GIBRAN RAKABUMING TERPERANGKAP HYDRA KORUPSI KEKUASAAN
Oleh: Bung Clau, Political Opinion Leader
Rilis Transparency International Indonesia bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 terjun bebas dari peringkat 38 ke 34, ternyata bukan isapan jempol, sebaliknya melegitimasi realitas korupsi struktural yang melanda Indonesia.
Rangking 34 dari 180 negara ini adalah rekor terburuk sejak tahun 1995. Sungguh ironis karena reformasi bukannya melahirkan perbaikan akan tetapi melahirkan semacam Hydra, monster ular dalam mitologi Yunani
yang mempunyai sifat regenerasi, saat kepalanya dipenggal akan tumbuh dua kepala baru.
Mengapa realitas hydra ini tumbuh subur di Indonesia? Salah satunya karena rule of law dikebiri oleh penguasa. Rule of law adalah salah satu dari 8 indeks untuk mengukur Indeks Persepsi Korupsi. Indeks rule of law mengukur apakah pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi.
Jauh sebelum terjadi drama Korea Mahkamah Konstitusi,
Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengundang lembaga-lembaga survei internasional dan nasional untuk mencari tahu akar persoalan wabah korupsi. Ternyata akarnya adalah konflik kepentingan di eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Temuan TII dan beberapa lembaga survei international ini adalah cermin dari realitas obyektif. Tidaklah mengherankan menyaksikan kentalnya konflik kepentingan antara eksekutif dan yudikatif dalam drama lolosnya Gibran Rakabuming sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Tidaklah mengherankan membaui aroma indikasi korupsi kekuasaan oknum aparat negara dalam bentuk intimidasi terselubung terhadap lawan politik dan kelompok kritis seperti mahasiswa. Dan pada saat bersamaan oknum aparat terkesan memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang didukung penguasa. Kekuasaan dinilai telah diselewengkan secara curang sehingga mencederai rasa keadilan.
Korupsi di Indonesia sudah berlangsung secara struktural, dari pimpinan tertinggi hingga kepala desa. Berlangsung secara massif, dari lingkaran Istana hingga pelosok desa. Seperti kata pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari, bawahan meniru total perilaku dan praktek atasannya. Fenomena korupsi menjadi hal biasa, lambat laun membentuk budaya, dan kelak bisa membentuk peradaban baru.
Haruskah kita skeptis, berdiam diri saja menyaksikkan munculnya Hydra di negara yang kita cintai ini? Skeptis bukan pilihan, begitu pula diam. Masih ada harapan untuk memperbaiki itu semua melalui pilihan politik 14 Februari 2024. Jangan kita pilih capres-cawapres yang lahir dari korupsi kekuasaan, dari kongkalikong jahat elite eksekutif, partai politik dan yudikatif.
Gibran Rakabuming adalah produk dari korupsi kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan ayah dan pamannya untuk menggondol tiket cawapres. Ibarat sapu kotor, bagaimana mungkin bisa membersihkan lantai yang sudah kotor. Gibran bisa saja memenggal kepala Hydra namun akan lahir kepala-kepala baru yang siap memangsa demokrasi sekaligus menyuburkan korupsi kekuasaan.
Daya kritis kita hendaknya tidak disubordinasi pada framing urgensi pemimpin muda. Daya kritis kita hendaknya berkelana lebih jauh, tunduk pada urgensi keunggulan rekam jejak, integritas dan moralitas. Berusia muda penting dan perlu. Namun penting dan perlu memiliki rekam jejak yang bersih, tidak lahir dari kolusi dan nepotisme, tidak lahir dari korupsi kekuasaan.
Korupsi kekuasaan sangat berbahaya karena menghancurkan sendi-sendi demokrasi, kekuasaan akan dijadikan alat politik untuk transaksi dan sandera demi keuntungan pribadi, keluarga dan kroninya. Korupsi kekuasaan pada gilirannya akan menjauhkan rakyat dari akses terhadap kesejahteraan karena uang negara dirampok oleh elite oligarki. Fantastis sekali jumlah kerugian negara tahun 2022 sebesar Rp 144 triliun yang diungkap Kejaksaan Agung.
Uang sebanyak itu mestinya bisa digunakan untuk subsidi pendidikan buat anak-anak kurang mampu, subsidi makanan buat anak-anak yang kekurangan gizi, subsidi buat generasi muda kurang mampu yang mau merintis usaha sendiri, subsidi untuk pengembangan kemampuan digital Gen -Z.
Per Maret 2023 Jumlah orang miskin masih sangat banyak, 25,90 juta orang. Masih ada 8,43 juta orang menganggur dan 8 persen adalah sarjana. Ketimpangan antara kaya dan miskin cukup tinggi, tercermin pada rasio gini 0,388 persen. Bahkan menurut Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse, 1 persen orang kaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan Indonesia.
Pembangunan infrastruktur selama 8 tahun, seperti diakui Presiden Jokowi,
telah menyedot Rp 3.309 triliun. Banyak kemajuan yang telah dihasilkan dari pembangunan fisik ini meskipun harus diakui masih belum sepenuhnya berdampak besar pada berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran. Sudah tidak begitu berdampak, pembangunan mental juga masih jauh dari harapan. Revolusi mental yang digaungkan Jokowi tahun 2014 dimangsa Hydra setahun menjelang era Jokowi berakhir. Jokowi sendiri yang justru memangsa revolusi mentalnya.
Mari kita bangkit dari skeptisisme, bangkit dari sikap sudah kalah duluan lantaran percaya adanya skenario kecurangan oleh penguasa dan kroni-kroninya. Mari kita bangkit dari diam, pertebal nyali dan daya juang untuk mengawasi dan melaporkan segala bentuk korupsi kekuasaan dalam pesta demokrasi kita. Kita tolak semboyan L’etat c’est moi (Negara adalah saya), kita perjuangkan L’etat c’est le peuple (Negara adalah rakyat. Negara milik kita, bukan milik keluarga dan kelompok tertentu.
Jakarta, 15 November 2023
*****