Jakarta, Suarakristen.com
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menggelar Diskusi Politik dengan tema “Kristen, Budaya dan Partisipasi Politik di Indonesia”, dan Sub Thema: “Tanggung Jawab, Partisipasi dan Kiprah Politik Kristen Protestan dalam Pembangunan Nasional Menuju Indonesia Emas.” Diskusi diadakan di Graha Oikumene, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat (5/8/19).
Tampil sebagai Pembicara Utama (Keynote Speaker) dalam Diskusi Politik tersebut adalah Dr. Jakob Tobing. Narasumber-narasumber lainnya adalah Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) yang membahas topik “Perspektif Partai Politik Menghadapi Delegitimasi Pancasila” Pdt. DR. Albertus Patty dengan topik “Perspektif Teologi Politik; Posisi dan Peran Gereja”Veronica Saraswati, Ph.D. dengan topik “Update Peta Politik Indonesia, Bagaimana Harusnya Gereja Berperan?” dan
DR. Daniel Yusmic P. FoEkh, SH. dengan topik “Partisipasi Kristen dalam Politik: Refleksi Fusi Parpol Kristen di PDI-P.”
Dalam kata sambutannya, wakil Panitia Diskusi PGI ini, Manahara Sitinjak, S.H., menyatakan,”Peran dan partisipasi Kristen Protestan dalam pembangunan bangsa (termasuk di dalamnya pembangunan politik) sudah menjadi ingatan dan bagian dari sejarah kebangsaan Indoensia. Peran kekristenan dalam bidang politik pada waktu itu didesain dengan berbasis pada visi teologi yang kuat. Allah khalik langit dan bumi, adalah Allah yang bertahta di atas semesta ciptaan-Nya termasuk dalam bidang politik.
Cukup lama gereja mengalami kebimbangan dalam merumuskan posisi dan perannya dalam bidang politik. Pandangan bahwa politik adalah dunia yang penuh dosa dan kotor itu, telah menyebabkan banyak gereja tidak memberi perhatian yang serius untuk menanggapi persoalan politik secara serius dan termasuk bagaimana gereja berperan dalam membina dan mendistribusi kader politik secara bertanggung jawab.”
Ungkap Manahara Sitinjak lebih lanjut,”Warga gereja yang bergumul dalam dunia politik, bisa dikatakan terlepas dari jangkauan pembinaan gereja-gereja secara maksimal. Sehingga mereka ibarat dilepas dan dibiarkan bertarung secara sendiri-sendiri dan cenderung ditinggalkan oleh gereja.
Pada perkembangan dasawarsa pasca reformasi, sepertinya angin perubahan dalam cara pandang juga mulai berubah. Politik sudah tidak dianggap lagi sebagai dunia yang sesat, namun politik dilihat sebagai ruang pelayanan gereja dimana gereja mesti bertanggung jawab di dalamnya. Meskipun demikian, disadari sungguh bahwa masih banyak gereja yang masih “alergi” membicarakan politik.”
Ujarnya lagi,”Politik Kristen dalam sebuah definisi yang dikembangkan oleh Pendeta Andreas Yewangoe, saat menjabat sebagai ketua umum PGI waktu lalu adalah kemampuan hidup bersama di dalam polis. Artinya bagaimana gereja-gereja di Indonesia mampu mengelola keanekaragaman cara pandang dan latarbelakangan entitas kebudayaan itu secara baik dalam konteks pluralitas Indonesia.
Peta politik Indonesia yang berubah begitu cepat di era pasca reformasi, mendorong gereja-gereja untuk terus merumuskan posisi dan perannya dalam pembangunan bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini.”
“Trend pendulum demokrasi yang kian bergerak ke kanan, jika dihitung sejak pilkada DKI Jakarta telah memotret perubahan peta politik yang terus berubah begitu cepat menuju format budaya politik identitas yang semakin mengental. Pemilihan Presiden dan Legislatif yang baru lalu, juga semakin menggambarkan sebuah era baru menuju semacam budaya politik yang nyaris diterima publik sebagai sebuah realitas yang taken for granted.
