Oleh: Merphin Panjaitan.
I.Pendahuluan.
Injil Yesus Kristus muncul di tengah bangsa Yahudi, dan pekabarannya pertama di tujukan kepada masyarakat Yahudi; dan ditempat orang menyambut Injil Yesus Kristus, disana terbentuk jemaat-jemaat kecil. Pada awalnya tampak seperti suatu sekte dalam agama Yahudi, karena orang Kristen awal ini masih mengunjungi Bait Allah di Yerusalem. Tetapi terlihat juga perbedaannya dengan Yahudi, karena mereka percaya dan mengajarkan bahwa Yesus dari Nazaret adalah Mesias yang dijanjikan itu. Taurat, Bait Allah dan sinagoge lambat laun menjadi kurang penting bagi orang Kristen. Pemisahan ini semakin jelas terlihat setelah pembunuhan Stefanus. Orang Kristen dianiaya oleh Sanhedrin, dan mereka lari ke berbagai tempat lain; dan dengan jalan ini Injil mulai dikabarkan di luar negeri, pada awalnya kepada orang Yahudi saja, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain. Pertama di Anthiokia, dan di sanalah pengikut Yesus Kristus mulai disebut “orang Kristen”. Dari Anthiokia, Paulus dan Barnabas diutus ke berbagai tempat lain, dan Injil Yesus Kristus tidak terkurung lagi dalam batas-batas adat dan agama Yahudi. Pada masa setelah rasul-rasul, sekitar 70 sampai 140 M, Injil dengan cepat menyebar luas. Segera muncul jemaat-jemaat Kristen di tanah Siria, Asia Kecil, Yunani, Mesir, Mesopotamia, Italia dan di berbagai tempat yang lebih jauh. Dalam perjalanan sejarahnya, Gereja sampai pada ketetapan bahwa pernyataan Tuhan telah diakhiri Perjanjian baru. Gereja tunduk kepada kuasa yang lebih tinggi dan lebih tua daripada kuasanya sendiri, yakni kuasa Firman Tuhan yang terdapat dalam Alkitab. Secara tradisi diakui Gereja tidak memiliki kuasa sendiri, dan dikemudian hari prinsip ini dipegang teguh oleh Gereja Protestan.
Sejak awal kehadirannya, Gereja mengalami banyak penghambatan dan penganiayaan. Penghambatan terhebat dalam sejarah Roma dilakukan oleh kaisar Diocletianus dan penggantinya Galerius, dari tahun 303 hingga 311 M. Untuk mewujudkan persatuan agama dan politik, kedua kaisar ini berlaku sangat kejam kepada masyarakat Kristen. Perwira dan pegawai Kristen dipecat, semua penduduk Kristen kehilangan haknya, dan budak Kristen tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali. Banyak gedung Gereja dirusak, harta milik jemaat disita, buku-buku Gereja dan Alkitab dibakar. Banyak orang Kristen ditangkap, disiksa dan dibunuh. Namun demikian Gereja tetap hidup dan tidak binasa. Dan akhirnya, sewaktu menghadapi ajalnya, Galerius memberi perintah menghentikan penganiayaan dan penghambatan yang terbukti gagal itu. Pada abad-abad pertama, pekabaran Injil belum diusahakan oleh Gereja secara terorganisir dan tetap. Baru pada awal Abad Pertengahan, sekitar tahun 500 M, Gereja barat mulai menyadari panggilannya untuk mengabarkan Injil kepada segala bangsa. Pangkalan pengutusan Pengijil di Eropa terdapat Irlandia; dari sini banyak rahib terpanggil membawa Injil ke banyak negeri di Eropa, seperti Inggris, Skotlandia, Jerman Barat dan bahkan lebih jauh lagi. Melalui paparan ini akan digambarkan bagaimana Injil Yesus Kristus menyebar dari Yerusalem ke Eropa. Penyebaran ini menghadapi banyak hambatan dan membutuhkan waktu ber abad-abad. Penyebaran Injil berlangsung didukung oleh banyak orang Kristen yang setia kepada Tuhan Yesus Kristus, dan menjalankan tugas panggilannya. Injil Yesus Kristus mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Kristen, seperti tumbuhnya persaudaraan Kristiani di dalam jemaat-jemaat, termasuk di antara tuan dan budak. Pada perjalanan sejarah dunia, Injil Yesus Kristus mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan peradaban Barat, terutama pasca Reformasi Protestan. Dan peradaban Barat menyebarluaskan kemajuan ini ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
II. Pekabaran Injil di Indonesia.
Tahun 1511: Portugis merebut Malaka, dan menjadikannya pusat kegiatan mereka di Nusantara. Tahun 1522 Portugis mendirikan benteng di Ternate, dan dijadikan pusat kegiatan mereka di Maluku; tahun 1546-1547 Fransiskus Xaverius bekerja di Maluku; tahun 1561 NTT menjadi daerah misi Ordo Dominikan. Tahun 1605 Benteng Portugis di Ambon diserahkan kepada VOC, dan warga Katolik dijadikan Protestan. Disini berlaku hukum “Siapa menguasai negara, dia menentukan agama”. Tahun 1666 VOC membangun benteng di Menado, warga Katolik menjadi Protestan; tahun 1675 seorang pendeta ditempatkan di Menado. Tahun 1677 Belanda merebut pulau-pulau Sangir dan Siau, warga Kristen dijadikan Protestan. Tahun 1799 VOC dibubarkan; tahun 1807 kebebasan beragama mulai berlaku di Hindia Belanda.
Pekabaran Injil adalah jawaban Gereja dan orang percaya terhadap panggilan Tuhan, untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus kepada semua bangsa, demi Kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Para Pekabar Injil mendapat kuasa, dan Pekabaran Injil berlangsung sepanjang masa dan di segala tempat. Tahun 1820 NZG mengutus rombongan zendeling berjumlah 5 orang. Tahun 1823 Joseph Kam mengunjungi Maluku Selatan. Tahun 1831 Zending menetap di Minahasa, dan tahun 1836 Zending menetap di Kalimantan. Tahun 1843 sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya. Tahun 1845: Mojowarno didirikan. Tahun 1861 babtisan pertama di Tapanuli Selatan. Tahun 1862 Nommensen tiba di Sumatera. Tahun 1865 RMG mulai bekerja di Nias. Tahun 1866 UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. Tahun 1878 Seminari Depok dibuka. Tahun 1890 NZG mulai bekerja di Tanah Karo. Tahun 1901 RMG mulai bekerja di Mentawai. Tahun 1927 Huria Christen Batak, yang kemudian berubah menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI) berdiri. Tahun 1928 Sumpah Pemuda. Tahun 1931 GKJ dan GKJW mandiri. Oktober 1933 KGPM berdiri. Tahun 1934 GMIM, GKP, dan GKI Jatim mandiri. Tahun 1935 GPM dan GKE mandiri. Juli 1940 HKBP mengadakan “Sinode Kemerdekaan” dan memilih Pendeta K.Sirait menjadi Ephorus yang pertama dari suku Batak. 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tahun 1947, GMIT, GKS, GMIST, GT, dan GKST mandiri, dan tahun 1948 pembentukan GPIB. Pada 1860 Kristen Protestan di Indonesia antara 100.000- 120.000 orang, kurang dari 1 % penduduk Indonesia. Masyarakat Kristen Protestan pribumi di Indonesia telah hadir di Maluku, Minahasa, Sangir Talaud, dan NTT. Belum ada masyarakat Kristen pribumi di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Jumlah warga Kristen pribumi di masing-masing wilayah tersebut hanya ratusan orang. Tahun 1938 Kristen Protestan di Indonesia: 1.665.771 orang, sekitar 2,5 % penduduk Indonesia, terdiri dari: GPI: 700.000 orang; HKBP: 415.000; Nias: 125.000; Sangir Talaud: 120.000. Pulau Jawa: 98.000, termasuk GPI: 27.000. Kristen telah menyebar ke seluruh Nusantara. Lebih dari setengah warga Kristen Indonesia tinggal atau berasal dari daerah yang telah menjadi Kristen di masa VOC, dan sepertiga warga Kristen Indonesia adalah anggota gereja-gereja yang lahir dari RMG. Tahun 2010 Penduduk Indonesia: 237,5 juta; penduduk Pulau Jawa: 58% dari penduduk Indonesia; Kristen Protestan diperkirakan sekitar 10 % . Kristen Protestan di Indonesia tahun 1860 kurang dari 1 %, 1938 sekitar 2,5 %, dan 2010 sekitar 10 %. Kristen Protestan di Jawa juga berkembang dengan cepat; Kristen Protestan di Jawa pada 1900 kurang dari satu perseribu dan 1938 dua perseribu. A.Kruyt (di Mojowarno 1882-1916) menyatakan: Apabila waktu yang ditetapkan Tuhan telah tiba, maka orang banyak bahkan para pembesar pun akan datang kepada Tuhan, lalu pulau Jawa akan memasuki masa serba indah dan serba gemilang.
