Jakarta, Suarakristen.com
Menyambut Hari Ibu 22 Desember, Kami, Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPP-RI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), dan Maju Perempuan Indonesia (MPI, gerakan pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak perempuan dalam politik) menghimbau segenap komponen bangsa untuk memaknai Hari Ibu sebagaimana gagasan yang mendorong asal mula hari yang kemudian diperingati sebagai hari ibu tersebut, yaitu Kongres Wanita Indonesia 22 Desember 1928.
Kongres Wanita Indonesia 1928 merupakan tonggak kebangkitan gerakan perempuan Indonesia yang diselenggarakan dua bulan setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kebangkitan semangat nasionalisme melalui Sumpah Pemuda, yang menjadi cikal bakal gerakan kemerdekaan Republik Indonesia, hanya bermakna apabila perempuan terbebas dari penderitaan di ruang publik maupun domestik. Kongres Wanita Indonesia 1928 merupakan ruang bagi gerakan perempuan Indonesia, untuk pertama kalinya menyuarakan berbagai permasalahan perempuan, antara lain perkawinan usia anak, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Ironisnya, setelah 90 tahun, kami mencatat bahwa berbagai permasalahan yang menjadi keprihatinan gerakan perempuan sejak 1928, masih saja terjadi. Misalnya isu perkawinan anak. Badan Pusat Statistik pada 2015 mencatat, 1 dari 5 perempuan usia 20-24 tahun pernah melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 18 tahun, dan prevalensi perkawinan usia anak di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Salah satu faktor masih tingginya perkawinan usia anak, ditengarai antara lain karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan 16 tahun sebagai batas usia minimal untuk memasuki perkawinan bagi perempuan. Ketentuan itu masih ditambah dengan aturan yang membolehkan dispensasi apabila usia perempuan belum mencapai 16 tahun.
Perkawinan usia anak sungguh nyata menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, antara lain terputusnya akses terhadap pendidikan, sehingga upaya untuk memperbaiki taraf kehidupan melalui pendidikan dan pekerjaan yang layak menjadi tertutup. Anak perempuan yang memasuki perkawinan juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena minimnya kemampuan bernegosiasi dengan pasangan, rentan mengalami kekerasan seksual karena ketidaktahuannya terhadap pola hubungan seksual yang sehat, dan rentan mengalami gangguan reproduksi karena berhubungan seksual di usia yang belum layak untuk berhubungan seksual.
Dengan mengingat berbagai dampak negatif perkawinan usia anak, kami mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI (MKRI) yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, yang memerintahkan pembuat undang-undang mengubah batas usia perkawinan bagi anak perempuan agar selaras dengan UU Perlindungan Anak. MKRI juga memberikan tenggat waktu selama tiga tahun agar Pemerintah dan DPR RI melaksanakan Putusan tersebut.
Kami menyerukan kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dan Kementerian Agama RI, untuk segera mengambil langkah-langkah untuk menindaklanjuti Putusan MKRI itu. Kami juga menyerukan kepada Komisi VIII DPR RI untuk bersama-sama dengan Pemerintah untuk segera melakukan revisi terbatas pada UU Perkawinan, yang berfokus pada amanat MKRI untuk mengubah ketentuan batas usia perkawinan bagi perempuan.
Kami memandang bahwa upaya untuk menaikkan batas usia perkawinan bagi perempuan dalam UU Perkawinan juga merupakan upaya untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Kekhawatiran orangtua dan masyarakat bahwa anak akan jatuh dalam pergaulan bebas dan melakukan zina harus diatasi dengan menanamkan pengetahuan seluas-luasnya mengenai apa itu kesehatan reproduksi dan seksual dan bagaimana berperilaku dan memperlakukan organ seksualnya dengan sehat. Di negara-negara yang mengajarkan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, pendidikan telah terbukti mampu menekan angka kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja.
Selaras dengan hal tersebut, kami juga menyerukan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang mengatur pemaksaan perkawinan sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Norma tindak pidana pemaksaan perkawinan itu disusun berdasarkan fakta adanya perempuan yang dipaksa untuk kawin sebagai pembayar utang keluarga, untuk mengubah perilaku, atau untuk menutupi aib keluarga. Padahal ketika seorang perempuan mengalami pemaksaan perkawinan, itu sama saja dengan melegitimasi hubungan seksual yang dipaksakan kepada perempuan, dan pemaksaan hubungan seksual itu sendiri sama dengan perkosaan.
Untuk memaknai Hari Ibu agar menjadi momentum untuk perbaikan nasib perempuan dan mengatasi permasalahan yang dialami perempuan, kami juga mengingatkan kepada masyarakat luas untuk menggunakan Pemilu Legislatif 2019 sebagai ruang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga pembuat UU dan meningkatkan jumlah wakil rakyat di parlemen yang bersedia bekerja keras untuk kesejahteraan masyarakat luas, termasuk perempuan. Gunakan hak pilih Anda untuk menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas, aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan menghormati setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Jakarta, 22 Desember 2018
GKR. Hemas, Ketua Presidium Nasional KPPRI
Dwi Septiawati Djafar, Ketua KPPI
Yuda Irlang, Koordinator MPI
Narahubung: Yuda Irlang 0856-1300449