Karena itu, penting untuk mempertanyakan kembali posisi dan peran gereja-gerjea di Indonesia dengan mengacu pada sejarah peran politik Kristen Protestan dan bagaimana peran itu makin diberi ruang reflektif dalam budaya politik Indoensai masa kini.
Diskusi ini menjadi penting untuk mendapatkan masukan bagi gereja-gereja dan lembaga keumatan dalam memposisikan diri dan perannya dalam kontestasi di ruang publik politik Indonesia secara bertanggung jawab,”pungkas Manahara Sitinjak
Dalam paparannya, Dr. Jakob Tobing, Senior GMKI, politisi dan sesepuh PDIP menyatakan, “Pada tahun 2045, seratus tahun setelah kemerdekaan, Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-empat dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Negara dengan penduduk terbesar ke-empat dunia ini, bila mampu memelihara pertumbuhan rata-rata seperti sekarang dan mampu mengatasi tantangan, tidak hanya akan besar dalam ekonomi, tetapi juga berkeadilan dengan kesejahteraan sosial yang jauh lebih baik bagi rakyat. Dan tentu saja kita berkeinginan bangsa Indonesia yang sangat majemuk itu tetap bersatu teguh, bhinneka tunggal ika dalam negara kesatuan yang utuh-kokoh.
Namun, kita semua menyadari bahwa Indonesia emas itu tidak akan datang dengan sendirinya. Untuk mewujudkannya, kita harus kokoh berpegang dan setia pada cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, memiliki kekuatan sosial-politik yang handal dan semangat juang yang tinggi, mengenal terrain yang akan kita arungi, dapat menciptakan dan memanfaatkan peluang serta mampu mengatasi segala tantangan dan kendala yang menghadang.”
Menurut Jakob Tobing,”Pemilu 2019 mengharuskan kita introspeksi diri.
Pemilu 17 April 2019 menghadirkan kehadapan kita potret diri yang lengkap; sisi yang menggembirakan dan memberi harapan dan sisi masalah dan tantangan serius yang sedang kita hadapi.
Pemilu 2019 adalah pemilu ke-4 semenjak reformasi dan demokratisasi UUD 1945 dituntaskan pada tahun 2002. Salah satu prinsip sebuah negara demokrasi, yaitu pemilu yang bebas dan berkala, telah berlangsung dengan selamat. Demikianlah guliran kekuasaan limatahunan telah berputar kembali untuk ke-empat kalinya. Bersama-sama dengan prinsip kedaulatan ditangan rakyat, supremasi konstitusi, checks and balances, kekuasaan kehakiman yang merdeka, penghargaan atas hak-hak asasi manusia, pelaksanaan pemilu yang bebas dan berkala telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke-tiga dunia, setelah India dan Amerika Serikat.
Tetapi, pemilu 2019 juga sangat mengejutkan dan menegangkan. Diawali dengan pertarungan pilkada Gubernur DKI 2017, sentimen agama dan etnik telah menjadi faktor penting dalam pertarungan memenangkan suara. Pemilu bukan lagi ajang kontestasi politik dan strategi pembangunan tetapi telah menjadi pertarungan politik-ideologi yang keras, dengan polarisasi agama dan etnik yang tajam. Pemilu 2019 mempertontonkan penetrasi ideologi radikal yang sudah sangat jauh masuk kedalam tubuh bangsa. Seiring dengan itu, pemilu telah dipenuhi kebohongan dan pemutar-balikan fakta (hoaxes and post truth politics) yang masif dan sistematis (firehose of falsehood) dan ujaran kebencian (hate speech).”
Tegas Jakob Tobing, yang saat ini menjadi Presiden Institut Leimena,”Secara terbuka dan berani, penganut paham khilafah menunjukkan kehadiran dan mendorongkan tujuan-tujuan politik mereka. Berkaca pada pilkada DKI 2017, dimana politik sentimen sara (suku-agama-ras dan asal-usul) terbukti dapat menjungkir-balikkan peta politik lapangan, pola yang sama kembali di ulangi.