Di Tanah Jawa muncul beberapa orang Penginjil Jawa, antara lain Ibrahim Tunggul Wulung, Kiai Sadrach dan Paulus Tosari, yang menjalankan pekabaran Injil dengan menggunakan budaya Jawa; dan walaupun pengetahuan mereka tentang Kristen masih sedikit, tetapi mereka berhasil menghimpun banyak pengikut, bahkan lebih banyak dari hasil kerja Penginjil dari Eropa. Tunggul Wulung (1803-1885) berasal dari daerah Juwono dekat gunung Muria. Pada masa itu penduduk Jawa Tengah mengalami kesulitan ekonomi, dan Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen. Pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno, dan 2 tahun kemudian ia dibaptis oleh Jellesma. Setelah itu ia mengadakan perjalanan PI ke Pasuruan, Malang, Rembang, kawasan gunung Muria, dan kemudian juga Jawa Barat. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat Kristen baru. Pada waktu itu, pemerintah Hindia Belanda dan juga para zendeling menilai negatif pekerjaan Tunggul Wulung. Kekristenan Tunggul Wulung dianggap sinkretis dan berisi unsur-unsur Jawa; misalnya, mengobati orang sakit seperti cara dukun, dengan menggunakan Doa Bapa Kami seperti mantera. Pemerintah Hindia Belanda takut penyiaran agama Kristen oleh Tunggul Wulung akan menimbulkan gangguan keamanan; dan para pengikut Tunggul Wulung juga mengharapkan pembebasan dari kerja rodi. Tunggul Wulung memperlihatkan harga diri yang cukup besar, ia tidak mau berjongkok bila berhadapan dengan orang Eropa, apalagi kalau orang tersebut seorang utusan zending. Walaupun menghadapi berbagai hambatan, Tunggul Wulung terus berkeliling menjalankan PI, selama 20 tahun. Dan pada waktu ia meninggal dunia, pengikutnya dalam arti sempit saja ditaksir lebih dari seribu orang.
Gereja hadir di Indonesia bukan suatu kebetulan, tetapi sesuai dengan rencana Tuhan untuk kelimpahan berkat bagi Indonesia. Keberadaan Gereja di Indonesia sebagai alat Tuhan untuk menyatakan kasih-setia-Nya, yang menjamin kehidupan dan keselamatan manusia. Gereja dan orang percaya berjuang sebagai “Garam dan Terang dunia” di dalam masyarakat dan negara; melawan korupsi dengan kejujuran; menggantikan ketamakan dengan kecukupan; melawan hedonisme dan kemalasan dengan kerja keras dan kreatifitas; mengubah ketimpangan ekonomi menjadi pemerataan dan keadilan sosial; serta menghadapi kebencian dan permusuhan dengan kasih. Gereja dan orang percaya harus masuk ke masyarakat dan negara untuk mencegah pembusukan dan membawa pencerahan dalam semua bidang kehidupan; garam tidak berfungsi kalau diam saja di tempatnya. Kekacauan nilai dalam masyarakat, terutama tentang apa yang baik dan apa yang buruk, membuat bangsa ini berjalan dalam kegelapan; dan sebagai “Terang Dunia”, Gereja dan orang percaya harus masuk ke kegelapan tersebut dan meneranginya, walaupun sering ditolak. Gereja dan orang percaya, sebagai saksi Yesus Kristus menjadi nurani bangsa dan dunia; dan berjuang bersama berbagai kelompok masyarakat lain untuk kebaikan bersama. Di dalam dunia yang gelap ini, gereja mendidik dan mengarahkan nurani banyak orang untuk mengenal dan merindukan Tuhan. Gereja tidak berhak memaksakan kehendaknya, tetapi Gereja mendapat “kuasa” untuk mendidik masyarakat menjadi lebih cerdas dan berhikmat.
Masyarakat Kristen adalah warga negara Indonesia; yang lahir, hidup dan mati di Indonesia; yang nasibnya banyak ditentukan oleh kondisi masyarakat dan negara Indonesia; dan oleh karena itu harus ikutserta berjuang di semua bidang kehidupan: politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta agama dan kepercayaan. Masyarakat Kristen, walaupun sering teraniaya harus tetap hidup dan berjuang sebagai bagian integral bangsa Indonesia. Berjuang di semua bidang kehidupan: politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta agama dan kepercayaan.. Tuhan menempatkan Gereja di Indonesia dengan sengaja, untuk kemuliaan Tuhan dan damai sejahtera Indonesia.
III. Dari masyarakat gotongroyong menjadi negara-bangsa.
Gotongroyong adalah kerjasama sukarela dalam persaudaraan, setara, bantu membantu dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. Gotongroyong telah berlangsung di Indonesia sejak puluhan ribu tahun lalu, dimulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, sejak kelompok-kelompok manusia mulai berburu hewan besar. Mereka bekerjasama, mulai dengan mengatur siasat, mempersiapkan alat, kemudian bersama-sama memburu hewan, menangkap dan melumpuhkannya; membawa pulang ke pangkalan dan membagi hasil buruan kepada semua warga kelompok. Proses ini membutuhkan komunikasi yang baik, dan untuk itu dibutuhkan alat komunikasi, misalnya isyarat. Komunikasi juga dibutuhkan dalam pembuatan alat, dan dalam meneruskan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berburu hewan besar membutuhkan ingatan dan asosiasi, disertai dengan kemampuan bertindak cepat dan kerjasama. Perburuan hewan besar hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa; perempuan dan anak-anak serta orang tua tinggal di pangkalan dengan tugas mengumpulkan bahan makanan dari sekitarnya seperti hewan kecil, buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian dan daun-daunan. Pada masa itu, kehidupan manusia sangat berat, menghadapi banyak ancaman dengan kemampuan sangat sederhana. Hidup berkelompok, bergotongroyong dalam menjalankan berbagai kegiatan sehari-hari agar dapat bertahan hidup, dan melanjutkan keturunan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hingga kini, sebagian bentuk kegiatan gotongroyong masih berlangsung.
