Oleh: Birgaldo Sinaga
Pada 16 Oktober lalu, DPR dengan hak inisiatif mengajukan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama. Artinya RUU ini lahir dari usulan DPR bukan dari pemerintah.
RUU ini lahir untuk memberi payung hukum bagi lembaga pendidikan agama seperti pesantren, madrasah, lembaga pendidikan teologia lainnya.
Dengan payung hukum itu akan ada pengalokasian anggaran yang digelontorkan negara. Tentu ini baik karena selama ini pendidikan pesantren dalam penganggaran tidak sama seperti pendidikan umum lainnya.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dialokasikan pada sekolah umum. Dana BOS misalnya yang dapat hanya yang terdaftar pada sekolah umum. Dengan adanya RUU Pesantren dan Pendidikan Agama ini, status pesantren bakal setara dengan sekolah umum dalam mendapatkan anggaran APBN.
Cara berpikir bagi-bagi alokasi anggaran agar semua lembaga pendidikan baik pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya mendapat hak anggaran ini sepertinya mau dipaksakan pada pendidikan nonformal seperti Sekolah Minggu Kristen dan katekisasi.
Niat membuat pasal ini mungkin baik. Dua pasal dalam RUU itu yaitu pasal 69 dan 70 memberi syarat minimum satuan pendidikan atau program dengan minimum peserta 15 orang. Kemudian di ayat 4 diberikan tekanan kalimat WAJIB mendapat izin dari kantor kementerian agama kabupaten/kota.
Unsur penekanan wajib ini tentu akan berdampak pada sanksi hukum kepada gereja yang tidak mendapat izin kementerian agama. Padahal sekolah minggu atau katekisasi itu adalah bagian tata cara peribadahan yang satu bagian dari pelayanan gereja.
Apa yang salah dalam usulan RUU ini?
Kesalahan elementer dari anggota DPR yang memasukkan pasal 69 dan 70 adalah ketidaktahuannya tentang apa itu sekolah minggu dan katekisasi agama Kristen. Ketidaktahuan ini akhirnya menyamaratakan sekolah minggu dan katekisasi seperti satuan pendidikan formal tentang belajar mengajar.
Proses belajar mengajar itu tentu punya syarat batasan peserta atau murid agar dapat mengajukan bantuan anggaran pendidikan kepada pemerintah. Syaratnya diatur dalam undang-undang seperti pasal 69 dan 70. Turunannya jika RUU ini disahkan akan diatur dalam PP UU Pesantren dan Pendidikan Agama.
Sekolah Minggu dan Katekisasi yang hendak diatur secara legalistik dalam UU ini adalah sebuah kekeliruan. Kedua pasal ini bisa menjadi jebakan Batman bagi pelayanan gereja. Bisa dipakai kelompok intoleran dan radikal dalam melabrak dan menghentikan kegiatan sekolah minggu atau katekisasi hanya karena tidak mendapat izin dari kantor kementerian agama.
Sumber permasalahan dalam pelarangan rumah ibadah selalu berpangkal dari alasan formal yang dicari-cari. Di Jambi baru-baru ini tiga gereja yang sudah berdiri 18 tahun dipaksa tutup hanya karena sulitnya mendapat izin IMB.
Akhirnya kelompok intoleran dengan mudah menekan pemerintah untuk menutup gereja. Pemerintah yang loyo ini terpaksa mengikuti kemauan kelompok intoleran karena takut ancaman demo dan tindakan main hakim dari kelompok intoleran ini.
Jika beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi hak dasar atau hak asasi manusia seperti ditulis pada UUD 1945 begitu sulit mendapat izinnya, bagaimana lagi dengan sekolah minggu dan katekisasi?
Jangan-jangan akan banyak laskar intoleran yang menghardik anak-anak balita dengan alasan menanyakan surat izin sekolah minggu dari kementerian agama. Jika sudah begini kepada siapa lagi anak-anak balita dan remaja ini mengadu?
Sudahlah Pak Bu Anggota DPR yang terhormat… Sekolah minggu dan katekisasi itu bagian dari tata cara ibadah masing-masing lembaga gereja.
Ada ratusan denominasi aliran gereka yang punya pelayanan sekolah minggu dan katekisasi. Itu bagian yang tidak terpisahkan dari ritual ibadah agama Kristen. Masak liturgi atau cara beribadah gereja mau kalian atur jumlah dan pake surat izin segala sih?
So.. Saya mohon kepada bapak ibu DPR jangan paksakan baju ke badan jika bajunya kegedean.. Jadi kedodoran.. Lucu dan terlihat jelek jadinya…
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga