dan Pengharapan dunia), Sola Fidei (Penekanan pada iman kepada Kristus, pertobatan pribadi, dan kelahiran baru), Sola Gratia (Keselamatan sebagai anugerah dan kasih total Allah) dan Soli Deo Gloria (Allah dipermuliakan melalui kesaksian dan penginjilan).

Salah satu “jasa besar” Evangelikalisme Indonesia adalah berhasil “memblokir” dan “melokalisasi” teologia Liberal hanya bersarang di kampus-kampus sekolah teologia tertentu. Kelompok mainstream Protestant rentan dipengaruhi teologi liberal karena sistem pendidikan teologinya sangat dipengaruhi oleh model dan kurikulum pendidikan teologi di AS dan Eropa yang juga sudah sangat liberal. Akan tetapi, berkat Gerakan Injili yang masuk ke Indonesia pada tahun 1950an, melalui kampanye penginjilan, KKR, penerbitan (buku, majalah dll), seminar-seminar, pendirian sekolah teologi (seperti SAAT, III, STT Bandung, STT Reformed Injili, IAT, dll); ruang gerak, pengaruh dan dampak negatif dari teologi liberal berhasil dilokalisir. Sehingga mereka yang liberal kebanyakan hanya bersarang di kampus-kampus teologi saja.Sedangkan penyebaran dan penetrasi di kalangan pemuda dan mahasiswa dilakukan lewat Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI/Campus Crusade for Christ), Perkantas, Navigator, Youth for Christ, dan Youth with a Mission (YWAM). Protestantisme di Indonesia juga akan mengalami nasib (kebangkrutan) yang sama seperti di AS apabila tidak diselamatkan oleh Evangelikalisme. Kaum Injili kini menjadi salah satu kekuatan utama dan motor penggerak Protestantisme Indonesia.

Namun seiiring dengan perkembangan zaman, masyarakat dan bangsa Indonesia, konteks tantangan dan medan perjuangan kaum Injili Indonesia kini telah berubah. Kalau fokus awal “medan peperangan/perjuangan” kaum Injili lebih bersifat teologis (melawan teologi/kaum liberal) dan misiologis (pekabaran Injil) (selama kurang lebih enam dekade), dimana dampak kehadiran kaum Injili lebih bersifat internal kristiani, tidak begitu gereget/relevan/berdampak besar bagi bangsa dan masyarakat, maka sekarang kaum Injili harus “keluar kandang” dan “turun” ke level horizontal, ke medan perjuangan yang lebih riil bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena harus diakui dan tidak terbantahkan bahwa kaum Injili (PGLII) selama ini tidak terjun secara proaktif dan all-out dalam bidang-bidang strategis kehidupan manusia seperti pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan problem-problem kemanusiaan dan kebangsaan.

 

Saat ini umat Kristen dan Gereja-gereja di Indonesia sedang menghadapi arus globalisasi yang penuh tantangan dan problema, baik yang bersifat global, lokal dan nasional, dalam semua bidang kehidupan. Terjadi krisis kemanusiaan dalam hampir semua sisi kehidupan manusia. Manusia dan masyarakat seakan-akan kehilangan jatidiri dan orientasi. Perkembangan IPTEK yang begitu pesatpun tidak mampu mengatasi krisis-krisis kemanusian. Krisis multi-dimensi dalam segala bidang kehidupan pun juga masih mendera masyarakat dan bangsa Indonesia. Gereja dan Umat Kristen pun tak luput dari badai krisis. Saat ini Gereja juga mengalami krisis dalam hampir semua lini, seperti krisis rohani, kepemimpinan, krisis finansial, SDM, konflik internal, dan lain-lain.

Kekristenan di Indonesia saat ini juga sedang mengalami krisis dalam misi, baik karena faktor internal maupun eksternal. Hal ini antara lain karena misi sebagai spirit kekristenan belum bersifat transformatif. Praksis misi selama ini belum bisa melakukan terobosan-terobosan dan perubahan-perubahan besar dan signifikan bagi kemajuan bangsa dan masyarakat. Misi kristen belum berdampak signifikan bagi perbaikan kebudayaan, peradaban dan tatanan masyarakat-bangsa. Padahal, misi harus bisa mendatangkan perbaikan, kebaikan, kesejahteraan, kemajuan dan memberikan pengharapan yang realistis bagi segenap umat manusia.

Menurut kami, Gerakan dan Kaum Injili Indonesia saat ini sedang mengalami krisis identitas (teologis/idiologis) dan krisis kepemimpinan (baik secara organisasi maupun ketokohan). PGLII sebagai motor Gerakan Injili tidak bisa (tidak mampu) mengembangkan diri sebagai organisasi yang besar, transformatif, kaya dan kuat secara finansial dan partisipasi, yang bisa berdaya guna bagi umat dan bangsa.. Secara organisasi PGLII adalah organisasi yang lemah dan “miskin” yang tidak mempunyai apa-apa (seperti sekolah, RS, poliklinik dan karya sosial kemanusiaan) untuk dibanggakan, yang tidak bisa diharapkan untuk melakukan transformasi konkrit. (Sangat ironis karena potensi SDM dan finansial Kaum Injili Indonesia sebenarnya sangat luar biasa)

Karena itu kaum Injili (PGLII) harus dibangunkan kembali (direvitalisasi) dan diprotes agar bisa dan mau berbuat yang lebih konkrit bagi bangsa, masyarakat dan gereja. Misalnya, masakan kaum Injili tidak (ma(mp)u) membangun (tidak punya) universitas Kristen (kecuali UKRIM yang kecil?) atau tidak mempunyai satu RS pun untuk medan pelayanan. Kaum Protestan Injili di AS saat ini sudah membangun ratusan universitas sebagai medan pelayanan dan benteng kekuatan dan membangun kekuatan politik yang kuat. Kaum Injili (PGLII) Indonesia tampak pasif dalam persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan konkrit. Kalau Gerakan Injili dan kaum Injili Indonesia tidak merubah strategi dan paradigma, Gerakan Injili (PGLII) Indonesia saat ini bisa dibilang kurang membumi dan tidak bisa/tidak mampu melakukan transformasi konkrit bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Kaum Injili (PGLII) Indonesia sedang mengalami krisis orientasi dan krisis kepemimpinan. Mau kemana kaum Injili Indonesia?