Persaudaraan, kesetaraan, kemerdekaan dan kebaikan bersama.
Gotongroyong adalah kerjasama sukarela dalam semangat persaudaraan, setara, bantu membantu dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. Nilai persaudaraan bertolak dari pengakuan bahwa semua manusia bersaudara, dan diwujudkan dalam sikap: “semua bertanggung jawab untuk semua”. Semua warga dapat berbagi rasa dan berbagi beban, berbagi suka dan berbagi duka; dan tolong menolong adalah penerapan nilai persaudaraan yang paling mudah dan manusiawi. Penerapan nilai persaudaraan dalam kehidupan bersama memberi rasa aman, karena ada jaminan dalam keadaan sulit akan ada warga masyarakat yang datang membantu. Persaudaran bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tetapi hasil dari perjalanan hidup bersama yang panjang, yang terus dipupuk dengan selalu mengedepankan kebaikan bersama. Nilai persaudaraan adalah perkembangan lebih lanjut dari persaudaraan yang dalam keluarga, kemudian masuk ke dalam masyarakat. Persudaraan kebangsaan Indonesia bukan suatu yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi hasil dari perjalanan hidup bersama, dalam waktu yang panjang. Proses ini berlangsung ribuan tahun, sejak bertumbuhnya kehidupan keluarga-keluarga manusia, berkembang tahap demi tahap dan masuk ke dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Persaudaraan ini harus terus dipupuk dengan selalu mengedepankan kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah perwujudan kesejahteraan, keadilan dan kemajuan bagi semua; semua warga dapat berbagi rasa dan berbagi beban; sikaya membantu simiskin, sikuat menolong silemah, penguasa membantu yang tidak kuasa, orang sehat mengurus yang sakit, dan orang hidup mengurus yang mati. Di atas segala perbedaan yang ada, seperti perbedaan ras, suku, agama, peradaban, profesi, hak milik, kepandaian, dan sebagainya, kebaikan bersama harus dikedepankan dan diperjuangkan bersama; penderitaan seseorang dapat dirasakan yang lain, dan kemudian bersama-sama mengatasinya.
Manusia gotongroyong adalah manusia merdeka, dan keikutsertaannya dalam gotongroyong adalah sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun. Manusia merdeka derajatnya setara, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, dan tidak ada yang bisa memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Manusia merdeka terbebas dari rasa ketidakberdayaan dan ketergantungan; merdeka dalam menentukan pikiran dan tindakannya sendiri, dan tidak berada dibawah kekuasaan pihak lain; menghormati kemerdekaan orang lain, sebagaimana ia menghargai kemerdekaannya. Mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya, dan sekali ia memutuskan, ia bertanggungjawab atas akibat dari keputusannya. Manusia merdeka rasional dan toleran, dan menempatkan tingkah-lakunya di bawah kendali akal sehat; mengutamakan kemampuannya sendiri dari pada bantuan pihak lain; mandiri, suka mengambil inisiatif dan melaksanakannya dengan senang hati, dan menerima akibat dari perbuatannya, berhasil ataupun gagal; ia menggunakan kemerdekaannya dan memikul tanggung jawab atas pilihannya. Manusia merdeka bersikap toleran, yaitu mengakui hak menentukan sendiri yang dimiliki orang lain. Toleransi menghormati kemerdekaan pribadi, dan kemerdekaan pribadi harus mendapat perlindungan dari tirani penguasa dan tirani mayoritas. Walaupun kehendak mayoritas akan menjadi kebijakan negara, tetapi harus dihindari perampasan kemerdekaan individu. Toleransi dibutuhkan oleh karena disadari tidak ada manusia yang mempunyai kebenaran mutlak sepanjang masa; toleransi juga perasaan jujur dari dalam diri manusia, bahwa mungkin saja kebenaran ada di pihak lain. Manusia toleran mendengarkan pendapat orang lain, termasuk yang dianggap salah, dan menyanggahnya dengan adu argumentasi dan tidak menyerang pribadi yang mengemukakan pendapat tersebut. Masyarakat gotongroyong adalah masyarakat egaliter dengan organisasi sosial berdasarkan kerjasama kekeluargaan. Sampai di masa kolonial Belanda, diberbagai tempat masih ditemukan masyarakat egaliter. Masyarakat Indonesia terbagi ke dalam bentuk kerajaan dan bukan kerajaan. Masyarakat kerajaan bersifat hirarkis, dan mengenal garis keturunan raja dan ningrat, dengan hak politik turun temurun. Kehidupan masyarakat biasa sangat tergantung pada kebijakan kerajaan. Masyarakat bukan kerajaan, yang sering disebut tribalisme (kesukuan), tidak ada jenjang kekuasaan yang berpusat pada raja. Kehidupan bersama diatur dalam musyawarah, dengan pemimpin yang dipilih berdasarkan keunggulan tertentu. Kepala suku tidak memiliki kekuasaan nyata atas anggota kelompoknya, tetapi lebih berfungsi sebagai penyelaras dan panutan.
Gotongroyong diawali dengan musyawarah karena gotongroyong adalah kerjasama manusia merdeka yang setara; musyawarah adalah proses pengambilan keputusan dengan mendengarkan, memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai pendapat dari peserta pertemuan. Setelah semua pihak menyampaikan pendapatnya, peserta pertemuan mendiskusikan berbagai pendapat tersebut, dan kemudian disusun suatu kesepakatan bersama. Dalam musyawarah keputusan tidak mempertimbangkan besarnya suara yang mendukung suatu gagasan; isi kesepakatan kerapkali adalah gabungan dari berbagai gagasan yang muncul dalam pertemuan tersebut. Oleh karena itu kesepakatan dari suatu musyawarah sering lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Itu pula sebabnya mengapa gotongroyong, yang adalah kerjasama sukarela manusia merdeka yang setara, memilih cara musyawarah untuk memperoleh mufakat. Hatta, dalam Pidato Radio 15 Desember 1945, menyatakan bahwa kata mufakat mestilah ada, barulah kedaulatan itu ada pada rakyat. Putusan yang diambil oleh satu orang atau satu golongan saja tanpa persetujuan rakyat, bukanlah kedaulatan rakyat. Demikian juga kata mufakat yang dipaksakan kepada rakyat. Untuk melakukan tindakan yang menentukan nasib orang banyak, hendaklah diputuskan oleh orang banyak pula, dengan perantaraan rapatnya atau dewan perwakilannya.
Persaudaraan dalam masyarakat gotongroyong diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan bertahan sampai sekarang. Dibagian akhir pidato 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI, Soekarno menyatakan bahwa Negara Indonesia haruslah Negara gotongroyong. Gotongroyong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Soekarno mengusulkan gotongroyong dalam menyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang akan membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia; semua bekerja dan semua berbahagia. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya yang disampaikan di depan Sidang MPR RI setelah usai mengucapkan sumpah jabatan, 20 Oktober 2014, menyatakan bahwa tugas sejarah yang berat ini bisa dipikul bersama dengan persatuan, gotongroyong dan kerja keras. Persatuan dan gotongroyong adalah syarat untuk menjadi bangsa besar. Indonesia tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelakangan dan keterpecahan, dan tidak akan pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.
