Dialog Damai Mesti Menggantikan Pendekatan Keamanan di Papua
Alih-alih mereda, sejak awal tahun 2023 berbagai kekerasan dan konflik terjadi lagi di Papua. Kasus yang paling menyita perhatian publik adalah penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Marthens (tanggal 7 Februari 2023) dan pembunuhan terhadap anggota TNI. Sebelum itu, juga terjadi pembunuhan secara sadis terhadap pekerja sipil oleh pihak KKB, mutilasi terhadap warga sipil oleh anggota TNI di Mimika, tewasnya belasan warga sipil oleh aparat keamanan di Wamena dan berbagai insiden kekerasan lainnya. Satu-satunya kasus yang berhasil diselesaikan dengan sangat baik, adalah kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap warga sipil Papua di Mimika Papua Tengah.
Pelaku utama dari pihak TNI atau sipil divonis seumur hidup, sementara pelaku pendukung lainnya juga dijatuhi hukuman yang cukup berat. Meski semula tokoh dan warga masyarakat tidak percaya akan ada proses hukum yang adil, namun pada akhirnya dapat memberikan apresiasi terhadap proses mau pun hasil peradilan atas kasus ini. Tim Komnas HAM periode 2017-2022 melakukan investigasi dan telah membuat laporan yang komprehensif terhadap kasus tersebut. Respon yang sangat baik dari Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Andika Perkasa sangat perlu diapresiasi. Internasional juga memberikan catatan sangat positif atas penyelesaian kasus ini.
Sementara kasus yang juga menarik perhatian internasional yakni penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Marthens belum juga berhasil dituntaskan, meski Philip telah disandera hamper enam bulan lamanya. Meski Tindakan KKB kelompok Egianus Kogoya sangat tidak bisa dibenarkan dikecam banyak pihak bahkan di luar negeri, tapi jaminan keamanan nasional khususnya di Papua tetap lah menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia. KKB kelompok Egianus melanggar berbagai ketentuan hukum internasional dan hak asasi manusia, sementara pemerintah ditanyai tanggung jawab keamanan karena Papua adalah bagian integral negara kesatuan Republik Indonesia.
Kekerasan yang terjadi sebagaimana disebutkan tadi, menandai eskalasi kekerasan yang meningkat sejak 2019 persis setelah kejadian rasisme yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya dan kemudian memicu demonstrasi berujung kerusuhan di berbagai wilayah di Papua. Yang paling parah adalah kerusuhan di Wamena yang menelan 30-an korban terutama para pendatang dari luar Papua yang tinggal di daerah tersebut. Setelahnya, berbagai rangkaian kekerasan terjadi di banyak tempat di Papua, khususnya di daerah pegunungan yang merupakan basis terkuat OPM/KKB, yang mengakibatkan korban di semua pihak, TNI/Polri, KKB, terutama warga sipil baik orang asli Papua (OAP) mau pun para pendatang.
Jeda Kemanusiaan
Sebenarnya upaya perdamaian dan penghentian kekerasan telah berkali-kali diupayakan, salah satunya oleh Komnas HAM periode 2017-2022. Pada tanggal 11 Nopember 2022, telah ditandatangani Perjanjian Jeda Kemanusiaan, yang isinya antara lain: penghentian kekerasan dari semua pihak baik TNI/Polri maupun OPM. Selanjutnya, semua pihak akan melakukan tugas kemanusiaan, yakni secara bersama-sama mengurusi pengungsi dan tahanan. Jeda Kemanusiaan, sesuai kesepakatan akan mengambil tempat di Kabupaten Maybrat, Papua. Jika “projek percontohan” ini berhasil, maka Jeda Kemanusiaan akan dikembangkan di daerah konflik lainnya. Langkah ini sekaligus akan menjadi modal awal dalam rangka “trust building” atau membangun kepercayaan antar pihak bersengketa untuk selanjutnya melakukan negosiasi politik yang lebih substantif. Sebab di dalam pelaksanaannya para pihak yang bersengketa akan terlibat di dalam pekerjaan bersama untuk kemanusiaan.
Perjanjian Jeda Kemanusiaan ini menarik dan sempat memberikan harapan bagi banyak pihak, terutama masyarakat di Papua. Walau Komnas HAM bukan lah pihak yang bertikai/berkonflik, namun dengan dukungan riil pemerintah, termasuk pemerintah memberikan jaminan keamanan dan imunitas bagi utusan Papua yang mengikuti perundingan di Jenewa, maka posisi Komnas HAM dapat dikatakan sebagai proxy pemerintah. Posisi sebagai proxy ini sangat penting mengingat pemerintah belum bersedia berdialog langsung dengan OPM, sehingga memerlukan lembaga negara independen seperti Komnas HAM yang bisa memulai langkah dialog meski memfokuskan kepada isu kemanusiaan.
