· AstraZeneca bekerjasama dengan Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia, melakukan studi formatif sebagai bentuk dukungan untuk Pusat Komando Nasional 119 dan Pusat Keselamatan Publik yang merupakan bagian dari program Kementerian Kesehatan Indonesia, sehingga penanganan SKA yang lebih optimal di Indonesia dapat diadopsi di sistem pemerintah daerah.
· Melalui inisiatif HEBAT (HEartBeATs), AstraZeneca sebagai mitra Kementerian Kesehatan bersama dengan CHEPS UI berfokus untuk menciptakan rekomendasi kebijakan sebagai solusi yang inovatif pada tahap pre-hospital bagi pasien SKA sehingga menjamin pasien mendapatkan pertolongan yang tepat dalam rentang waktu yang sesuai.
Jakarta, Suarakristen.com
PT AstraZeneca Indonesia (AZI) sebagai mitra Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia, mencanangkan program HEBAT (HEartBeATs) Indonesia. Program ini menyatukan para pemangku kepentingan terkait yang mencakup tenaga kesehatan, asosiasi kesehatan dan para pembuat kebijakan untuk bersama-sama mengevaluasi kondisi riil penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) pada tahap pre-hospital di Indonesia. HEBAT (HEartBeATs) merupakan program yang memilih pendekatan triple helix, yaitu pendekatan yang menyatukan akademia, industri dan pemerintah untuk melakukan upaya sinergis dan berkolaborasi dengan asosiasi kesehatan guna mengoptimalkan penanganan pre-hospital pada pasien SKA di Indonesia. Program ini merupakan bagian dari Nota Kesepakatan (MoU) yang ditandatangani pada tahun 2017 antara Kementerian Kesehatan dan AZI dalam upaya menangani penyakit tidak menular seperti kardiovaskular, pernapasan, diabetes, dan kanker di Indonesia.
Berdasarkan data Global Health Data Exchange (2017) penyakit jantung iskemik menjadi peringkat ke-2 penyebab utama kematian di Indonesia setelah stroke sejak 2007-2017, dengan peningkatan sebesar 29%.[1] Hal ini juga didukung dengan data survey Indonesia Sample Registration System (2014) yang menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12.9%. [2]
dr. Ade Median Hambari, SpJP sebagai perwakilan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiolovaskular Indonesia (PERKI) juga menambahkan “Rekomendasi waktu sejak diagnosis hingga memperoleh pertolongan terapi reperfusi bagi pasien yang datang ke RS yang mampu memberikan pelayanan Intervensi Koroner Primer (IKP) adalah 90 menit. Sedangkan bagi pasien yang datang ke RS yang tidak mampu memberikan layanan IKP, yang kemudian ditransfer RS lainnya yang mampu memberikan layanan IKP guna memperoleh terapi reperfusi, direkomendasikan dalam rentang waktu 120 menit.[3] Namun, dari sudut pandang tata laksana penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA), terdapat fenomena keterlambatan diagnosa pasien di mana kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala awal dan berkonsultasi kepada tenaga medis diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan proses penyembuhan.”
dr. Dafsah A Juzar, SpJP(K) “Rendahnya pemahaman pasien akan gejala awal serangan jantung tercermin pada data laporan program iSTEMI (Indonesia ST Elevated Myocardial Infarction) yang dilakukan oleh PERKI di wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya, sehingga pasien SKA memerlukan waktu lebih dari 4,5 jam untuk mencapai fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan reperfusi. Semakin lama keterlambatan pasien untuk mendapatkan reperfusi, angka mortalitas pun semakin tinggi”.
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 penyakit jantung koroner yang termasuk di dalamnya sindroma koroner akut merupakan penyebab kematian paling banyak setelah stroke dan hipertensi. Jantung koroner termasuk dalam 10 besar penyakit tidak menular terbanyak pada tahun 2018 yakni sebanyak 3.910 kasus. Oleh karenanya, diagnosis dini dan tatalaksana yang adekuat dapat menurunkan mortalitas SKA.
Program HEBAT (HEartBeATs) Indonesia ini akan berfokus pada tatalaksana penanganan SKA dalam tahap pre-hospital dimana terapi reperfusi penting dilakukan dalam rentang ‘Periode Emas’ guna mencegah kematian pada pasien yang mengalami serangan. Implementasi program ini akan mulai dilakukan pada tahun ini secara bertahap, dimulai dengan studi formatif yang diperkirakan berlangsung selama enam bulan. Sehingga kedepannya akan dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan program intervensi sesuai dengan hasil studi formatif.
Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD, Ketua Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia menjelaskan, “Studi formatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab penundaan tahap pre-hospital pada pasien SKA di Indonesia, seperti edukasi untuk meningkatkan kesadaran pasien, investasi terhadap sarana penunjang dan praktek kerja di lapangan yang dibutuhkan untuk mempersingkat penundaan tahap pre-hospital pada pasien SKA. Sehingga diharapkan studi ini dapat mendorong pengembangan strategi inovatif untuk mengurangi penundaan pada tahap pre-hospital pasien-pasien SKA di Indonesia untuk mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup pasien.”
Studi formatif akan dilaksanakan kepada populasi pasien termasuk mereka yang mengalami nyeri dada akut yang kemudian didiagnosis sebagai SKA dan dirawat di unit gawat darurat. Penelitian akan berfokus pada responden di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK). Data pasien akan dikumpulkan secara berurutan pada saat masuk, keluar dan selama masa tindak lanjut. Proses pengumpulan data akan dikumpulkan oleh enumerator terlatih, dalam koordinasi erat dengan staf RSJHK.
Rizman Abudaeri, Direktur PT AstraZeneca Indonesia menambahkan bahwa “AstraZeneca memiliki komitmen yang kuat untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan mitra lain dalam membangun ekosistem di bidang kesehatan untuk mengatasi kesenjangan dalam penatalaksanaan penyakit seperti SKA. Melalui program HEBAT (HEartBeATs) diharapkan dapat berkontribusi terhadap optimalisasi sistem kesehatan pasien SKA pre-hospital di Indonesia dengan pelaksanaan riset formatif and best practice sharing dari Kabupaten Tulungagung yang mendapatkan penghargaan inovasi layanan publik di tahun 2018 untuk program Layanan Sindroma Koronaria Terintegrasi.”
***
Tentang AstraZeneca
AstraZeneca adalah perusahaan farmasi multinasional yang berfokus pada penemuan baru, pengembangan dan komersialisasi obat-obatan resep, terutama untuk pengobatan penyakit di tiga area terapi utama – Onkologi, Penyakit Kardiovaskular & Metabolik dan Pernafasan. AstraZeneca juga aktif secara selektif di bidang autoimun, neuroscience dan infeksi. AstraZeneca beroperasi di lebih dari 100 negara, dan obat-obatan inovatif AstraZeneca telah digunakan oleh jutaan pasien diseluruh dunia. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi www.astrazeneca.com dan follow Twitter di @AstraZeneca.