Perjumpaan dengan Peradaban India.
Raja dan penguasa lain di Nusantara sebelum kedatangan Peradaban India kekuasaannya kecil dengan wilayah tidak luas. Diperkirakan negara-negara ini pengembangan awal dari pemerintahan desa, yang pemimpinnya di pilih dari dan oleh penduduk setempat. Peradaban India yang datang dari India Selatan menambah kemampuan memerintah para raja dan bawahannya; dan ditambah dengan kepercayaan tentang kedudukan raja sebagai keturunan dewa, membuat negara menjadi lebih besar, lebih kuat, dengan wilayah yang lebih luas. Dilihat dari besarnya kekuasaan pemimpin dan luasnya wilayah negara, kehadiran Peradaban India membawa kemajuan besar. Raja-raja Nusantara mengadopsi berbagai unsur Peradaban India, terutama tentang upacara keagamaan dan organisasi negara, tetapi hanya dilapisan atas masyarakat dan disekitar istana. Pada masa itu, Peradaban India mempunyai pengaruh besar di Asia Tenggara, antara lain tentang struktur negara yang sangat hirarkis; dan Raja dianggap keturunan dewa, yang bersifat keramat, merupakan puncak segala hal dalam negara, dan merupakan pusat alam semesta.
Perjumpaan dengan Peradaban India diawali dengan perdagangan antara Nusantara dengan India. Pedagang dari India datang ke Nusantara; demikian sebaliknya pedagang dari Nusantara pergi ke India, dan melihat sendiri kemajuan di sana. Raja-raja Nusantara tertarik dengan kemajuan India, dan dalam upaya memajukan negerinya mengundang golongan Brahmana. Para pelayar Nusantara sejak zaman prasejarah telah sanggup mengarungi lautan lepas, dan diduga banyak orang Indonesia dengan menggunakan kapal layarnya sendiri datang berdagang ke India. Sejak zaman prasejarah, Asia Tenggara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan, dan kegiatan perdagangan menjadi pemersatu wilayah ini. Diduga perdagangan dengan India bertumpu pada pola-pola perdagangan regional, antara Asia Tenggara dengan India; dan inisiatif perdagangan datang dari kedua pihak, India dan Asia Tenggara. Besar kemungkinan banyak orang Indonesia yang pergi belajar ke India, mempelajari berbagai kemajuan yang ada, seperti tentang agama, tata negara, tulisan, kesenian dan arsitektur. Suatu kemajuan penting hasil dari kontak Nusantara dengan India adalah penggunaan tulisan India di Nusantara; peninggalan purbakala, seperti bangunan candi, patung, prasasti, dan ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Nusantara yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Pada masa kontak dengan Peradaban India, Nusantara telah cukup maju, dan memiliki pengetahuan dan teknologi, serta tradisi yang cukup untuk menerima beberapa unsur Peradaban India. Diduga India tidak pernah membangun kolonisasi di Indonesia, dan penyerapan unsur-unsur Peradaban India dilakukan secara selektif oleh cendekiawan Nusantara. Kehadiran Peradaban India membawa kemajuan besar dilihat dari besarnya kekuasaan pemimpin dan luasnya wilayah negara. Perubahan ini meningkatkan interaksi antar penduduk, antar pedagang dan penguasa di berbagai wilayah di Nusantara, dan interaksi ini ikut bekerja dalam proses integrasi bangsa Indonesia. Jauh sebelum Peradaban Barat datang, masyarakat Nusantara telah terlatih dengan beberapa kerajaan besar, seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Pergerakan Nasional Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa perlawanan masyarakat dan raja-raja Nusantara akhirnya gagal; pemerintah kolonial Belanda justru semakin kuat, dan terus menjalankan perang kolonial untuk memperluas daerah kekuasaan, sehingga di awal abad ke-20, hampir semua wilayah Indonesia telah dikuasainya. Kenyataan ini menghadirkan suatu komunitas kreatif di Indonesia, yang terdiri dari kaum terpelajar, yang melihat penguasa Hindia Belanda berlaku tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif. Mereka menyadari bahwa Kerajaan Belanda tidak berhak memerintah di Indonesia. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Nusantara adalah satu bangsa, yakni bangsa Indonesia, dan sama dengan bangsa-bangsa lainnya, berhak menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara sendiri. Mereka mengubah cara melawan penguasa penjajah, dengan berjuang, belajar dan mengambil sebagian unsur-unsur Peradaban Barat. Disadari bahwa kegagalan perlawanan selama ini adalah akibat dari penggunaan cara perjuangan yang lemah. Komunitas kreatif ini menciptakan habitat dan cara hidup baru; dimulai dengan kesadaran sebagai suatu bangsa merdeka, yakni bangsa Indonesia; dan bergotongroyong mendirikan suatu negara berdaulat, yakni Republik Indonesia, dan mereka adalah kaum pergerakan nasional. Melalui perjumpaan dengan ideologi nasionalisme yang datang dari Peradaban Barat, timbul kesadaran kebangsaan Indonesia, yang menjiwai para tokoh pergerakan nasional, dan kemudian meluas ke berbagai kelompok masyarakat. Persaudaraan kebangsaan Indonesia menyadarkan bahwa bangsa Indonesia itu ada, merupakan persekutuan manusia merdeka yang sederajat, dan bersatu menjadi bangsa Indonesia. Hidup bersama dalam suatu negara dapat terwujud kalau ada kesadaran akan cita-cita bersama, kesetaraan, kebebasan dan toleransi, dan dijiwai oleh semangat persaudaran, sebagai suatu bangsa yang telah memilih hidup bersama; seberat apapun permasalahan dihadapi, karena masyarakat berjuang bersama beban itu menjadi ringan.
Pergerakan Nasional Indonesia adalah proses pertumbuhan nasionalisme Indonesia, yang antara lain mewujud dalam berbagai organisasi pergerakan, melahirkan banyak tokoh pergerakan, dan menghasilkan banyak gagasan tentang Indonesia merdeka. Membangkitkan kesadaran nasional dan mendorong munculnya kemauan bersama untuk menjadi bangsa Indonesia. Pergerakan nasional Indonesia adalah suatu fenomena sejarah hasil integrasi dari berbagai faktor, yaitu sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Pergerakan ini bisa saja dimulai dengan gerakan sosial, atau kultural, atau ekonomi, tetapi semua itu akhirnya bermuara pada gerakan politik, karena penyebab dari semua permasalahan itu adalah politik kolonial Belanda. Perilaku kolektif masyarakat dalam berbagai organisasi pergerakan nasional membuat organisasi tersebut menjadi wahana perjuangan politik. Kondisi ini mendorong proses integrasi kaum terpelajar, melintasi batas-batas profesi, golongan, daerah, etnis, dan agama. Meskipun banyak perbedaan di antara mereka, seperti perbedaan politik dan ideologi, tetapi kaum pergerakan komunikatif satu dengan yang lain. Komunikasi politik di antara kaum pergerakan cukup lancar, walaupun banyak pembatasan oleh penguasa kolonial; bahkan semakin represif penguasa kolonial, semakin kuat solidaritas antar organisasi pergerakan. Perjuangan kemerdekaan semakin terintegrasi, dan kaum pergerakan bersama semua komponen bangsa sepakat untuk segera merdeka.
