SEKELUMIT TENTANG MENTALITAS
Oleh: Lushak Andrews M. Butarbutar
Mentalitas. Arti: keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan. “ mental / men-tal / /me’ntal/ 1 a bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yang diperhatikan, melainkan juga pembangunan–; 2 n batin dan watak; — baja kemauan keras dan tegar.” Dalam pembahasaan percakapan sehari-hari dapat disebutkan sikap perilaku seseorang yang tercermin terpantul dari dalam menghadapi situasi kondisi tertentu. Mental adalah kondisi jiwa terpantul dalam sikap dan perilaku seseorang terhadap berbagai situasi yang dihadapi.
Proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan di Indonesia hampir selalu menempatkan siswa sebagai pendengar pasif, yaitu datang, duduk, mencatat dan kurang berpikir minim kreatifitas. Proses tersebut tidak memberikan kebebasan berpikir, bernalar, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai konteks, sehingga anak didik kurang atau tidak kreatif dan kritis. Untuk itu, sistem pendidikan khususnya pendidikan formal seyogyanya dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas terkini, yaitu pendidikan yang menjadi media untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga tumbuh potensi keutuhan dirinya yang memiliki daya kritis, kreativitas dan mentalitas terhadap lingkungan yang berada di sekitarnya. Pendidikan yang dikembangkan merupakan keseluruhan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan, memulihkan kualitas dan keseimbangan kehidupan manusia.
Sikap yang mencerminkan seseorang telah memiliki tingkat sosiologi kritis yang tinggi yaitu ketika seseorang telah mempunyai kemampuan untuk menganalisa secara tajam mengenai sifat, perilaku (ontology-deontologi), dan perkembangan masyarakat serta struktur sosial, proses sosial, dan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mewujudkan suatu ide yang baru. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dari akal pikiran dan juga dari kemampuan intuitif/intuisi. Kreativitas yang didasari atas kreatif rasional dan kreatif intuitif harus diimplementasikan pada sesuatu yang nyata untuk menjadikan suatu produk baru yang inovatif.
Sedangkan mentalitas adalah dimensi kecerdasan manusia, mengenal fitrah manusia, menentukan suara hati manusia melalui kebebasan untuk memilih serta hukum alam dan prinsip-prinsipnya. Mentalitas tidak hanya ditentukan berdasarkan intellegentia quotient (IQ), tetapi juga bertumpu pada emotional quotient (EQ), dan spiritual quoient (SQ). Kecerdasan intelektual (IQ) dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu utuk berperilaku dan bertindak secara tepat dan efektif. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik terhadap diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya nilai, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain. Dengan bersandar pada ketiga kecerdasan tersebut, anak didik akan mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan sosial dan ketangguhan lingkungan. Ini akan menjadikan pendidikan tidak hanya bertumpu pada olah raga dan olah otak, tetapi juga olah rasa – semangat. Di Indonesia pada beberapa perguruan tinggi, hampir semua mata kuliah ilmu eksakta kurang atau tidak memasukkan muatan sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas dalam kurikulum pendidikan akuntansi. Untuk itu, pendidikan berbasis sosiologi, kreativitas dan mentalitas perlu diturunkan secara lebih sistematis. Pendidikan berbasis sosiologi, kreativitas dan mentalitas hanya dapat dilakukan dengan baik ketika dirumuskan dalam bentuk kurikulum yang lebih utuh. Penulis, mengungkapkan bahwa sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas merupakan sesuatu hal yang saling terkait satu dengan hal yang lain, bukannya sesuatu hal yang saling bertentangan dalam proses pengajaran. Menurut Koentjaraningrat, mentalitas berarti keseluruhan isi, kemampuan alam pikiran dan jiwa manusia dalam merespons lingkungannya. Istilah ini menetapkan sistem nilai budaya dan sikap perilaku mental.
Kondisi jiwa yang terpantul dalam sikap dan perilaku seseorang terhadap berbagai situasi yang dihadapi dalam konteks bekerja dan kesehariannya tampak. Mental pegawai-pegawai di Indonesia, berikut ini penulis cuplik percakapan dari salah satu media cetak Bisnis.Com sebagai berikut:
“ Suatu ketika, saya mengunjungi suatu pabrik di Cileungsi, Jawa Barat. Ada mandor yang berasal dari Korea Selatan yang dipekerjakan di situ. Saya langsung mengatakan, betapa seharusnya untuk posisi itu sebenarnya bisa saja diisi oleh orang Indonesia, bukannya oleh orang asing. Namun, sangat menarik si bos ini berkata,” Pak Anthony, saya tahu bahwa mempekerjakan karyawan dari luar itu sebenarnya pengeluarannya tinggi. Pertama, gaji dan fasilitasnya. Kedua, mengurusi dokumennya. Tetapi alasan saya mempekerjakannya sederhana: produktivitas mereka setara dengan 10 hingga 20 karyawan di sini. ” Si bos itu melanjutkan, “Mending saya membayar dia agak mahal, tapi kerjanya rajin. Pagi masuk langsung tancap gas. Siang, sesuai jam istirahat dia akan mengaso dan kerja lagi sampai sore dengan produktivitas luar biasa. ” Kemudian, dengan senyum kecut bos ini melanjutkan dengan kalimat yang saya tidak terlalu suka,” Bandingkan dengan karyawan kita yang hobinya masuk siang, kalau bisa absen apalagi habis gajian. Terus punya banyak alasan nggak di tempat, ada ngopi, ngeteh, ngerokok yang menghabiskan waktu berlama-lama. Kalau produktif sih nggak apa-apa. Habis itu terus-menerus menuntut! ” Sungguh, saya amat kesel dengan jawabannya, tetapi apa yang dikatakan ada benarnya kalau dikaitkan dengan pengalaman belasan tahun mengurusi orang pada waktu dulu, baik sebagai praktisi maupun konsultan dan trainer perusahaan. Lalu, ada kisah yang lain lagi. Seorang majikan mendapatkan tawaran jasa pembantu dari sebuah biro bergengsi. Pembantunya terlatih. Bisa orang Indonesia, bisa juga pembantu asing. Saat itulah dia melakukan shortlisted (menciutkan satu demi satu kandidat pembantunya) hingga tinggal dua, seorang Indonesia dan seorang lagi dari Filipina.Yang menarik, pada saat ketika bagian di mana kedua calon pembantu ini bertanya, si pembantu Indonesia bertanya, “Bagaimana kamar tidurku, ada AC-kah, bisa cuti berapa lama ? ” Namun, si pembantu Filipina, justru fokus dengan hal yang berbeda, “Apa harapan Anda terhadap saya? Apa yang bisa saya lakukan di rumah Anda? Bolehkah dibuat secara lebih terperinci apa yang perlu saya lakukan? Lantas, si majikan ini berkata, “ Betapa bedanya kedua mentalitas ini? ” Kembali, saya pun agak kesal mendengarkan kisah yang kesannya agak menjelekkan mental pembantu kita. Sungguh, tulisan ini sekali lagi bukan untuk mendiskreditkan karyawan kita ataupun tidak nasionalis. Justru inilah tulisan untuk menampar kita. Di Internet kita seringkali melihat TKI ataupun karyawan kita yang kadang dipandang lebih rendah. Tentu saja, kita marah dengan perlakuan seperti itu. Hal ini sekaligus menjadi bahan refleksi buat kita. Sungguhkah tenaga kerja kita betul-betul profesional dan memiliki nilai tambah yang tinggi? ”
“ Dari Sabang sampai Merauke dari Mianggas sampai ke Pulo Rote… sama aja mental – nya.” Indonesia secara nasional masih sulit untuk berkembang masih sulit untuk maju untuk kemajuan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Masyarakat di pulau jawa masih minim untuk dijadikan patron dan model sebagai masyarakat nasionalis “Indonesia” untuk masyarakat di luar pulau jawa.
Ada 5 ( lima ) hal buruk dalam memahami sikap perilaku dari mentalitas sekelompok orang-orang dalam pranatanya.
Pertama, soal ketidak-disiplinan. Pada umumnya, suka datang terlambat, ataupun absen dan tidak hadir kadang tanpa berita yang jelas. Pernah suatu kali, seorang expat bule di Indonesia sampai geleng-geleng kepala di suatu perusahaan tambang. Ia pun bercerita bagaimana pengalaman kerjanya dengan karyawannya membuatnya jadi paham. Apalagi habis gajian, banyak yang mulai absen/tidak hadir dan bermalas-malasan. Setelah uang mereka habis, mereka mulai bekerja rajin kembali. Bahkan, di suatu pabrik, ada supervisor yang bercerita tugasnya setiap siang adalah memastikan ke kantin, kalau semua sudah kembali ke tempat kerjanya. Sebab, menurutnya, kalau istirahat dari jam 12 sampai jam 1, terkadang sampai jam 01.45 baru kembali ke tempat kerja. Begitu juga ada sebuah perusahaan farmasi, perusahaan tambang dsb yang sampai harus menggunakan tracking dengan GPS untuk memastikan para sales, pegawai mereka tidak ngopi dan nongkrong di luar.
