YLBHI: Normal Baru, Orba Baru (New Normal, New Orba)?
MENOLAK PELIBATAN TNI DALAM COVID-19 DAN NEW NORMAL
Jakarta, Suarakristen.com
Penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia memasuki babak baru dengan rencana aktivitas kembali secara baru yang dalam beberapa pernyataan disebut pemerintah dengan “new normal”. Salah satu penerapan new normal adalah rencana pelibatan TNI dalam pendisiplinan pelaksanaan protokol kesehatan. Sebagaimana dinyatakan Presiden Jokowi, pelibatan tersebut akan ada di 4 provinsi dan 25 kota/kabupaten. Melihat rencana Pemerintah, pelibatan atau pengerahan pasukan TNI akan dilakukan di berbagai tempat termasuk di fasilitas publik seperti di pasar, pusat-pusat perbelanjaan (mall), dan tempat wisata.
Menanggapi rencana pelibatan TNI tersebut, YLBHI perlu mengingatkan hal-hal penting sebagai berikut:
1. Reformasi 1998 adalah tonggak ditinggalkannya Orde Baru yang memiliki ciri utama pelibatan tentara dalam soal sosial politik. TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jelas menyatakan: “Peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat”. Maka, pengembalian peran TNI dalam kegiatan-kegiatan di ranah sipil bertentangan dengan reformasi dan TAP MPR tersebut, Dalam UU TNI disebutkan perihal adanya Operasi Milliter Selain Perang, tetapi juga jelas ditegaskan bahwa ini harus melalui Keputusan Politik Negara, dimana Presiden juga harus berkonsultasi dengan DPR.
2. Pemerintah beralasan pemberlakuan new normal di wilayah-wilayah tersebut karena dianggap sudah siap. Pertanyaannya kemudian, mengapa daerah yang sudah siap harus ditangani oleh TNI? Langkah ini sekali lagi menunjukkan bahwa Pandemi Covid-19 ditangani dengan pendekatan keamanan. Padahal, merujuk pada pernyatan resmi Direktur WHO Region Eropa, new normal memerlukan transisi, dan tindakan untuk mengurangi pembatasan dan transisi perlu memastikan:
1) Bukti menunjukkan penularan COVID-19 dikendalikan, 2) Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina; 3) Risiko wabah itu diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi – terutama di rumah-rumah lansia, fasilitas kesehatan mental dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai; 4) Penetapan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja yaitu dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, etiket pernapasan; 5) Risiko pemindahan itu dapat dikelola; dan 6) Masyarakat memiliki suara dan terlibat dalam transisi. Dari semuanya, tidak satupun syarat tersebut memasukkan pendekatan keamanan.
3. Rencana pelibatan TNI ini menambah tindakan Pemerintah yang menggunakan pendekatan keamanan. Sebelumnya Kapolri mengeluarkan Surat Telegram tentang memberikan efek jera pada orang yang dianggap menghina Presiden dan hoax. Surat ini dijalankan secara diskriminatif dan menyasar orang-orang yang kritis kepada Pemerintah seperti kriminalisasi peserta Aksi Kamisan di Malang, kriminalisasi Ravio Patra, dan terakhir kriminalisasi peserta aksi di Pekanbaru.
Berdasarkan hal-hal tersebut, YLBHI meminta Pemerintah untuk:
1. Menghapus dan membatalkan kebijakan dengan pendekatan keamanan untuk menangani Covid-19 termasuk rencana pelibatan TNI dalam new normal;
2. Menangani Covid-19 dengan dipandu oleh kebijakan kesehatan publik berbasis sains. Pelonggaran kekarantinaan kesehatan harus dilakukan berbasis data dan bukan sekedar keinginan.
Jakarta, 01 Juni 2020
CP.
Muhamad Isnur
Era Purnama Sari