Dimulai dengan tumbuhnya kesadaran sosial melihat penderitaan masyarakat, kemudian secara bertahap meningkat menjadi kesadaran politik. Penderitaan masyarakat dilihat sebagai akibat dari ketidakadilan penguasa kolonial, dan oleh karena itu penderitaan ini hanya akan dapat disingkirkan kalau kekuasaan negara berada ditangan bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran ini mendorong kaum pergerakan mendirikan organisasi modern sebagai alat pergerakan nasional. Dr. Sutomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo memperkenalkan kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yaitu organisasi yang mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Hampir semua pimpinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasionalis Indonesia pada permulaan abad ke-20 pernah ada di Budi Utomo, atau paling kurang telah mempunyai kontak dengan Budi Utomo. Peranan Budi Utomo dalam kemajuan politik di Indonesia sangat besar, khususnya dalam mendorong terjadinya integrasi nasional. Itulah sebabnya mengapa hari kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dari sini tumbuh cita-cita pembentukan nasion Indonesia, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928, yang dipakai sebagai tonggak integrasi bangsa Indonesia.
Di negeri Belanda, para mahasiswa Indonesia membentuk Indische Vereeniging (IV) pada 1908; pada awalnya melaksanakan kegiatan sosial dan kebudayaan sebagai ajang tukar pikiran tentang situasi tanah air. Dalam perjalanannya IV berkembang menjadi perkumpulan yang mengutamakan masalah politik. Semangat kebangsaannya semakin kuat, dan pada 1922 berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging, dan pada 1925 berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Pimpinan PI yang menonjol pada waktu itu adalah Iwa Kusuma, Sumantri, J.B.Sitanala, Hatta, Sastramulyono, dan D.Mangunkusumo. Mereka juga menerbitkan majalah “Indonesia merdeka”. Pergantian nama perkumpulan yang terakhir menjadi Perhimpunan Indonesia dan penerbitan majalah “Indonesia Merdeka” memperlihatkan munculnya identitas bangsa Indonesia di luar negeri. Sejak 1925 PI mengembangkan empat pikiran pokok yang mencakup. Pertama, Kesatuan Nasional: mengenyampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan membentuk kesatuan aksi melawan Belanda serta menciptakan negara-bangsa Indonesia yang merdeka dan bersatu; Kedua; Solidaritas: pertentangkan kepentingan nasional dengan penjajah dan mempertajam konflik antara kulit putih dengan sawo matang; Ketiga, Nonkooperasi: kemerdekaan bukan hadiah dari Belanda, tetapi harus direbut dengan mengandalkan kekuatan sendiri; Keempat, Swadaya: mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi kolonial. PI menggabungkan semua unsur ini sebagai satu kebulatan yang belum pernah dikembangkan oleh organisasi-organisasi sebelumnya. Mereka percaya bahwa semua orang Indonesia dapat menerimanya dan dapat menciptakan gerakan yang kuat dan terpadu untuk mewujudkan kemerdekaan.
Pergerakan Nasional Indonesia adalah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Dibawah penjajahan Belanda masyarakat Indonesia sangat menderita, dan penderitaan ini menjadi tantangan yang membutuhkan jawaban yang setimpal; dan untuk menjawabnya muncul kaum pergerakan nasional yang menyadari bahwa penjajahan menjadi penyebab penderitaan. Komunitas kreatif di Indonesia mampu mengidentifikasi tantangan yang menghambat kemajuan masyarakatnya, yakni penjajahan oleh bangsa lain. Masyarakat Indonesia adalah suatu bangsa, yang sama dengan bangsa-bangsa lain berhak untuk merdeka dan memiliki suatu negara berdaulat. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Atas kesadaran tersebut, kaum pergerakan nasional Indonesia mengajak masyarakat luas berjuang menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara berdaulat. Pergerakan nasional memperjuangkan kesederajatan manusia, kemerdekaan, keadilan, dan mengarahkan pembentukan suatu unit geopolitik baru sebagai wadah bersama masyarakat Indonesia yang majemuk. Perlawanan terhadap penguasa kolonial dengan cara tradisional yang berideologi religio-magis dan kepemimpinan kharismatik telah gagal; dan dibutuhkan cara perjuangan modern, dan untuk itu perlu mengambil beberapa unsur Peradaban Barat. Habitat dan cara hidup perlu diubah; Hindia Belanda di ganti dengan Republik Indonesia; dan masyarakat feodalistik-hirarkis diubah menjadi masyarakat gotongroyong yang egaliter. Cara perjuangan tradisional diganti dengan cara perjuangan baru yang rasional dengan ideologi nasionalisme dan organisasi modern.
Sumpah Pemuda.
Mei 1926, di Jakarta dilaksanakan Kongres Pemuda I, yang dihadiri oleh Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan Perkumpulan Pemuda Theosofi. Kongres Pemuda I ini mengetengahkan faham persatuan, kebangsaan, dan mempererat hubungan antar organisasi pemuda. Pada 26-28 Oktober 1928, di Jakarta dilaksanakan Kongres Pemuda II, yang menggabung semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kongres ini membawa semangat nasionalisme ke tingkat yang lebih tinggi, dan semua utusan yang datang mengucapkan sumpah setia “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia”. Sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dalam penutupan Kongres dinyanyikan lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.Supratman, dan bendera Merah Putih juga dikibarkan mengiringi lagu kebangsaan itu, sehingga tercipta kesan yang mendalam bagi para peserta.
Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan pada 28 Oktober 1928, kata Merdeka belum disebutkan, tetapi diganti dengan kata Moelia. Sumpah Pemuda, yang dicetuskan dalam Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, adalah pernyataan terbuka tentang keberadaan bangsa Indonesia di tanah air Indonesia. Pernyataan terbuka ini disampaikan kepada masyarakat Indonesia; dan juga kepada masyarakat dunia, khususnya kepada penguasa kolonial Belanda.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Revolusi Indonesia dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di Jakarta; dan sejak itu, kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia bergerak dan berubah cepat. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia diwakili Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia; 18 Agustus 1945 negara-bangsa Republik Indonesia didirikan, dengan menetapkan UUD 1945 dan memilih Soekarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi Wakil Presiden. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia bangun dari tidur lamanya, muncul ke permukaan sebagai bangsa merdeka yang mendirikan suatu negara berdaulat. Kesadaran nasional membuat masyarakat Nusantara berubah menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia; dan sebagaimana layaknya bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia berhak mendapatkan kemerdekaannya, dan mendirikan suatu negara berdaulat.
