_Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu_ (Matius 17: 20).
Memahami ayat ini amat sulit. Kesulitannya terletak pada kata iman. Yesus berkata demikian dalam konteks para murid yang tak bisa mengusir setan pada tubuh seorang anak yang sakit ayan. Para murid sudah berusaha untuk mengusirnya, tapi tak berhasil. Sedangkan Yesus hanya sekali gertakan, anak itu sembuh. Para murid penasaran dan bertanya mengapa mereka tak bisa melakukannya? Yesus mengatakan bahwa karena mereka kurang percaya, padahal yang dibutuhkan hanya iman sebesar biji sesawi saja, apapun tak ada yang mustahil bagi mereka untuk melakukannya. Rasanya sudah beberapa kali Yesus menegur para murid yang dianggap kurang beriman alias kurang percaya. Petrus yang gamang saat berjalan di atas air, menyebabkan dia hampir tenggelam. Yesus menyebutnya sebagai orang yang kurang percaya. Para murid yang ketakutan di tengah badai besar yang menerpa perahu mereka, Yesus pun mengatakan mereka sebagai orang yang kurang iman. Apabila berada pada posisi para murid, saya bisa mengatakan bahwa Yesus kurang peka dengan keadaan mereka. Tentu saja Yesus punya iman yang lebih besar, Dia tahu semua kuasa yang dimiliki oleh Allah, bahkan Dia pun memilikinya. Para murid? Mereka adalah manusia tak sempurna, yang kadang otak dan logika lebih besar daripada rasa percaya dan berserah. Atau sebaliknya rasa percaya yang kebablasan akhirnya tak menggunakan otak lagi untuk berpikir jernih tentang iman.
Namun persoalan tentang iman yang memindahkan gunung, menurut saya, terletak pada sudut pandang. Para murid terpaku pada hasil, mengapa mereka tidak bisa mengusir setan dalam diri orang yang sakit ayan. Mereka merasa sudah melakukan ‘copy-paste’ dari cara Yesus mengusir setan, tapi tetap mereka tidak bisa melakukannya. Sebagai murid yang selalu ikut dan menyaksikan Yesus melakukan pengusiran setan dan menyembuhkan yang sakit, mereka telah meniru cara atau langkah-langkah atau taktik ampuh untuk mengusir setan. Namun ternyata saat mereka memraktekkannya, mereka gagal. Mengapa? Sekali lagi kuncinya terletak pada iman. Saat Yesus mengatakan iman sebesar biji sesawi, Dia tidak fokus pada hasil, tetapi fokus pada proses. Para murid selama ini belajar hanya dari apa yang tampak secara fisik, yang Yesus kerjakan. Tetapi mereka tak pernah atau mungkin kurang belajar apa yang ada di dalam, yang tak tampak, diri Yesus, yaitu proses beriman. Misalnya saja, salah satu rutinitas yang Yesus lakukan setiap hari adalah berdoa, ‘mengasingkan diri’ setelah berjumpa dengan orang banyak. Dia lakukan teratur yaitu pagi-pagi benar atau setelah hari hampir gelap dan sebelum Dia beristirahat. Untuk apa? Untuk berjumpa dengan Sang Bapa. Perjumpaan dengan Sang Bapa memberikan enerji baru untuk memulai hari kerja-Nya, serta menambah kepercayaan diri bahwa Allah berkuasa dan bekerja dalam diri-Nya. Percakapan dengan Sang Bapa pun membuat-Nya berani memercayakan apa yang belum tergenapi sementara satu hari telah berlalu tanpa terjadi apa-apa. Dialog dengan Sang Bapa bahkan memberi kekuatan bagi Yesus saat gentar menghadapi kenyataan salib yang harus dipikul-Nya. Komunikasi dengan Sang Bapa membuat-Nya siap menanggung hukuman dari kesalahan yang tak pernah dilakukan-Nya bahkan mengampuni mereka yang bersalah.
