Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Menjadi Pembicara Utama dalam Refleksi Awal Tahun 2022 DPP  Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia

0
322

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Menjadi Pembicara Utama dalam Refleksi Awal Tahun 2022 DPP  Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia

Jakarta, Suarakristen.com

 

Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Menjadi Pembicara Utama dalam Refleksi Awal Tahun 2022  DPP  Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), yang digelar di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta (31/1/22).

Acara refleksi awal Tahun 2022 DPP   Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) tersebut dihadiri oleh sekitar 50 orang peserta, serta Diikuti oleh sekitar 150 orang peserta via Zoom dari pelbagai organisasi Cendekiawan lintas Agama.

Tampak Hadir dalam acara ini Ketua Umum DPP PIKI, Senator DPD RI,  Badikenita Putri Sitepu, Para Pimpinan Lembaga Cendekiawan Keagamaan Indonesia, Sekjend DPP PIKI, Audy WMR Wuisang, Baktinendra Prawiro, Dr. Pos M. Hutabarat, Drs. Tamsil Linrung, Merdy Rumintjap, M.Si. Nikson Gans Lalu, S.H., M.H., dan tokoh-tikoh PIKI lainnya.

Dalam orasinya yang berjudul “Dinamika Kebangsaan Kita Tahun 2022”,  Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyampaikan, “Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti jelas tertuang dalam Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 Ayat (1) Konstitusi kita. Bahkan negara ini juga menjamin semua penduduk melaksanakan agamanya sesuai keyakinannya, seperti tertuang di Ayat (2).

Tetapi apakah itu berarti bangsa ini berketuhanan sejak 18 Agustus 1945? Dimana saat Pancasila tertulis di naskah Pembukaan dan Konstitusi kita ditetapkan? Sama sekali tidak.

Bangsa ini telah berketuhanan sejak dahulu kala. Jauh sebelum era penjajahan Belanda. Bahkan jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Nusantara.

Bangsa ini telan mengenal tradisi upacara dan ritual untuk persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Kepada yang mereka yakini sebagai penguasa alam semesta. Baik itu dilakukan oleh petani pada saat mulai tanam, atau panen, juga dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain dalam aktivitas-aktivitas tertentu.

Artinya, nilai-nilai dan perilaku berketuhanan adalah D.N.A Asli bangsa ini. Begitu pula perilaku kemanusian yang memanusiakan manusia. Juga alam kesadaran kognitif mereka untuk bersatu. Lalu semangat untuk musyawarah dan sifat untuk saling berbagi sebagai wujud keadilan sosial.

Oleh karena itu, tidak heran bila Bung Karno mengatakan bahwa sama sekali bukan dia yang menciptakan Pancasila. Karena nilai-nilai dari Lima Sila tersebut sudah ada dan hidup dalam nafas bangsa ini jauh sebelum negara ini lahir.”

Baca juga  Komite Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dan APINDO Gelar "Expert Talk Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan", Tema: Strategi Pengawasan Memastikan Keberlanjutan Program di era Digital. Sustanability - Solvability - Hospitality

Ungkap  RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Lebih lanjut,”Jadi Pancasila bukan baru lahir pada tahun 1945. Karena Bung Karno sendiri menyebut Pancasila sudah ada jauh sebelum itu. Para pendiri bangsa hanya menemukan dan menetapkan Pancasila sebagai way of life bangsa ini pada 18 Agustus 1945. Sebagai falsafah negara bangsa ini.”

“Karena Pancasila adalah wadah yang utuh. Yang sempurna untuk menampung Kebhinekaan yang ada di dalam bangsa ini.Sehingga para pendiri bangsa dengan pikiran luhur dan suasana kebatinan yang sama, mereka menyusun Sistem Tata Negara dan Sistem Ekonomi kita, yang kita kenal dengan Demokrasi Pancasila dan Ekonomi Pancasila.

Itulah sistem yang sesuai dengan watak dasar, atau D.N.A sejarah Nusantara yang kita proklamasikan dengan nama Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Oleh karena itu, saat itu, kedaulatan rakyat berada di Lembaga Tertinggi Negara. Yaitu MPR. Yang di dalamnya mewakili semua elemen bangsa. Ada representasi partai politik melalui anggota DPR, ada representasi TNI-Polri melalui Fraksi ABRI dan ada representasi seluruh daerah melalui Utusan Daerah dan ada juga representasi golongan-golongan di masyarakat, melalui Utusan Golongan.

Sehingga demokrasi kita menjadi utuh dan lengkap. Semua terwakili dalam sebuah wadah yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik negara ini.” “Pungkas Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Jelas Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti lagi,

“Lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan Arah Perjalanan Bangsa ini, yang dituangkan dalam GBHN. Untuk selanjutnya memilih siapa yang pantas menjadi Mandataris Rakyat. Sehingga Presiden terpilih, sejatinya adalah Petugas Rakyat.

