PDT. WEINATA SAIRIN: *USIA TUA BERAKHLAK MULIA ADALAH PILAR BANGSA*

0
931

_”It is not the length of life, but the depth of life.”_ (Ralph Waldo Emerson)

Manusia yang berakal budi hidup dalam penjara-penjara; bukan hanya penjara (bahasa modern : lembaga pemasyarakatan) dalam arti ruang-ruang di Sukamiskin, Cipinang, Tangerang, Nusakambangan dan sebagainya, tetapi penjara dalam arti kotak-kotak yang menjadikan orang terisolasi dari konteksnya. Manusia hidup dalam penjara _kata_ dan _terminologi_, penjara *sara*, penjara ukuran-ukuran, penjara _angka-angka_ seperti yang pernah diungkap dengan cerdas oleh Anemarie Schimmel.

Penjara ukuran, nilai acap membawa orang pada sebuah debat yang panjang dan tidak terlalu edukatif bagi rakyat jelata karena mindset dan frame of refetence yang berbeda. Misalnya lontaran curhat bahwa “uang seratus ribu rupiah sekarang tidak lagi besar nilainya” telah dijadikan isu politik yang seolah ingin mempertontonkan kepiawaian sekelompok orang dibidang ekonomi mikro dan menafikan langkah-langkah pemerintah yang berupaya keras menghadang pelemahan nilai tukar rupiah, yang memang juga terjadi dibanyak negara. Pada perspektif politik kasus itu memang selalu bisa diberi banyak tafsir non-ekonomi dan menjadi entry point untuk menaikkan elektabilitas paslon yang baru.

Nilai, ukuran, politik seolah menjadi kotak-kotak dan ghetto-ghetto baru bagi sekelompok warga bangsa yang muaranya amat kontra produktif bagi sebuah NKRI yang majemuk. Bahwa sebagai pribadi kita punya pemaknaan sendiri tentang sebuah nilai, ukuran, peristiwa; dan kita juga termasuk/terhisab dalam suku, agama, ras, golongan, aliran, mazhab, afiliasi organisasi tertentu, ya benar. Tetapi realitas dan kondisi itu tidak boleh menafikan dimensi relasional kita sebagai makhluk sosial, dan tidak boleh menjadikan kita terkurung dalam penjara-penjara sebagaimana disebutkan diatas.

Sebagai makhluk sosial kita harus terus hidup dengan mengembangkan dimensi relasional dan menolak untuk hidup dalam penjara-penjara yang mengisolasi kita dari ruang sosial. Penjara bisa sebuah ruang, sebuah ghetto dan bisa juga sebuah terminologi yang kita beri makna sendiri secara ‘sempit’.

Acap jika kita bertemu orang lain dan atau ada yang meninggal maka kita biasanya menanyakan “berapa tahun umurnya”. Kematangan seseorang biasanya pertama-tama dikaitkan dengan “jumlah umurnya” dan bukan pada karyanya, kontribusinya bagi kehidupan yang lebih luas. Menarik ungkapan Ralph Emerson yang dikutip dibagian awal tulisan ini yang menyatakan bahwa yang penting bukan panjangnya kehidupan, tetapi pada _dalamnya_ kehidupan.

Apa yang dimaksud dengan _kedalaman hidup_ itu sebenarnya? Seseorang yang memiliki kedalaman hidup biasanya mengacu kepada orang- orang yang memahami makna hidup secara dalam yaitu mereka yang hidupnya taat hukum, taat ajaran agama, berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara, melakukan perbuatan baik dalam arti yang seluas-luasnya.

Mereka yang memiliki kedalaman hidup, _the depth of life_ pasti faham betul bahwa hidup itu fana dan terbatas, sebab itu seluruh masa hidupnya didayagunakan untuk menebar kebaikan; melakukan amal saleh, menabur cinta kasih menjauhkan diri dari melakukan ujaran kebencian, penodaan dan penghujatan agama, persekusi, pembunuhan karakter, memproduk berita hoax, meneror, membunuh dan perbuatan aib dan amoral lainnya.

Ungkapan Emerson penting bagi kita, setidaknya untuk mengingatkan agar kita tidak terpenjara pada  _durasi_, pada jumlah umur, tetapi memberi fokus pada _kedalaman hidup_ sehingga hidup kita sebagai manusia ciptaan Allah, benar-benar menampilkan sosok sebagai *khalifah Allah* dan atau *imago dei*. Sebagai umat beragama kita wajib melaksanakan hal itu dan dengan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa kita bisa dan mampu melaksanakan hal mulia seperti itu.

Selamat Berjuang. God Bless.

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here