Butuh waktu lebuh dari setahun untuk meyakinkan pihak Papua, baik ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) mau pun Dewan Gereja Papua, Majelis Rakyat Papua serta tokoh-tokoh lainnya di Papua. Juga meyakinkan para pihak di Jakarta soalnya pentingnya jalkan damai termasuk meyakinkan mereka semua mengenai posisi Komnas HAM dalam proses perundingan menuju kesepakatan Jeda Kemanusiaan. Tidak saja mesti menemui ratusan tokoh Papua, tapi Komnas HAM juga bertemu beberapa pimpinan bersenjata OPM di beberapa markas mereka.
Komnas HAM juga melakukan berbagai pertemuan di Jakarta, baik dengan pihak pemerintah termasuk dengan Presiden dan Wakil Presiden, beberapa pejabat penting di antaranya Menko Polhukam, Kapolri, Panglima TNI dan jajaran di bawahnya, Menteri Luar Negeri dan jajarannya, puluhan akademisi, jurnalis, tokoh masyarakat/adat, tokoh agama. Komnas HAM juga bertemu dengan NGO internasional yang berbasis di Jenewa, dengan diplomat Indonesia di Jenewa, Belanda dan Belgia. Yang tak kalah pentingnya bertemu dan berdialog serta meminta dukungan Komisioner Tinggi HAM PBB, Madame Michele Bachelet di Jenewa dan Direktur HAM Uni Eropa di Brussels, Belgia. Keduanya, baik Komisioner Tinggi HAM PBB mau pun Uni Eropa menyatakan dukungan positif dan berharap Komnas HAM bisa terus menindaklanujuti berbagai kesepakan awal yang sudah dicapai bersama ULMWP, Dewan Gereja Papua dan Majelis Rakyat Papua.
Sayangnya, perjanjian Jeda Kemanusiaan yang merupakan langkah baik ini tidak diteruskan bahkan dibatalkan sepihak oleh Komnas HAM periode 2022-2027 tanpa alasan yang mendasar serta tanpa konsultasi dengan berbagai pihak yang telah menyiapkan Perjanjian Jeda Kemanusiaan Papua, terutama dengan pihak Papua. Semestinya pihak pemerintah c/q Kemenko Polhukam dapat mengambil alih Jeda Kemanusiaan ini dengan membentuk suatu Task Force atau Tim Kecil yang juga melibatkan organisasi sosial keagamaan seperti Dewan Gereja/PGI serta PB NU yang sudah menyatakan mendukung Jeda Kemanusiaan. Atau juga dapat diambil alih oleh Kantor Wakil Presiden yang memang diberikan tanggung jawab mengurusi masalah Papua dengan melibatkan para pihak yang sudah ikut serta dari awal, ditambah Dewan Gereja/PGI dan PB NU. Tapi sayangnya langkah itu juga tidak diambil, sehingga penghentian kekerasan tidak dapat dilakukan bahkan sebaliknya kekerasan makin terus berkecamuk di Papua.
Lebih jauh, peristiwa ini semakin memperkecil peluang kedamaian sebagaimana diinginkan banyak pihak, baik di Papua, di tingkat nasional mau pun internasional. Perlu dicatat, dalam Sidang Universal Periodic Review dimana pada tanggal 10 Nopember 2022 di Jenewa, pemerintah Indonesia menyampaikan laporan hak asasi manusia Indonesia di Dewan HAM PBB. Di dalam sessi Pelaporan Situasi HAM di Indonesia tersebut, masukan terbanyak dari negara anggita PBB soal isu Papua adalah diperlukannya “inclusive dialogue” di dalam menyelesaikan konflik di Papua. Jeda Kemanusiaan yang pernah dihasilkan Komnas HAM adalah bagian integral dari langkah inclusive dialogue sebagaimana diusulkan banyak diusulkan negara anggota PBB kepada Indonesia pada Sidang Dewan HAM tersebut. Selain itu, issu hak suku asli (indigenous people rights), jaminan atas hak ulayat, peningkatan pelayanan Kesehatan dan pendidikan serta isu lingkungan hidup/ekologi merupakan isu hak asasi yang paling disorot anggota PBB terhadap Indonesia. Tentu saja, tidak satu pun negara anggota mempersoalkan status Papua yang memang dalam pandangan internasional dan PBB telah diakui sebagai bagian dari wilayah yang sah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengapa Kekerasan dan Situasi Kemanusiaan Memburuk ?
Harus diakui bahwa upaya akselerasi pembangunan di Papua terus ditingkatkan. Karena itu, dengan mudah dapat dilihat kemajuan di berbagai bidang terutama infrastruktur, baik transportasi darat, udara mau pun laut mau pun infrastruktur fasilitas sosial lainnya. Infrastruktur pendidikan juga meningkat pesat sebagaimana bidang kesehatan. Namun, kemajuan pembangunan ini masih belum mengangkat indeks kemajuan Orang Asli Papua di sektor hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Kehidupan OAP masih belum berhasil ditingkatkan sehingga kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan budaya tadi makin menimbulkan kesenjangan sosial dengan para pendatang.