Berpuncak pada pemilu 2019, selama dua dekade belakangan ini, gerakan kaum Wahabbi yang ingin mendirikan negara Islam sangat meningkat. Jauh lebih menonjol dibanding gerakan ideologi-politik lain, seperti gerakan kaum komunis, gerakan yang ingin menjadikan lndonesia negara sekuler dan serba-boleh, gerakan ingin memisahkan diri atau ingin mengubah NKRI menjadi negara serikat, meski semuanya tetap harus diwaspadai.
Pertumbuhan Indonesia tergolong pesat (5,17%). Sekarang laju pertumbuhan Indonesia adalah yang tertinggi ke-4 dunia setelah India (7,1%), China (6,5%), dan Turki (5,2%); lebih tinggi dari Amerika Serikat (3%) dan Australia (2,8%).4 PwC memproyeksikan Indonesia, yang sekarang berada pada peringkat ekonomi dunia ke-8, pada tahun 2050 akan naik peringkat ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.5(Standard Chartered Plc memproyeksikan Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi negara ekonomi terbesar dunia ke-4 setelah China, India dan Amerika Serikatf)
Prosentase penduduk miskin lndonesia (USD 1,90/hari) menurun terus dari 39,99% (1999), 23,40% (2002), 13,58 %(2011) menjadi 6,80% (2016). Namun, pertumbuhan ekonomi itu juga memicu melebarnya ketimpangan antar penduduk dan daerah. Data Bank Dunia mengungkapkan Indeks Gini lndonesia meningkat dari 30,0 pada dekade 1990-an menjadi 39,0 pada 2017. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan di Indonesia mulai meningkat pada awal 1990-an. Secara sosial-politik, ketimpangan itu mempunyai dampak demonstratif sosial-politis lebih tinggi dibanding dampak kemiskinan absolut.
Indonesia juga mengalami urbanisasi. Prosentase penduduk perkotaan naik dari 49,80% (2010), ke 53.30% (2015) dan diproyeksikan mencapai 60% pada 2025.”
Sementara itu, Pdt Dr. Albertus Patty mengemukakan,”Nilai Kristen mengajarkan kita untuk bersikap waspada dan selalu mempersiapkan diri terhadap masa depan. Harus antisipasi terhadap masa depan! Yesus mengingatkan pengikutNya untuk senantiasa memperhatikan tanda-tanda jaman dan selalu mempersiapkan diri saat hari Tuhan tiba. Pesannya jelas yaitu bahwa masa depan itu unpredictable. Jadi, kita harus selalu mempersiapkan diri: secara personal tetapi juga secara sosial, secara kultural dan juga struktural! Antisipasi terhadap masa depan inilah yang membuat kita harus selalu bertanya bagaimana kondisi kita saat ini, apakah kita mampu menguasai tantangan yang kita hadapi pada saat ini, bagaimana kita mempersiapkan diri agar sanggup menghadapi tantangan yang akan muncul di masa depan. Dalam konteks inilah kita harus memahami masa depan sosial-politik apa yang kita cita-citakan. Singkatnya: apa visi sosial-politik kita? Tantangan sosial-politik apa saja yang akan menghambat visi sosial-politik itu. Trends sosial-politik apa saja yang sedang terjadi pada masa sekarang. Apa potensi yang kita miliki untuk mencapai masa depan yang kita harapkan. Langkah-langkah strategik dan visioner apa yang kita harus kita kerjakan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas itu penting. Robert Wuthnow dalam Christianity In The 21st Century, mengingatkan pentingnya peran gereja di tengah masyarakat dan pemerintahan. Gereja seharusnya berfungsi sebagai kekuatan kultural yang memberikan pengaruh besar terhadap pemerintah terutama dalam kebijakan ekonomi yang berkeadilan dan dalam upaya pemberantasan korupsi. Gereja juga terpanggil untuk memberikan pengaruh dalam membentuk dan menjaga sistem dan ideologi negara yang menjamin keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga masyarakat.”