Kedua, meremehkan prosedur dan aturan kerja (mekanisme kerja). Data Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada 2014 yang melaporkan bahwa di setiap 7 detik terjadi satu kecelakaan kerja di Indonesia. Bagaimana kondisinya sekarang ? Rasanya tidak akan banyak berubah. Tentunya, hal ini termasuk data yang luar biasa. Penyebab kecelakaan memang bisa dari pihak perusahaan atau aturan yang kurang jelas. Hanya saja, seringkali kecelakaan ataupun problem itu terjadi karena mental pekerjanya. Ada beberapa kasus pekerja yang jatuh dari ketinggian dan mengakibatkan meninggalnya pekerja itu gara-gara si pekerja yang tidak menggunakan alat pengamanan diri saat kerja. Misalkan, tali nyawa yang diikatkan ke bagian tubuhnya.
Ketiga, tidak punya etos kerja kalau tidak diawasi ( “kayak kuli” ). Mereka adalah stasiun kabel TV yang terkenal jaringannya. Saya berharap akan melihat kesibukan yang luar biasa dari karyawan yang amat banyak. Tahunya tatkala berada di sana, jumlah karyawannya tidak banyak. Mereka beroperasi sangat mandiri dan seakan-akan sudah tahu in mind dengan tugas mereka masing-masing. Bahkan, seringkali terjadi satu orang memegang beberapa pekerjaan sekaligus, dan hal itu dapat berlangsung dengan sangat efektif. Bagaimana dengan karyawan kita ? Ketika masih mengurusi bidang personalia, bahkan kami harus menerapkan workshet report. Jadi, karyawan harus menceritakan dan melaporkan aktivitas harian mereka selama setiap minggu.
Mengapa ini dilakukan? Masalahnya, manajemen menemukan banyak karyawan yang melakukan aktivitas yang sangat tidak produktif saat jam kerja. Bekerja bila ada pimpinannya komandannya dan sebagainya. Sering terjadi tugas tambahan yang lebih merepotkan/menonjol daripada tugas pokok/utama. Ada karyawan tergila-gila kerja dan menghiraukan kerja tim.
Keempat, soal banyaknya tuntutan yang diminta (menuntut… terus) tetapi tidak selaras dengan produktivitas yang diberikan. Saya pun teringat dengan keluhan di suatu perusahaan tekstil yang sampai harus dipindah ke Jawa Tengah, gara-gara terus dirongrong. Si pemilik perusahaan, yang kebetulan mejadi peserta seminar berkata, ” Kami tidak keberatan untuk memberikan tuntutan dan memberikan fasilitas apapun yang mereka minta. Tapi, kami pun menuntut produktivitas dari mereka. Apakah ini salah? ” Si peserta ini melanjutkan, “Tapi pada saat kami mengatakan hal ini, kami dianggap tidak memperhatikan nasib buruh dan berusaha mengeksploitasi mereka. Mereka pun sering mogok sehingga pabrik tidak jalan. Akhirnya, daripada terus bermasalah, kami pindahkan saja pabriknya.”
Kelima, rasa memiliki yang rendah. Pernah, beberapa pimpinan dari perusahaan Jepang mengeluhkan soal rendahnya sense of belonging ini. Bagi mereka, peralatan kerja ataupun tempat bekerja itu adalah sesuatu yang personal, nyawa kerja mereka. Soalnya, mereka akan dipakai lagi, jadi perlu dirawat dan dijaga dengan baik.
Jadi, di akhir tulisan ini, sungguh Anda boleh mencela apa yang diceritakan di sini. Saya sendiri ingin mencela dan mengatakan, “Semua ini tidak benar !” Tapi, tunggu dulu ! Mungkin daripada membela diri dan menyalahkan pihak lain, ada baiknya kita melakukan introspeksi terhadap (sikap perilaku) mental kerja kita. Kita bisa marah tatkala perusahaan melakukan outsource/jasa tenaga lepas, melakukan pemindahan lokasi keluar negeri ataupun menganggap perusahaan yang mempekerjakan expat sebagai tidak nasionalis. Ayo, kita buktikan semua (sikap perilaku) mental yang ditulis ini tidaklah benar, apalagi kita tahu ada juga karyawan luar yang mentalnya pun tidak baik ! Mentalitas pegawai, karyawan dan para pekerja di Indonesia masih jauh untuk dapatnya mewujudkan \ Indonesia maju. Keniscayaan, harus dikerjakan walaupun Bumi dan Langit tidak mungkin dapat bersatu namun untuk mencapai Indonesia Maju harus terus dikerjakan dipercepatkan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
***
SUMBER BACAAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, Edisi Kedua, Jakarta 1993.
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta 2001.
Prof. Dr. Koentjara Ningrat, Mentalitas dan Kebudayaan, UGM; Yogyakarta, 1996
https://www.griffith.ie/blog/importance-human-resource-management
Bisnis.Com
Rencana Undang-undang Keamanan Nasional RI, Proglenas 2015 – 2019, Jakarta 2016.
Berbagai sumber informasi digital dan bacaan lainnya.