Oleh : Weinata Sairin
_”Vox et praetera nihil. Itu (hanya) suara saja, lain tidak.”_
Dalam vokabulari masyarakat kita dari ungkapan pepatah yang dikutip diatas minimal ada dua kata yang sudah amat populer, yaitu kata “vox” dan “nihil”. Kata “vox” yang berarti “suara” acap kita dengar dalam percakapan di dunia politik dalam bentuk ungkapan “Vox populi, vox Dei” yang artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Pepatah ini dimaknai bahwa suara rakyat itu, betapapun kondisinya harus diapresiasi karena hal itu merupakan “suara Tuhan”.
Kata “nihil” yang telah masuk kedalam kosa kata bahasa Indonesia, diartikan sebagai “kosong”, “tidak ada apa-apa”, atau “tidak berhasil”. Beberapa contoh kalimat bisa memperjelas hal itu. “Tuhan Yang Maha Esa menjadikan sesuatu itu creatio ex nihilo”. Artinya sesuai dengan kesaksian Kitab Suci, Tuhan menciptakan segala sesuatu itu dari kondisi yang sama sekali kosong. Tidak ada bahan/materi yang tersedia. Berbeda dengan misalnya tukang tas dalam membuat tas : ada bahan kulit atau sintetis, ada lem, benang, gunting, dan sebagainya.
“Sudah dua bulan ia mengusahakan penjualan online bagi produk baru yang ia buat, namun hasilnya selalu nihil”. Penggunaan kata “nihil” dalam kedua kalimat diatas tadi amat jelas. Nihil, tiada hasil. Nihil itu hasilnya nol. Nihil itu sesuatu yang kosong, nir-benda.
Dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan secara berganti-ganti kata “nihil” dan “kosong” disesuaikan dengan konteks kalimat. Ada juga pepatah populer yang berbunyi “Tong kosong bunyinya nyaring”. Masyarakat umum memaknai pepatah ini sebagai” orang yang banyak bicara tetapi pengetahuannya sedikit.
Di zaman baheula ada ungkapan populer yang berkaitan dengan kata “omong kosong”. Ungkapan ini konon bermula dari akronim nama pribadi, yang di zaman itu hampir setiap hari bicara dengan materi dan konten yang berulang-ulang dan nyaris tanpa isi yang berbobot. Dalam konteks itulah lahir istilah hari-hari omong kosong, hari-hari yang diisi dengan kegiatan dan atau pidato yang hanya omong kosong.
Aktivitas “omong kosong” acapkali dikenakan kepada tukang obat, atau penjual obat (dulu misalnya yang terkenal banyak terjadi di pasar Senen atau pasar Jatinegara Jakarta). Penjual obat seperti itu menjajakan obatnya dipasar dengan suara keras, banyak yang menonton karena pidatonya menarik tapi hanya sedikit yang membeli obat itu karena obat itu menyembuhkan hampir semua penyakit! Banyak anggota masyarakat yang menjuluki tukang obat seperti itu hanya “omong kosong”. Pada tahun 70-80an tukang obat seperti itu banyak ditemui di pasar Senen atau Jatinegara.
Para kontestan dibidang politik yang dalam masa kampanye acap menjanjikan berbagai program untuk rakyat dimasa depan, sering juga dicap “omong kosong” oleh karena pada saat mereka terpilih ternyata mereka tidak mewujudkan janji mereka.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “Itu hanya suara saja, lain tidak”. Dalam kasus tertentu Suara itu memang amat penting dan menentukan. Dalam konteks pemilihan pimpinan, pilpres atau pileg maka suara itu amat diandalkan. Jika seseorang tidak didukung oleh suara terbanyak dalam menjalankan kepemimpinan maka ada banyak masalah yang bisa dihadapi.
Kita sebagai warga bangsa, sebagai umat beragama harus bersuara dan bertindak. Kita menyuarakan pentingnya keadilan, perdamaian, pemajuan HAM, Toleransi, Kemajemukan, Kebebasan beragama, penegakkan hukum, perlawanan terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan, perlawanan terhadap perdagangan orang, kita harus mendorong martabat manusia dijunjung tinggi.
Kita harus menindaklanjuti suara itu dengan tindakan, action, program, gerakan. Bukan hanya omdo, omong doang, bicara saja. Bersuara dan Bertindak itu harus menjadi komitmen kita pada level apapun. Kita harus berani mengubah paradigma berfikir kita demi terwujudnya dunia yang lebih baik. Kita harus berjuang keras mengubah yang nihil menjadi berhasil!
Selamat berjuang. God bless.