Sekali lagi kuncinya terletak pada proses beriman, yaitu kehidupan doa yang rutin. Kedengarannya gampang sekali melakukan rutinitas doa. Tetapi sesungguhnya ini tidak mudah. Para murid sekalipun telah melakukannya bersama-sama Yesus selama tiga tahun, tetapi doa mereka tak menghasilkan iman seperti Yesus. Saat Yesus mengatakan iman sebesar biji sesawi, Dia sedang bicara tentang iman yang berproses melalui ketekunan, ketangguhan dan ketahanan mengikuti kehendak Tuhan daripada kehendak diri sendiri maupun godaan si iblis. Perhatikanlah biji sesawi. Besarnya tak lebih dari satu butir beras. Mungkin besarnya seperti biji buah kiwi. Namun, biji itu bisa menghasilkan pohon yang besar, bahkan ada yang bisa menjadi tempat para burung bersarang. Kuncinya terletak pada proses menjaga dan memelihara pertumbuhannya. Saya membaca beberapa sumber tentang bagaimana pohon sesawi itu tumbuh besar dan menghasilkan biji sesawi yang baik untuk makanan dan obat. Yang paling penting adalah terjaganya suhu tanah yang cukup dingin. Apabila terlalu suhu tanah terlalu hangat, maka hasil dari pohon sesawi menjadi buruk. Karena itu, petani pohon sesawi tahu persis tanaman ini membutuhkan 5,08 cm air di dalam tanah setiap minggunya. Bayangkan untuk pohon sesawi terpendek yang bisa dipanen membutuhkan waktu 3 bulan, dan petani harus mengisi tanah dengan air rutin setiap minggu selama tiga bulan. Ini bukan pekerjaan mudah, ketelatenan menjaga kuantitas air, ketekunan mengisi air tepat waktu, kesabaran untuk melakukannya sampai musim panen merupakan mentalitas tangguh yang harus dipunyai oleh para petani sesawi.
Saat Yesus mengatakan sekiranya para murid memiliki iman sebesar biji sesawi saja, mereka dapat memindahkan gunung. Dengan kata lain, Dia mengajar para murid untuk percaya bahwa mereka bisa melakukan apa yang mustahil sekalipun kelihatannya apabila mereka memiliki iman sebesar biji sesawi. Sekali lagi fokus Yesus bukan pada hasil, tetapi pada proses iman. Bagi Yesus yang penting bukan soal gunung itu beneran pindah atau bergeser, tetapi yang penting pada bagaimana para murid belajar beriman. Sedangkan para murid berkutat pada saat keajaiban mujizat bahwa gunung itu pasti pindah, tapi mengabaikan yang lebih penting dari soal gunung itu, yaitu iman. Rasanya sikap para murid adalah sikap kebanyakan orang Kristen. Fokusnya pada gunung yang pindah sebagai tanda mujizat terjadi. Karena itu tak heran mereka berlomba untuk mencari mujizat kemana-mana. Mujizat menjadi fokus bahkan jawaban dari segala masalah hidup. Tuhan dipandang sebagai tukang sulap yang hanya dengan berkata simsalabim maka keajaiban terjadi. Mujizat kedengarannya menjadi murahan walaupun prakteknya dilakukan di hotel-hotel berbintang.
Padahal apabila kita fokus pada iman seperti biji sesawi, maka hasil tidak lagi penting, walaupun kita menantikannya. Sebab melalui proses beriman, akhirnya kita sadar kita pun berproses menjadi dewasa, iman kita diperkuat. Apapun bisa kita lakukan karena iman percaya kita, kata Paulus bukan kanak-kanak lagi, yang akhirnya membawa kita pada kondisi apakah gunung itu akan pindah atau tidak bukan lagi penting bagi kita. Apakah mujizat terjadi seperti yang kita bayangkan atau hasilnya berbeda, itu sudah menjadi urusan Tuhan alias kehendak Tuhan, bukan kehendak kita.