Menurut Albertus Patty,”Dalam konteks Indonesia, semenjak Pilkada 2017 dan diikuti oleh Pemilu 2019 terlihat realitas nyata terpolarisasinya masyarakat bukan saja karena semakin menguatnya dan mengakarnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam dalam masyarakat, tetapi juga karena terutama dipicu oleh politisasi agama yang dilakukan para elite dan partai politik. Politisasi agama ini sungguh menyakitkan karena ia bukan saja telah memanipulasi agama dan menjadikan agama sekedar sebagai instrumen politik kekuasaan, tetapi juga ia telah memunculkan keraguan besar tentang komitmen para elite politik dan partai politik kita terhadap sistem demokrasi dan konstitusi bangsa kita. Tugas utama elite politik dan partai politik dalam sistem demokrasi adalah menjaga agar sistem demokrasi itu tetap eksis. Kenyataannya ada kecenderungan dimana demokrasi hanya dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan meski taruhannya adalah runtuhnya demokrasi dari dalam. Pilkada DKI jakarta 2017 dan Pemilu 2019 memperlihatkan betapa sistem demokrasi kita masih rapuh. Bukan saja ia rentan untuk diubah tetapi juga rentan untuk disalahgunakan. Mungkin saya salah, tetapi makin terlihat betapa pada Pemilu lalu betapa masyarakat kita sangat bersandar pada kekuatan dan komitmen personal seorang Jokowi, daripada bersandar pada sistem yang kokoh. Penggunaan politisasi agama pada saat maraknya kekuatan fundamentalisme dan radikalisme agama di Indonesia menimbulkan tanya seberapa besar kekuatan fundamentalisme-radikalisme agama ini di masa depan, misalnya di Pemilu 2024? Apakah gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam yang semakin menguat dan mengakar ini akan berhasil memecah-belah bangsa kita dari dalam? Apakah suatu saat mereka akan menjadi kekuatan utama percaturan sosial-politik yang mengubah sistem politik dan ideologi bangsa kita? Lalu, seberapa besar komitmen partai-partai yang melabel dirinya sebagai nasionalis terhadap sistem demokrasi, ideologi Pancasila dan Konstitusi bangsa? Bagaimana kekuatan dan respon kaum moderat Islam dan agama- agama lain dalam mengantisipasi perkembangan gerakan fundamentalisme-radikalisme ini? Apakah demokrasi dan Konstitusi bangsa kita akan runtuh oleh kekuatan besar fundamentalisme-radikalisme Islam? Bagaimana pemerintah mengantisipasi kekuatan dan penetrasi mereka yang sudah merasuk ke semua segmen masyarakat? Tentu saja pertanyaan paling akhir adalah bagaimana respon strategik gereja terhadap pragmatisme elite politik dan penetrasi fundamentalisme dan radikalisme Islam dalam bidang sosial politik? Apakah kita sudah memiliki cukup kekuatan untuk memberi pengaruh yang signifikan bagi percaturan politik bangsa kita?
Tegas Albertus Patty,”Tugas dan panggilan utama gereja/umat Kristen Protestan, semua umat beragama di Indonesia saat ini adalah memberikan pengaruh yang positif kepada pemerintah dan masyarakat agar keutuhan bangsa yang majemuk ini tetap terjaga dan sekaligus agar keadilan, kesetaraan dan kebebasan bisa dialami oleh setiap warga bangsa ini. Tugas dan panggilan mulia ini bisa dilakukan dengan cara mewariskan kepada generasi muda bangsa ini tentang adanya sejarah bersama (collective history) yaitu perjuangan bersama dalam upaya memerdekakan bangsa ini dari penjajahan Belanda dan Jepang. Sejarah bersama inilah yang membentuk komitmen bersama untuk membangun bangsa berdasarkan sistem demokrasi, UUD 1945, dan ideologi Pancasila. Sejarah bersama itu telah menjadi bagian dari identitas bangsa kita. Oleh karena itu bila hendak menghancurkan sebuah bangsa, sejarah bersama itu harus dihapus dari memori bangsa. Nah, upaya kultural strategik yang dilakukan kaum fundamentalis-radikalis Islam adalah membuat anak bangsa ini lupa pada sejarah bersamanya yaitu collective memory, lalu menggantinya dengan sejarah primordial asing, yang berbeda dan bertentangan dari collective memory bangsa ini.