Puncak pencapaian peradaban di bidang politik adalah pendirian negara-bangsa yang demokratis. Negara adalah satu-satunya persekutuan manusia yang diberi kekuasaan menjalankan keputusannya dengan menggunakan kekerasan, di wilayah kekuasaan negara tersebut; dengan demikian negara bisa menjalankan fungsinya, antara lain mengatur ketertiban, memelihara keamanan dan menegakkan keadilan. Kekuasaan negara dibuat besar, karena dibutuhkan untuk mengatur masyarakat yang jumlahnya sangat banyak, dengan pemikirannya beraneka ragam, kepentingan yang tidak selalu sama, kekuatan berbeda, dan sebagian dari mereka punya kecenderungan berbuat jahat. Itu pula sebabnya, sejak jumlah penduduk di suatu wilayah bertambah banyak, masyarakat secara bersama-sama sepakat memilih sebagian dari mereka menjadi pemimpin yang diberi kepercayaan mengatur mereka. Pada awalnya adalah masyarakat egaliter, dengan hak dan martabat yang sama, dan oleh karena itu kepemimpinan yang berlaku adalah kepemimpinan primus inter pares (yang pertama dari yang sama). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, sentralisasi kekuasaan politik menimbulkan diferensiasi kelas, dan sejak itu secara perlahan martabat manusia di buat berbeda. Tetapi beberapa abad terakhir ini, kekeliruan pembedaan martabat manusia ini disadari dan dikoreksi. Disadari dan diakui bahwa hanya ada satu martabat, yakni martabat manusia, dan hanya ada satu ras, yakni ras manusia. Kesadaran ini mendorong masyarakat berjuang mewujudkan negara yang memperlakukan manusia secara sama, dengan martabat yang sama, yakni martabat manusia, dan negara tersebut adalah negara demokrasi. Nilai kesetaraan, yang sempat dilupakan selama ribuan tahun, diberlakukan kembali. Perubahan tatanan kenegaraan ini adalah bagian dari perkembangan peradaban, dan merupakan capaian yang sangat mendasar, strategis, dan manusiawi. Sejarah umat manusia pernah melalui masa kelam dalam waktu yang sangat lama, terutama dengan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang membedakan martabat manusia. Tetapi sekarang ini, manusia kembali menerapkan nilai kesetaraan dalam kehidupan kenegaraan, dan hampir semua negara di dunia sekarang ini menggunakan sistem demokrasi. Puncak capaian suatu revolusi politik adalah negara-bangsa yang demokratis, dan Republik Indonesia telah mencapainya. Republik Indonesia adalah suatu negara-bangsa. Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bertempat di rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan, di Jalan Proklamasi), oleh Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
IV. Politik kebangsaan menghadapi banyak tantangan.
Dalam upaya menggambarkan peta politik Indonesia, saya sajikan beberapa fakta politik penting yang berkaitan dengan dasar negara. Sekarang kita melihat posisi Pancasila sebagai dasar negara telah semakin kuat; sebelum perubahan UUD 1945 yang berlangsung dari tahun 1999 sd 2002, MPR telah sepakat bahwa dalam perubahan ini Pembukaan UUD 1945 tetap, dan perubahan pasal-pasal mengacu pada Pembukaan UUD 1945. Artinya posisi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia semakin kuat, dan tidak boleh diutak-atik lagi; perbedaan diantara anak bangsa hanya pada penafsirannya; yang kemudian dimusyawarkan untuk menghasilkan kesepakatan, yang kemudian ditetapkan dalam pasal-pasalnya. Sejarah memperlihatkan bahwa semua ini bukan pekerjaan mudah yang diselesaikan dalam waktu pendek, tetapi hasil perjuangan berat para pemimpin bangsa yang memakan banyak waktu dan tenaga.
Dalam persiapan kemerdekaan Indonesia ikut serta beberapa tokoh Kristen, antara lain: Mr. Johannes Latuharhary sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Gubernur Maluku yang pertama; Mr. A.A.Maramis sebagai anggota BPUPKI; dan Dr. G.S.S.J.Ratu Langie sebagai anggota PPKI dan Gubernur Sulawesi yang pertama. Pada tanggal 17 Agustus 1945: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pembukaan UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, dan dalam sidang tersebut terjadi penghapusan tujuh kata dari draft sila pertama Pancasila, dan hasilnya sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Penghapusan itu adalah usulan para pejuang dari Indonesia Timur, dan banyak yang menyatakan bahwa pahlawan tersebut adalah G.S.S.J.Ratu Langie.
Dalam Sidang Konstituante timbul perbedaan mengenai dasar negara yang akan dituangkan dalam undang- undang dasar pengganti UUD Sementara, dan akibatnya Sidang Konstituante macet. Lembaga negara yang sudah bekerja sejak November 1956 hingga April 1959, belum berhasil menyusun undang-undang dasar yang baru. Oleh karena itu dalam pidato di depan Sidang Konstituante 22 April 1959, Presiden Soekarno menganjurkan agar memberlakukan kembali UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Hasilnya ialah setuju 269 suara lawan tidak setuju 199 suara, dan anggota yang hadir 474 orang. Artinya, tidak tercapai dua pertiga suara seperti yang disyaratkan UUDS 1950 pasal 137 ayat (2) yang menyatakan: Undang-Undang Dasar baru berlaku , jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan tata tertib Kostituante, diadakan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terachir dilakukan pada 2 Juni 1959, dan jumlah suara dua pertiga tetap tidak tercapai, dan keesokan harinya, 3 Juni 1959, Konstituante reses dan ternyata untuk selamanya. Untuk mencegah ekses politik akibat ditolaknya usul Pemerintah oleh Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), mengeluarkan Peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang Larangan Mengadakan Kegiatan-kegiatan Politik, yang berlaku mulai 3 Juni 1959, pukul 06.00. Pada 16 Juni 1959, Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) Suwiryo mengirim surat kepada Presiden Soekarno, agar Presiden Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Pada saat krisis Konstituante, Presiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang, dalam rangka kunjungan ke beberapa negara, dan kembali ke tanah air pada 29 Juni 1959.
Setelah mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh politik, beberapa menteri, dan Pimpinan Angkatan Perang, pada 5 Juli 1959 disusun rumusan yang kemudian dikenal sebagai “Dekrit 5 Juli 1959”. Dekrit ini dibacakan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 sore, dalam acara yang berlangsung sekitar lima belas menit di halaman Istana Merdeka di Jakarta, dan dihadiri oleh ribuan orang. Inti Dekrit 5 Juli 1959 ialah: 1.Pembubaran Konstituante; 2.UUD 1945 berlaku kembali; dan 3.Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung. Dalam waktu yang kritis, ketika keadaan negara membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak berdaya, Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai kekuatan politik yang mengatasi kemacetan itu. Gagalnya upaya kembali ke UUD 1945 melalui Konstituante dan rentetan peristiwa politik yang mencapai klimaks dalam bulan Juni 1959, membuat Presiden Soekarno sampai kepada kesimpulan bahwa: “keadaan ketatanegaraan telah membahayakan persatuan dan kesatuan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Reformasi politik di Indonesia adalah perubahan politik dari sistem pemerintahan otoritarian ke sistem pemerintahan demokrasi, dan berlangsung sejak pemerintahan Presiden Habibie. Reformasi Politik telah membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: Konstitusi menjamin hak asasi manusia; hak-hak politik dan kebebasan sipil dipenuhi; kebebasan pers dijamin; pemilihan umum berlangsung adil, bebas, kompetitif dan berkala; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan Presiden hanya boleh dipilih satu kali lagi. Sistem Politik Indonesia di era reformasi ini lebih memperkuat prinsip check and balances, yang mencegah dominasi lembaga negara yang satu terhadap yang lain. Reformasi Politik telah mempunyai dasar yang jelas dalam UUD 1945 yang dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan UUD 1945 telah membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: konstitusi menjamin pemenuhan martabat manusia serta hak-hak politik dan kebebasan sipil; kebebasan pers; pemilihan umum yang adil, bebas dan demokratis; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan masa jabatan Presiden dibatasi. Menurut Jakob Tobing, Wakil Ketua PAH III BP MPR (1999 – 2000) dan Ketua PAH I BP MPR (2000 – 2002), setelah Perubahan UUD 1945 Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kebebasan berpendapat, HAM, supremasi hukum dan sistem politik checks and balances telah dimeteraikan. Ditinjau dari perspektif peradaban, revolusi politik di Indonesia telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka; dan menyelenggarakan suatu negara kebangsaan, yaitu Republik Indonesia yang demokrasi, damai dan stabil; dan kemajuan ini adalah suatu prestasi besar yang belum dapat diwujudkan oleh banyak negara di bumi ini.
