Oleh: Weinata Sairin
“Anybody can sympathise with the sufferings of a friend but it requires a very fine nature to sympathise with a friend’s success” (Oscar Wilde).
Dalam membangun relasi yang hangat dan kontinyu antar manusia memang dibutuhkan banyak hal. Kita lakukan komunikasi melalui berbagai perangkat teknologi komunikasi yang ada mulai dari yang konvensional hingga yang modern. Kita juga bisa saling berkunjung ke rumah masing-masing, bertemu dan bersilaturahim ditempat yang kita pilih bersama keluarga. Kita bisa melakukan acara rekreasi bersama dan berbagai bentuk pertemuan lainnya yang memungkinkan terjadi penguatan tali silaturahim antar kita dengan teman dan atau komunitas. Sikap peduli, care, adalah juga sebuah sikap yang patut dikembangkan dalam upaya membina relasi. Orang bijak berkata sahabat yang baik itu akan terlihat dan terwujud secara nyata tatkala ia menunjukkan sikapnya yang peduli saat kita sakit, kita mengalami dukacita, kita tertimpa musibah, saat-saat kita “jatuh” dalam karier dan jabatan kita. Tatkala seorang sahabat membiarkan dan atau acuh tak acuh tatkala kita dirundung duka, dililit derita, didera ‘nasib buruk’ bahkan memutuskan hubungan dengan kita, maka orang itu bukanlah sahabat sejati.
Konon orang membedakan kata “kawan” dengan “sahabat”. Kawan difahami sebagai seseorang yang mendampingi kita secara temporer, sewaktu-waktu. Ia tidak menangkap dengan dalam apa yang menjadi persoalan/pergumulan kita. Ia, kawan itu, _ignore_ , abai saja terhadap kesulitan dan derita kita. Kata “kawan” biasa digunakan dalam kalimat berikut :
“Ia adalah kawan seperjalanan menuju Depok”.
“Ia adalah kawan sepermainan waktu SD dulu”
Dari contoh kalimat diatas tadi dimensi temporer, aspek kesementaraan dari “kawan” itu nampak jelas. Sesudah seseorang tiba di Depok, belum tiba di Depok Lama, dan baru pada posisi “Margonda City” maka perkawanan itu selesai sudah. Ya itulah makna kata “kawan seperjalanan”. Hal yang sama juga terjadi pada kata “kawan sepermainan”; perkawanan dan pertemanan itu _selesai_ sesudah seseorang tamat SD.
Aspek kesementaraan dan temporer pada kata “kawan” amat jelas. Berbeda dengan kata “sahabat” yang jauh lebih dalam maknanya daripada kata “kawan”. Seorang sahabat ingin tahu apa yang menjadi pergumulan kita, ia memberi saran, masukan, nasihat bagi kita yang tengah diterpa badai penderitaan yang amat kencang. Sahabat amat peduli, ia simpati bahkan empati kepada kita.
Dalam konteks konotasi kata “sahabat” yang lebih dalam dan bermakna luas, maka komunitas relasi antar bangsa biasa menggunakan istilah “sahabat” bukan “kawan” . Misalnya hal itu nampak pada nama “lembaga persahabatan X-Y” atau “lembaga persahabatan I -R”.
Dari pengalaman empirik, dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia persahabatan itu sama sekali tidak mempertimbangkan unsur-unsur suku, agama, ras dan antar golongan (sara). Persahabatan tidak mensyaratkan kesamaan aliran keagamaan/denominasi, fraksi, keanggotaan parpol, strata sosial, ideologi, dan sebagainya. Para tokoh bangsa telah memberikan teladan yang amat positif bahwa mereka dalam mengembangkan relasi, tidak memperhitungkan keberbedaan yang ada. Perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara pada zaman itu memang amat membutuhkan kebersaman yang solid.
Masyarakat Indonesia masa depan sangat membutuhkan kebersamaan yang solid. Dasar negara Pancasila, UUD NRI 1945, adalah elemen-elemen yang sangat fundamental yang menjadi titik pengikat bagi kebersatuan bangsa Indonesia. Hal yang harus diperjuangkan terus tanpa jemu dan lelah adalah bagaimana Pancasila dan UUD NRI 1945 menjadi roh dan nafas dari sosok manusia Indonesia, dan mengimplementasikan dokumen kenegaraan itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oscar Wilde mengingatkan kita tentang adanya perbedaan dalam hal memberi simpati antara kepada seseorang yang sedang menderita dibandingkan dengan kepada orang yang sukses. Mestinya simpati dan perhatian itu harus tetap terwujud walau bentuknya bisa berbeda. Kita memberikan ucapan selamat kepada orang yang sukses dan bisa juga mengajaknya untuk bersyukur kepada Tuhan. Kita menyampaikan ungkapan solidarolitas/empati bagi rekan yang menderita dan menjenguknya dirumah/rumah sakit jika ia bisa dijenguk. Kita bisa menyatakan dalam tindakan kita bahwa ungkapan Oscar Wilde dalam kasus ini naif, lebay dan mengada-ada.
Selamat berjuang. God bless.