EDITORIAL MEDIA INDONESIA
*DALAM setiap penyelenggaraan pemilihan umum, golongan putih (golput) selalu menjadi fenomena*. Perdebatan soal patut tidaknya seseorang yang memiliki hak pilih, tetapi tidak memilih alias golput selalu muncul ketika hari pemungutan suara semakin mendekat. *Termasuk hari ini, menjelang pelaksanaan pemilu yang kelima di era reformasi.*
*Mengapa era reformasi menjadi sorotan ketika membicarakan golput? Statistik menunjukkan bahwa di zaman itulah tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya tak pernah mencapai angka 90% kecuali pada Pemilu 1999*. Bahkan pada Pemilu Legislatif 2009, tingkat partisipasi pernah mencapai level terendah, hanya 70,9%. Dengan kata lain, sebanyak 29,1% lainnya golput. *Adapun untuk pemilihan presiden (pilpres), golput tertinggi tercatat pada 2014 sebesar 29,01%.*
*Memang, tak adil bila membandingkan pemilu di Orde Reformasi dengan pemilu ketika rezim Orde Baru berkuasa*. Dari sisi mana pun, keduanya tak layak diperbandingkan, termasuk angka golput. Di era itu, golput hanya berkisar 3% sampai 6%. *Maklum saja karena yang menonjol ketika itu ialah model pemilu mobilisasi, bukan partisipasi.*
*Namun, tetap saja kita mesti ‘mencemaskan’ kecenderungan tingginya golput di era kekinian itu, setidaknya di tiga pemilu terakhir.* Harus diakui, dalam iklim demokrasi negeri ini yang berwatak elektoral, tingkat partisipasi ialah faktor penting. *Golput, sekalipun menurut konstitusi merupakan hak yang sah dan boleh dipergunakan, mungkin akan dianggap berlawanan dengan konsepsi pemilu elektoral tersebut.*
*Mereka yang menganut paham ‘satu suara menentukan masa depan negara’ bahkan meyakini golput berbahaya bagi demokrasi karena dapat membuat legitimasi kepada parlemen dan eksekutif lemah*. Pilihan golput juga akan merugikan lantaran abstain tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan justru memberi kesempatan sembarang orang naik ke tampuk kekuasaan.
*Meski demikian, alasan-alasan itu tidak bisa menjadi pembenaran bagi kita untuk tidak menghormati pilihan golput.* Yang patut menjadi renungan bersama ialah mengapa pemilu kini seperti entitas yang kehilangan daya tarik? *Apakah rendahnya tingkat partisipasi juga menunjukkan anjloknya kepercayaan rakyat bahwa pemilu ialah salah satu jalan untuk menentukan masa depan bernegara?*
*Ajakan Presiden Joko Widodo yang disampaikan saat Peringatan Imlek Nasional 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (7/2) agar masyarakat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan suara, tentu bagus bila kita maknai ada kesadaran penuh dari pemerintah bahwa partisipasi publik dalam pemilu memang mesti digenjot.*
*Apalagi, ajakan itu dikaitkan dengan jaminan keamanan dan kenyamanan para pemilih untuk menyalurkan hak konstitusional mereka, tanpa perlu khawatir adanya intimidasi*. Kini, tugas berat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaksimalkan sisa waktu untuk membenahi segala permasalahan sehingga pemilu punya daya pikat.
*Namun, tugas besar untuk meningkatkan partisipasi pemilih mestinya juga menjadi milik kontestan pemilu*. Itulah pekerjaan rumah bagi partai politik, para calon legislatif, serta kandidat calon presiden dan wakil presiden berikut dengan tim pemenangan (tim sukses) mereka. *Kini, mereka terkesan lebih sibuk menjual calon mereka dan melupakan kepentingan serta keinginan para pemilih*. Bahkan mungkin mereka tak terpikir untuk menarik hati pemilih melangkah ke TPS.
*Karena itu, mengubah model kampanye dengan lebih mengintensifkan ruang-ruang publik, menekankan pada aspek inovasi, visi, dan gagasan merupakan sebuah keniscayaan*. Itu akan berefek sangat baik untuk meningkatkan kuantitas partisipasi dan kualitas pemilu. *Hindarilah berkampanye dengan cara-cara usang, apalagi malah sibuk mempertengkarkan isu-isu receh karena hanya akan membuat orang yang malas mencoblos menjadi semakin malas dan orang yang apatis terhadap pemilu malah makin apatis.*
*BACA NASKAH LENGKAP:*
http://m.mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1609-menekan-golput
*LIVE STREAMING:*
http://m.mediaindonesia.com/streaming