Politik kebangsaan harus terus dilanjutkan, karena Republik Indonesia adalah negara–bangsa, dan tidak akan ada masa depan bersama di luar itu. Ancaman, hambatan dan gangguan masih akan berlangsung lama, dan oleh karena itu dibutuhkan kesabaran serta ketekunan menghadapinya. Walaupun disadari politik kebencian/permusuhan akan merusak persaudaraan kebangsaan Indonesia, tetapi politik ini masih akan berlanjut, karena politisasi agama masih berjalan dan memberi keuntungan terhadap pihak-pihak tertentu. Demokrasi adalah cara sekaligus tujuan; demokrasi harus mampu menghasilkan kemajuan dan kebaikan bersama; kemajuan demokrasi dilihat dari proses dan hasilnya. Saya mencoba menggambarkan proyeksi politik Indonesia tahun 2045, yaitu: demokrasi di Indonesia akan semakin mantap; jumlah partai politik akan berkurang menjadi 2 sd 4 partai dengan pelayanan yang semakin merakyat; para politisi semakin cerdas dengan kinerja politik semakin baik; mekanisme checks and balances semakin mantap; dialog politik dan partisipasi politik masyarakat meningkat kualitasnya; politisasi agama berkurang; anggota TNI dan Polisi memperoleh hak memilih; sentimen premordial di bidang politik berkurang dan pilihan politik lebih berdasarkan prestasi kerja partai politik dan para calon. Pemilihan Umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu Pemilihan Umum Nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR RI dan DPD RI; dan Pemilihan Umum Lokal untuk memilih Kepala Daerah dan anggota DPRD; dan kedua Pemilihan Umum ini dilaksanakan pada waktu yang berbeda.
V. Revolusi Indonesia berlanjut.
Revolusi Indonesia, yang berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hingga sekarang telah berhasil mendirikan negara-bangsa Republik Indonesia; kemudian dilanjutkan dengan Reformasi Politik yang mengubah tatanan negara dari negara otoritarian menjadi negara demokrasi; dan dengan demikian telah mencapai puncak kemajuan dalam revolusi politik. Sekarang, kita sedang berada dalam tahap konsolidasi demokrasi untuk menjaga agar negara tetap berlangsung demokratis, adil, damai, stabil, dan berkelanjutan; membuat negara semakin mampu melayani rakyat seluruhnya, tanpa kecuali; dan masyarakat menjadi semakin demokratis, toleran, damai, rukun, adil dan makmur. Indonesia mencapai kemajuan pesat di bidang politik, tetapi masih terbelakang di berbagai bidang kehidupan lain.
Selain menghadapi ancaman dari ideologi asing, Indonesia juga terperangkap dalam keterbelakangan; antara lain keterbelakangan pola pikir dan perilaku masyarakat, yakni masyarakat emosional berorientasi status; dan keterbelakangan dalam bidang ilmu dan teknologi, kususnya keterbelakangan dalam pembuatan peralatan material. Sekarang ini, masyarakat kita lebih mengedepankan status ketimbang prestasi; pangkat dan jabatan; gelar akademik dan gelar lainnya; dan harta kekayaan. Gelar pendidikan dipajang berderet-deret, tetapi tidak disertai dengan prestasi kerja. Jabatan politik diburu, kalau perlu dengan menuang banyak uang; dan kalau sudah didapat tidak digunakan untuk melayani rakyat, tetapi digunakan untuk menumpuk kekayaan yang kemudian digunakan untuk mendapat jabatan yang lebih tinggi; karena jabatan itu bukan untuk melayani publik, tetapi untuk meningkatkan statusnya. Status sosial adalah segala-galanya; prestasi kerja tak punya makna; pola pikir dan perilaku seperti ini sayangnya mendapat pembenaran di tengah masyarakat. Emosi dipupuk dan rasio dikubur; dan dalam interaksi dengan warga masyarakat yang berbeda, terutama yang berbeda agama, kebencian dan permusuhan dikobarkan; dan bersamaan dengan itu persaudaraan kebangsaaan Indonesia dilupakan. Pola pikir dan perilaku ini membuat kita sulit maju dan sering kalah dalam persaingan global. Kita sering konflik dengan sesama warga bangsa, dan tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk memperkuat daya saing nasional; dan sering lupa dengan kehormatan bangsa. Masyarakat Indonesia harus berubah dari masyarakat emosional berorientasi status menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi, agar cita-cita nasional menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat terwujud; perjuangan masih berat, tetapi harus dilanjutkan, karena kita tidak punya pilihan lain.
Keterbelakangan ini harus dijawab bengan melanjutkan Revolusi Indonesia, yaitu dengan Revolusi Ilmiah, Revolusi Industri, dan Revolusi Kesadaran Kedua. Pada Revolusi Kesadaran Pertama, yang terjadi sejak awal kemunculan manusia sekitar 2 juta tahun lalu; manusia menyadari bahwa mereka berbeda dari ciptaan lainnya, berbeda dari hewan, tumbuhan dan yang lainnya; mampu berpikir dan membuat berbagai peralatan; mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi dalam pembuatan alat dan pengelolaan alam; mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan; mengubah “seleksi alam” menjadi “seleksi manusia; tetapi juga mampu membuat dan menggunakan senjata untuk menghancurkan manusia dan bumi ini. Dan sejak bom atom diledakkan di Nagasaki dan Hirosima, manusia mulai berpikir ulang; mulai menyadari bahwa ada yang salah dalam pola pikir dan perilaku bersama umat manusia; mulai menyadari bahwa kekeliruan penerapan ilmu dan teknologi bisa menghancurkan bumi dan segala isinya, termasuk manusia itu sendiri; manusia mulai memasuki revolusi kesadaran yang baru.
