*REFLEKSI ALKITAB*
Oleh : Weinata Sairin
_”Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan”_ (Roma 12:21)
Dalam vokabulari masyarakat kita, diksi ‘jahat’, ‘kejahatan’ dan atau ‘kekerasan’ telah sangat dikenal bahkan dalam berapa tahun terakhir ini dirasakan cukup meningkat penggunaannya. Kejahatan dan juga kekerasan dalam era teknologi sekarang ini lebih marak kejadiannya dan juga lebih banyak lagi variannya. Di zaman baheula, katakankah 50-60 tahun yang lalu yang disebut kejahatan itu belum begitu banyak variannya. Bentuk kejahatan di zaman itu misalnya rampok, maling, begal, copet (di stasion KA Jatinegara dan Senen terkenal copetnya!). Di zaman ini bentuk-bentuk kejahatan makin meningkat dan canggih. Ada kasus pembobolan bank/ ATM, perdagangan orang, penipuan melalui pembentukan lembaga keuangan, penipuan TKW/TKI, pembunuhan, perampokan mini market, korupsi, dan sebagainya. Meningkatnya kejahatan di zaman ini konon disebabkan karena ajaran agama tidak mampu menjadi pemandu etik umat, adanya kesenjangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.
Selain istilah ‘kejahatan’ sebuah istilah yang amat kental aspek pidananya, dalam beberapa tahun terakhir kita juga mengenal istilah “kekerasan”. Istilah ini menjadi amat populer dan mendapatkan semacam legitimasi juridis dengan keluarnya UU Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kemudian dikenal dengan UU KDRT. Undang-undang ini diterbitkan untuk menjawab persoalan yang acap muncul dalam masyarakat yang biasanya terfokus pada adanya eksploitasi laki-laki terhadap perempuan baik eksploitasi seksual maupun fisik yang menempatkan perempuan seolah berada dalam posisi yang direndahkan oleh kaum laki-laki.
Menarik sekali untuk mencermati istilah “kekerasan” itu dalam konteks yang lebih komprehensif. Karen Amstrong penulis terkenal, dalam bukunya “Fields of Blood” telah diterjemahkan Mizan tahun 2016, dalam buku setebal 684 halaman telah memberi uraian yang cukup sahih tentang adanya hubungan agama dengan kekerasan. Amstrong dalam bukunya ini dengan lugas menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat manusia tidak sepenuhnya oleh karena inspirasi agama tetapi lebih karena faktor-faktor ideologi dan politik. Ia menegaskan : “Sama sekali tidak benar bahwa ‘agama’ selalu agresif. Kadang-kadang agama justru yang mengerem kekerasan….” ( hlm 519)
Kejahatan, kekerasan dalam berbagai bentuk dan wujud telah menjadi bagian sah dari sejarah kehidupan manusia. Realitas itu terjadi diberbagai level dan dalam beragam frekuensi. Suka atau tidak suka baik kejahatan maupun kekerasan itu juga terjadi dalam kehidupan umat beragama. Kekerasan yang terjadi dalam kasus Kain dan Habil seperti yang diceritakan Kitab Kejadian acap dianggap sebagai referensi kasus kekerasan yang terjadi dalam Alkitab.
Roma 12:21 yang dikutip di awal Refleksi ini adalah bagian dari perikop yang oleh LAI diberi judul “Nasihat untuk hidup dalam kasih” (Roma 12:9-21). Paulus dalam Roma 9 mulai ayat 9 hingga 21 menekankan kepada Jemaat di Roma pentingnya kasih itu diwujudkan dalam hidup berjemaat. Kasih tidak boleh hanya menjadi jargon, identitas komunitas kristiani, tidak boleh hanya ada dalam dunia ide. “Kasih itu jangan pura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukankah yang baik” kata Paulus pada ayat 9. Imperatif itu lugas dan jelas sehingga tidak mungkin menimbulkan multi tafsir. Hampir seluruh ayat dalam perikop itu diungkap dalam bahasa yang mudah, amat praktis namun tidak meninggalkan makna yang dalam sebagai pengejawantahan dari ajaran Kristus dalam sebuah konteks historis tertentu. Kata-kata kunci “berkatilah siapa yang menganiaya”, “jangan membalas kejahatan dengan kejahatan”, “jangan membalas”, “hiduplah saling mengasihi” adalah sebuah pengulangan dari tema klasik yang menjadi tema kotbah Yesus dibukit, tema-tema yang membuat orang selevel Mahatma Gandhi mengapresiasi nilai-nilai kekristenan.
Penegasan dan pengulangan Paulus untuk mewujudkan kasih sejati dan otentik, bukan pura-pura, penting dalam konteks Jemaat Roma saat itu sebagai sebuah Jemaat majemuk yang hidup ditengah masyarakat yang sedang berkembang dan dinamis. Jemaat Roma yang kebanyakan berasal dari orang-orang Yahudi dan orang-orang yang dulu belum mengenal Allah perlu diingatkan Paulus tentang kasih, tentang berbuat baik kepada sesama agar kekristenan makin memancarkan sinarnya melalui Jemaat itu.
Hidup manusia di era apapun akan terus berhadapan dengan kejahatan. Kejahatan manusia makin canggih dan makin beragam. Pesan Paulus dalam ayat 21 ini amat menarik bukan saja karena mengandung permainan kata, tetapi isinya menantang umat untuk hidup berpadan dengan Injil Kristus. Umat harus menjauh dan “steril” dari kejahatan, jika umat dalam posisi itu maka ia tidak tunduk terhadap kejahatan, tidak menjadi pelaku kejahatan maka ia bisa mengalahkan kejahatan!
Kita yang hidup di era digital dikerumuni juga dengan berbagai bentuk kejahatan diberbagai sektor kehidupan. Pembunuhan, perampokan, kekerasan seksual, KDRT, kejahatan karena Sara. Kejahatan tidak hanya fisik, tetapi juga melalui on line, penerbitan regulasi yang bertentangan dengan HAM dan aneka bentuk lainnya. Di masa-masa Adven ini kita dingatkan untuk konsisten menampilkan kekristenan yang elegan, otentik, yang penuh cinta kasih, kekristenan yang tidak takut menyuarakan kebenaran, kekristenan yang mampu mengalahkan kejahatan.
Selamat Merayakan Adven II.
God Bless!