Belajar dari Pendiri Bangsa
Salah satu collective memory yang harus kita sebagai gereja pelajari adalah peristiwa perdebatan sila pertama Pancasila di awal kemerdekaan. Kita semua tahu bahwa Indonesia yang baru berumur sehari terancam bubar lantaran sila pertama dalam Piagam Jakarta. Hatta meminta agar ‘tujuh kata’ dihilangkan demi mengakomodasi masyarakat non-muslim. Ketujuh kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ini sangat sensitif dan dianggap menusuk hati orang-orang Indonesia non-muslim. ‘Kalimat ini bisa menimbulkan kekacauan,’ ujar Johannes Lautuharhary.
Dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), Hatta mendukung keberatan itu. Baginya, kalimat itu memiliki potensi mendiskriminasi. Apa yang hendak saya sampaikan di sini adalah bisakah kita membayangkan sistem dan budaya sosial-politik macam apa yang diwariskan para pendiri bangsa kita bila saat itu para sesepuh Kristen gagal berpikir kritis, cerdas dan bersikap tegas. Nilai kristiani yang menekankan tentang ambiguitas manusia sebagai imago dei sekaligus sebagai manusia berdosa menegaskan bahwa dalam dunia apa pun, terutama dalam panggung sosial politik kesediaan untuk bekerjasama secara tulus harus selalu juga dibarengi dengan kesiapsediaan untuk berani ‘bertarung.’ Sebagai Imago Dei, manusia memiliki potensi untuk menggunakan kekuasaannya untuk menghadirkan keadilan dan damai sejahtera bagi semua, tetapi sebagai manusia berdosa setiap orang, termasuk kita, mempunyai potensi untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas dan mendiskriminasi sesama. Atas dasar inilah, saya yakin para pendiri bangsa kita memahami betapa tujuh kata itu akan menciptakan sistem politik yang diskriminatif karena ia memberikan status istimewa bagi warga negara yang beragama Islam, dan sebaliknya memberikan status a second citizen kepada umat lain. Oleh karena itu, keberanian, ketegasan yang dibarengi kecerdasan berpikir para pendiri bangsa untuk menolak Piagam Jakarta adalah sebuah upaya menjauhkan bangsa ini dari jerat dan dosa rasialisme. Bangsa ini harus merdeka sebagai bangsa yang beradab dimana setiap warga negara dihormati hak dan tanggungjawabnya. Kita terhindar menjadi bangsa rasialis seperti Amerika Serikat atau Afrika Selatan tempo dulu. Bangsa kita terhindar dari potensi terpecah-belah seperti India dan Pakistan atau seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Papar Albertus lebih lanjut,”Saya yakin, ketegasan dan keberanian sikap para pendiri bangsa itu bukan dilatarbelakangi kepentingan primordial. Mereka adalah manusia paska primordialisme suku dan agama. Mereka adalah makhluk nasionalis yang berakar pada keyakinan pada nilai kristiani. Sehubungan dengan itu saya percaya para pendiri bangsa ini diinspirasikan oleh paling sedikit dua hal. Pertama, mereka menyadari bahwa diskriminasi tidak sejalan dengan spirit demokrasi yang mengagungkan kesetaraan. Kedua, ini yang paling penting, karena diskriminasi dan rasialisme bertentangan dengan nilai Kristiani bahwa manusia adalah Imago Dei. Para sesepuh Kristen ini sadar bahwa suatu bangsa, apalagi yang berciri demokrasi, harus didirikan atas dasar trust, saling percaya. Harus ada jaminan bahwa tidak seorang pun dan tidak ada kelompok manapun yang akan didiskriminasi dan didominasi. Kita tahu bahwa demokrasi akan mengalami krisis berkepanjangan disusul goyahnya legitimasi dan otoritas para aktor dan lembaga- lembaganya bila kehilangan trust, saling percaya. Kehadiran trust hanya terjadi bila orang mengalami bahwa kepentingannya pun diterima dan diakomodasi, kata Easton (A re-assessment of the concept of political support (1975). British Journal of Political Science, 5(4), 435–457).