Kesenjangan ini sekaligus memberikan ruang yang luas bagi gerakan perlawanan politik baik dalam bentuk protes yang menyatakan ketidakpuasan saja, atau yang berupa gerakan kemerdekaan atau pemisahan diri, salah satunya melalui OPM atau organisasi separatis dengan nama lain ULMWP, TPNPB, bahkan juga menyentuh oraganisasi keagamaan dan adat. Gerakan ini semakin menemukan jati dirinya sejalan dengan pendekatan keamanan yang puluhan tahun diterapkan di Papua dan menimbulkan banyak sekali kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dapat dicatat beberapa peristiwa yang besar yakni Wamena dan Wasior serta Paniai yang oleh Komnas HAM telah diselidiki dan diserahkan ke pengadilan. Sebelum itu, ada kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluai (peristiwa Abepura) yang juga direkomendasikan Komnas HAM untuk dilanjutkan proses hukum melalui peradilan HAM berat.
Dua kasus utama, yakni Paniai dan sebelumnya peristiwa Abepura berakhir dengan dibebaskannya semua terdakwa dan tentu saja membunuh harapan orang Papua akan keadilan. Di luar kasus-kasus HAM berat yang disebut tadi, masih banyak pelanggaran HAM lain yang sebetulnya bisa dikategorikan pelanggaran berat hak asasi manusia (kejahatan kemanusiaan) juga tidak diselesaikan dengan adil. Tidak ada proses hukum yang betul-betul bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama korban/keluarganya. Tentu saja tidak berjalannya keadilan hukum ini semakin menipiskan kepercayaan rakyat Papua terhadap keseriusan pemerintah menyelesaikan berbagai masalah di Papua, juga terhadap penegakan hukum, keadilan serta penghormatan atas hak asasi manusia di Papua.
Pendekatan Dialog Damai Menggantikan Pendekatan Keamanan
Belajar dari pengalaman konflik di Aceh mau pun di negara-negara tetangga lainnya, maka satu-satunya jalan adalah perundingan damai. Kita memiliki “success story” penyelesaian konflik, yakni Aceh melalui perundingan damai yang menghasilkan Perjanjian Helsinki. Di negara lain berbeda cerita. Konflik separatisme yang terjadi di Philippina Selatan antara pemerintah dengan bangsa Moro, masih pasang-surut sampai saat ini. Di Thailand Selatan konflik juga antara pemerintah dengan muslim Pattani yang ingin memisahkan diri. Myanmar bahkan lebih rumit antara pemerintah dengan opisisi pimpinan Aung San Syu Ki, juga dengan kelompok suku-suku seperti Karen, Kachin dan juga Rohingya diwarnai yang malah diwarnai kejahatan genosida. Tak satu pun pendekatan keamanan sukses menyelesaikan masalah. Yang terjadi korban manusia dan harta benda terus berjatuhan. Peradaban manusia secara pasti menuju kehancuran. Memang tidak mudah menempuh jalan damai. Aceh contoh terbaik meski beberapa kali pernah gagal sebelum Perjaniian Helsinki ditandatangani. Philipina Selatan bahkan puluhan tahun diupayakan, masih saja situasinya naik-turun. Thailand kembali memanas walau belakangan ini pihak pemerintah dan kelompok perlawanan sudah kembalki memulai dialog damai. Myanmar, sebaliknya, capaian baik yang sudah pernah diraih untuk beberapa tahun, kembali ke titik nadir dengan munculnya pemerintahan junta militer hasil kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Aung San Syu Ki yang dinilai tidak becus memerintah dan mengatasi konflik selanjutnya. Kekerasan semakin parah, terutama atas etnis Rohingya, situasi politik tidak stabil dan tentu saja berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, terhadap keamanan khususnya di wilayah-wilayah konflik, termasuk di Yangoon.
Sekali lagi, belajar dari penanganan konflik di Indonesia mau pun negara lain, jelas lah bahwa pendekatan keamanan tidak bisa menyelesaikan permasalahan bahkan cenderung memperluas konflik. Lebih jauh malah menimbun dendam sosial yang berkepanjangan sehingga konflik semakin sulit diselesaikan.
Perlu dicatat pula bahwa perhatian internasional mulai meningkat kembali terhadap masalah Papua. Apalagi, belakangan ini kekerasan bahkan cenderung makin brutal dan sadistis, termasuk yang dilakukan KKB kepada aparat mau pun orang sipil. Sebagai negara yang di regional ASEAN mau pun internasional dinilai progresif dalam pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia, kecenderungan negarif di Papua perlu dicermati dalam rangka diplomasi global Indonesia di berbagai sector, baik ekonomi, politik mau pun budaya. Indonesia sudah memainkan peran internasional yang baik, sejalan dengan semangat perdamaian dunia yang ditegaskan konstitusi kita. Maka masalah Papua tidak boleh menjadi hambatan bagi peran strategis internasional tersebut.
Ahmad Taufan Damanik
Ketua Komnas HAM RI 2017-2022