Mari kita fokus pada iman seperti biji sesawi. Apabila kita membaca lebih lanjut ayat 21 dari Matius 17, ada catatan tambahan entah dari mana – apakah dari si penerjemah atau penyusun kitab ini, kita bisa melihatnya ayat ini diberi tanda kurung – “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” Bagi saya, ini catatan yang menarik. Mengusir setan dengan kualitas iman seperti biji sesawi adalah iman yang cukup hanya bertekun, tangguh, dan tahan melakukan doa dan puasa. Dengan kata lain, yang Yesus ajarkan dan inginkan adalah sesederhana ini saja: berdoa dan berpuasa. Tidak melakukan tindakan apapun, kecuali melakukan keduanya. Gampang? Kedengarannya. Padahal kalau dijalani tidak semudah itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, bahkan beberapa hari terakhir ini, tugas saya adalah berdoa dan berpuasa. Disiplin rohani ini tidak asing buat saya. Tetapi bukan berarti ketika menjalaninya sekarang ini, maka semuanya mudah saja saya lewati. Malahan saya mengalami keduanya amat berat untuk dijalani, khususnya untuk tetap tekun, sabar, dan tahan uji ketika menjalaninya. Gangguan terbesar adalah kecenderungan saya untuk menginterupsi cara kerja Tuhan yang kelihatannya amat lambat bagi saya yang ingin semuanya segera selesai. Disuruh berdoa dan berpuasa saja agar semua bukti itu terbuka, saya terus menerus berusaha untuk membuktikan apa yang saya anggap benar. Akhirnya semua usaha saya gagal. Diminta cukup berdoa dan berpuasa untuk memercayai semua kebenaran saja, tak jarang saya meragukan yang saya dengar dan rasakan adalah kebenaran Tuhan. Diajak berdoa pada jam-jam khusus secara rutin saja kadang saya merasa agak berat melakukan karena jam-jam itu adalah waktu saya sedang tidur terlelap. Diharapkan tekun dan sabar untuk berdoa dan berpuasa kadang membuat saya kehilangan semangat untuk melakukannya terutama ketika keadaan yang saya hadapi lebih buruk daripada sebelumnya.
Sekali lagi saya kembali pada catatan kitab ini, “setan jenis ini hanya dapat diusir dengan berdoa dan berpuasa” dan ada hubungannya dengan iman seperti biji sesawi. Apabila kita membaca keduanya sebagai satu kesatuan kisah, maka yang Yesus ingin ajarkan, menurut catatan Matius ini, adalah ketekunan, ketangguhan seseorang untuk terus berdoa dan berpuasa akan mampu mengalahkan setan atau kuasa si jahat. Mengapa? Karena sesungguhnya si jahat sering mengganggu orang-orang yang sedang bertekun untuk berdoa dan berpuasa. Serangan si jahat terletak pada serangan pada perasaan orang yang berdoa dan berpuasa. Perasaan untuk tetap memercayai sepenuhnya pada karya Tuhan; perasaan untuk percaya penuh pada kuasa Tuhan; perasaan untuk tidak menginterupsi cara kerja Tuhan; perasaan untuk bersabar; perasaan untuk melawan rasa malas; perasaan untuk tetap tangguh berdoa dan berpuasa walaupun kelihatannya semua sia-sia; perasaan untuk tetap berjuang sebab kadang rasanya tak habis-habisnya masalah datang bertubi sekalipun kita telah berdoa dan berpuasa. Inilah serangan yang paling berat yang dilakukan oleh “setan jenis ini” kepada orang-orang yang diminta memiliki iman seperti biji sesawi. Sebab sungut si “setan jenis ini” ditembakkan tepat pada perasaan dari orang yang ingin bertekun, tangguh, dan tahan untuk melakukan yang sederhana, rutin, dan biasa, yaitu berdoa dan berpuasa.
Biarlah kita terus belajar memiliki iman seperti biji sesawi. Iman yang cukup berdoa dan berpuasa namun tangguh dan tekun melakukannya. Sampai kapan? Tak ada yang tahu, kecuali Tuhan yang memiliki waktu dan masa yang berbeda dengan waktu kita. kadang yang diperlukan adalah keberanian untuk diam, berdoa dan berpuasa terus menerus; ketelatenan untuk berani mengenali ajakan “setan jenis ini” yang berusaha menghentikan rutinitas untuk berdoa dan berpuasa; ketangguhan untuk percaya bahwa doa dan puasa akan membawa kita pada satu titik tidak ada yang mustahil kalau gunung itu akan berpindah nantinya.