Simpul Albertus Patty. Pertama, peran dan tanggungjawab gereja dalam dunia yang polaristik oleh berbagai kepentingan, baik fundamentalisme agama maupun oleh fundamentalisme pasar, adalah menjaga dan mengimplementasikan sistem demokrasi, ideologi Pancasila dan Konstitusi bangsa yang merupakan hasil sejarah bersama. Kedua, dalam dunia yang rapuh dan penuh dosa ini, peran dan tugas gereja bukan saja memperkuat kohesi sosial dengan membangun kerjasama lintas agama dan lintas etnik, tetapi juga siap bersikap berani, tegas dan cerdas dalam mengimplementasikan keadilan, kesetaraan dan perdamaian di tengah bangsa ini. Gereja harus berpikir dalam perspektif sebagai manusia baru yang dibahasakan oleh Wuthnow sebagai We-Generation. Kaum We-Generation cenderung memikirkan dan berjuang untuk keadilan dan kebaikan semua. Gereja, masih menurut Wuthnow harus membuang kecenderungan Me-Generation yang mementingkan diri sendiri dalam tembok-tembok primordialismenya, dan melawan virus Mine- Generation yang cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.”
Sekjen PDI-P, Ir. Hasto Kristiyanto, MM, selaku salah satu narasumber diskusi membahas soal persatuan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk wujudkan itu Partainya melakukan berbagai langkah strategis, antara lain dengan melakukan konsolidasi idiologi yang meliputi aspek politik, ekonomi dan kebudayaan.
“Konsolidasi idiologi sangat perlu dilakukan agar idiologi Pancasila sebagai dasar negara tetap terjaga dan menjadi pedoman bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa memandang perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika,” papar Hasto dihadapan peserta diskusi.
Lebih lanjut Hasto menyebutkan bahwa dalam kongres PDI-P mendatang, partainya akan tetap mengusung Pancasila sebagai dasar idiologi yang menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara ditengah keanekaragaman budaya, suku, dan agama di Indonesia.
Sementara itu, DR. Daniel Yusmic P. FoEkh, SH., menyatakan,”Partai politik menduduki posisi strategis dalam sistem politik Indonesia sejak perubahan UUD N RI Tahun 1945. Mengapa demikian? Karena dalam hal pengisian jabatan pada supratruktur politik diberikan kewenangan kepada partai politik. Hal Ini menunjukkan bahwa “politik personal” ala Amerika tidak dlkenal di Indonesia.
Anggota DPR-RI ataupun anggota DPRD (Provinsi dan Kabupaten/kota) perpanjangan tangan partai politik, bukan wakil rakyat.
Bagaimana rekonsiliasi pasca pemilu Presiden 2019 dikaitkan dengan pasal strategis partai politik? memberikan ruang bagi partai besar yang menguasai jumlah kursi yang banyak di DPR bermanuver untuk memberikan dukungan kepada Pemermtah 2019- 2024. Manuver parpol yang menguasai DPR sangat mempengaruhi dukungan parpol kepada Presiden Joko Widodo dan K H Ma’ruf Amin. Oleh karena tidak ada partai mayoritas di DPR, maka koalisi dalam rangka dukungan terhadap pemerintah menjadi bermakna. Hanya saja harus tetap memperhati kan etika terhadap parpol yang mendukung Presiden dan wakil Presiden terpilih
Realitas ke-indonesia-an yang menganut sistem Presidensial yang tidak senafas dengan sistem multipartai, selain berpotensi terjadi Instabilitas pemerintahan, namun di sisi yang lain sekalipun Golkar sebagai partai pemenang pemilu ketiga tetapi jumlah suara terbesar kedua di DDR akan tetap mendinamisir politik ke depan. Walaupun karakter partai Golkar adalah tidak siap berada di luar pemerintahan. Presiden terpilih tidak bisa berjalan efektif apabila tidak didukung koalisi mayoritas. Kondisi ini koalisi mayoritas.
Kondisi ini menjadi penting “budaya gotong royong” di kalangan petinggi parpol, sesuai dengan filsafat Pancasila serta untuk mewujudkan
tujuan negara sebagaimana dalam Pembukaan UUD N RI.
(Hotben)