Pengembangan ilmu dan teknologi serta penerapannya di segala bidang kehidupan juga harus dalam kerangka keutuhan bumi, hewan, tumbuhan dan ciptaan lainnya. Masyarakat manusia yang terhimpun dalam ratusan negara di dunia harus menyadari bahwa kehadirannya di bumi ini bukan sekedar untuk kesenangannya sendiri, tetapi untuk menatalayani segala ciptaan. Dan untuk itu manusia harus mau dan mampu kerjasama; gotongroyong memelihara bumi dengan segala penghuninya, manusia, hewan, tumbuhan, tanah, udara, air, sungai, danau, laut dan ciptaan lainnya. Tuhan menciptakan bumi dalam keadaan baik, dan bumi mampu mencukupi kebutuhan semua mahluk hidup; tetapi ketamakan manusia menjadi ancaman bagi kehidupan bersama semua mahluk; dan juga menjadi ancaman bagi kelestarian bumi. Konsumsi yang berlebihan mendorong eksploitasi bumi melebihi kemampuan untuk regenerasi; dan kondisi ini mengancam keberadaan manusia, mahluk hidup lainnya dan bumi itu sendiri. Kesetiaan kita kepada Tuhan dan penghargaan kita terhadap kehidupan yang dianugerahkan-Nya, mengharuskan kita semua gotongroyong memelihara bumi ini serta isinya agar tetap lestari. Manusia harus menyesali ketamakan dan egoisme-nya dan memperbaiki relasi dengan sesama ciptaan lainnya, demi kelangsungan hidup bersama semua ciptaan.
Revolusi Kesadaran Kedua terjadi sejak puluhan tahun lalu melengkapi Revolusi Kesadaran Pertama; manusia mulai menyadari bahwa walaupun manusia berbeda dari hewan dan tumbuhan, mereka adalah bagian integral dari ciptaan ini; kehidupan manusia sangat tergantung pada kelestarian hewan, tumbuhan dan ciptaan lainnya; manusia hidup membutuhkan makanan, air dan udara. Kemajuan manusia yang sangat pesat sejak Revolusi Industri telah merusak lingkungan hidupnya sendiri; manusia mulai menyadari bahwa mereka harus belajar hidup damai dengan sesama ciptaan lainnya; manusia mulai menyadari bahwa kekeliruan penerapan ilmu dan teknologi bukan membawa kemajuan, tetapi justru mengancam keberadaan bumi dan manusia. Revolusi Kesadaran Kedua mengingatkan manusia akan kodratnya sebagai ciptaan, yang walaupun mampu menjadi pintar dengan teknologi canggih, manusia tetap saja bagian dari ciptaan, yang untuk bertahan hidup membutuhkan kehadiran ciptaan lainnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, baik 2 juta tahun yang lalu, kini, ataupun 2 juta tahun mendatang. “Seleksi Alam” yang kemudian berubah menjadi “Seleksi Manusia” harus diubah menjadi “Manusia Hidup Damai dengan Sesama Ciptaan”. Tampaknya, kita membutuhkan suatu teologi baru, yaitu teologi “Persaudaraan Sesama Ciptaan”; dan ini menjadi tugas tambahan bagi para teolog. Pola hidup “Manusia Hidup Damai dengan sesama Ciptaan” harus dibangun di atas dasar “Persaudaraan Sesama Ciptaan”.
Revolusi Ilmiah, Revolusi Industri dan Revolusi Kesadaran Kedua dijalankan serentak dan terintegrasi; dan tentu akan menghadapi banyak tantangan dan hambatan; dan hambatan terbesar justru akan datang dari masyarakat Indonesia, khususnya warga masyarakat yang sedang menikmati banyak kemudahan, kekayaan, dan atau kekuasaan. Bagi mereka, revolusi ini akan mengganggu kesenangan mereka, suatu risiko yang selalu mereka hindari. Tetapi bagi bangsa dan negara Indonesia, kondisi seperti sekarang ini, cepat atau lambat akan menghukum kita semua, hidup berjejal dan melarat; kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain; serta terjerat dalam perangkap “ketergantungan dan keterbelakangan”. Kalau kondisi masyarakat dan negara Indonesia tetap seperti ini, dengan angka pertumbuhan penduduk seperti sekarang, pada tahun 2060 jumlah penduduk Indonesia akan meningkat menjadi setengah miliar, dan pada tahun 2110 meningkat lagi menjadi satu miliar; dan akan lebih banyak lagi penduduk Indonesia yang hidup miskin, melarat dan kelaparan. Tetapi dengan menjalankan ketiga revolusi di atas secara terintegrasi, yakni Revolusi Ilmiah, Revolusi Industri dan Revolusi Kesadaran Kedua, masyarakat dan negara Indonesia akan bergerak maju lebih cepat; masyarakat emosional berorientasi status berubah secara bertahap menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi; para pemalas berubah menjadi pekerja keras yang kreatif dan menghargai waktu agar dapat berprestasi; jalanan menjadi lancar karena warga masyarakat lebih suka naik kendaraan umum dari pada menderita kemacetan dengan kendaraan pribadi; daya saing nasional di pasar global meningkat pesat dan peningkatan ini juga akan meningkatkan kehormatan bangsa; lingkungan alam lestari dan bumi terselamatkan. Walaupun usia harapan hidup masyarakat menjadi lebih panjang, tetapi angka pertumbuhan penduduk menurun, karena karir perempuan Indonesia meningkat pesat, yang mengakibatkan angka kelahiran menurun drastis; dan kita bisa berharap tahun 2110 jumlah penduduk Indonesia sekitar 500 juta jiwa dengan angka pertumbuhan penduduk nol. Dan tentu masih disertai dengan berbagai kemajuan lainnya, antara lain masyarakat kita yang sedang suka bermanja-manja seperti remaja tanpa cita-cita kembali menjadi bangsa pejuang seperti pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Kemajuan revolusi ini diukur dari kemajuan pola pikir dan perilaku manusia Indonesia; kualitas dan kuantitas peralatan produksi Indonesia; dan kualitas alam di Indonesia, hewan, tumbuhan dan bumi itu sendiri. Capaian yang perlu diukur untuk menilai kemajuannya antara lain: perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia menjadi lebih kreatif, kerja keras dan menghormati waktu; lebih suka menatap kedepan daripada menoleh kebelakang; keserakahan manusia berkurang dan berganti dengan kecukupan; hedonisme ditinggalkan dan gerakan pelestarian lingkungan alam meningkat; kebencian dan permusuhan berkurang dan pelayanan kasih meningkat; masyarakat menilai dirinya dan orang lain dari prestasi kerjanya dan masyarakat berlomba-lomba meningkatkan prestasinya; para pejabat negara melayani masyarakat dengan sungguh-sungguh dan rendah hati; produksi peralatan meningkat pesat dalam kualitas dan kuantitasnya, baik peralatan material maupun non-material; produksi barang dan jasa cukup dan selalu menjaga kelestarian lingkungan alam, distribusi barang dan jasa merata dan adil; lingkungan alam dipelihara dan bumi lestari.
Daftar Pustaka.
Hatta, Mohammad, 1976, Kumpulan Karangan, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang
Huntington, Samuel P.,1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, Penertbit PT Pustaka Utama Grafiti.
McGrath, Alister E, 2006, Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta, Penerbit BPK Gunung Mulia.
Panjaitan, Merphin, 2016, Peradaban Gotongroyong, Jakarta, Penerbit Permata Aksara.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2005, Himpunan Keputusan Dan Notulen Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya.
Soeyono, Nana Nurliana, Editor Jilid, 2010, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka,
Stott, John, 2000, Isu-Isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
Soekarno dalam Saafroedin Bahar dkk, penyunting, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Suseno, Frans Magnis, 1991, Etika Politik, Jakarta, Penerbit PT Gramedia.
Tobing, Jakob, 2008, Membangun Jalan Demokrasi, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press
Wijaya, I.Wangsa dan Meutia F. Swasono, Penyunting, 2002, Mohammad Hatta , Kumpulan Pidato, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.