Terus terang saya sedih. Karena pikiran-pikiran luhur para pendiri bangsa tersebut telah hilang. Telah kita porak-porandakan melalui Amandemen 20 tahun yang lalu.

Kita sudah secara sengaja mencabut dari D.N.A. asli kita, untuk menjadi bangsa lain. Kita sengaja melupakan begitu saja cita-cita luhur para pendiri bangsa ini, demi untuk menjadi bangsa lain. Demi kebanggaan yang semu, yang menyatakan bahwa demokrasi barat adalah yang terbaik.”

Baca juga  Seluruh Korban Kecelakaan di Km 58 Teridentifikasi, Jasa Raharja Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Menurut Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti,” Negara-negara yang besar, selalu ditandai dengan kemampuan dan kemauan negara tersebut untuk menempatkan dan menghargai sejarah peradaban dan sejarah kelahirannya. Seperti yang dilakukan China, Jepang, dan Korea serta negara-negara yang memiliki sejarah panjang peradaban.”

“Setelah Amandemen 20 tahun yang lalu, Konstitusi menempatkan Partai Politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya Partai Politik melalui Fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara.

Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah. Wakil dari golongan-golongan. Wakil dari kelompok non-partisan, tidak memiliki ruang yang kuat untuk menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.

Karena faktanya, sejak Amandemen saat itu hingga hari ini, kelompok non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan Partai Politik. Tanpa second opinion dan tanpa reserve.

Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-Partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semuakeputusan melalui voting di parlemen.

Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang sama sekali tidak diperintah oleh Konstitusi, yaitu aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Sehingga lengkap sudah dominasi dan hegemoni Partai Politik untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa rakyat untuk memilih calon pemimpin pilihan mereka yang sangat terbatas, akibat adanya presidential threshold.

Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini. Karena dari dua kali Pilpres, mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadapan-hadapan.

Inilah wajah Konstitus! hasil Amandemen 2002 yang telah mengubah lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asii, Dan telah mengganti sistem tata negara yang dirumuskan para pendiri bangsa yang mengacu kepada Demokrasi asli Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila, menjadi Demokrasi Barat dan ekonomi yang kapitalistik.

Jadi, bila kita hari int melakukan Refleksi Awal Tahun dengan melihat dinamika kebangsaan yang akan terjadi, dapat saya katakan bahwa Indonesia akan tetap berada dalam kelompok negara yang menjalankan demokrasi Barat secara prosedural saja.

Baca juga  Indonesian American Lawyers Association (IALA) Sampaikan AMICUS CURIAE Kepada Mahkamah Konstitusi RI  

Masyarakat akan tetap hidup dalam sifat individualistik, sesuai dengan gaya hidup masyarakat Liberal Kapitalistik. Dominasi ekonomi dan kekayaan akan tetap dikuasai oleh sekelompok kecil elit. Dan negara semakin lama semakin tidak mampu melakukan intersep atas bencana atau masalah sosial dan kemiskinan yang mungkin semakin meluas.

Saya sama sekali bukan pesimis. Tetapi saya sengaja menggugah kesadaran bangsa, bahwa ada persoalan serius yang dilakukan bangsa ini dalam Amandemen Konstitusi 20 tahun yang lalu.

Sementara kita semua tahu di dalam proses itu terdapat invisible hand yang ikut bermain di dalamnya. Seperti tertulis di dalam buku Menyusun Konstitusi Transisi yang ditulis Ibu Valina Singka. Padahal kita juga tahu, bahwa national interest haruslah diletakkan di atas segala-galanya.

Oleh karena itu, DPD RI terus menggugah kesadaran publik. Bahwa sistem tata negara yang ada di Indonesia saat ini, sudah jauh meninggalkan D.N.A. sejarah lahirnya bangsa ini. Sudah jauh meninggalkan dan melupakan cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Untuk itu, DPD RI terus menggelorakan, bahwa rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi total atas Sistem Tata Negara Indonesia, sekaligus sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas Arah Perjalanan bangsa ini ke depan.

DPD RI juga mendorong elemen-elemen masyarakat untuk melakukan gugatan atas aturan presidential threshold yang nyata-nyata merugikan. Karena selain membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi calon pemimpin bangsa, juga terbukti membelah anak bangsa dan memperlemah persatuan kita sebagai bangsa.

Kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang berdaulat, berdikari dan mandiri. Untuk mewujudkan tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Untuk itu, saya mengajak semua pihak untuk jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Saya juga mengajak semua pihak untuk berpikir dalam kerangka pikir seorang negarawan. Bukan politisi. Karena seorang politisi lebih suka berpikir tentang next election. Sedangkan seorang negarawan lebih suka berpikir tentang next generation.”tegas Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengakhiri penyampaian pidato kebangsaannya.

 

(Hotben)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here