SEDIKIT MASUKAN PROF. DR. WIM POLI TENTANG ISU MENGUATNYA DOLLAR TERHADAP RUPIAH : 

0
1209

TIDAK ADA KAMBING HITAM

Panik. Harga dolar meningkat, harga rupiah menurun. Beritanya viral. Karena panik, orang memborong dolar. Karena memborong dolar, harga dolar kian meningkat. Kepanikan bukannya menyelesaikan melainkan  justeru memperparah masalah. Muncul suasana saling menyalahkan.

Sepanjang sejarah terjadi gejolak ekonomi, yang melahirkan berbagai teori tentang penyebabnya. Ilmu Ekonomi membedakan penyebab internal dan eksternal. Penyebab internal berada di dalam sistem perekonomian sesuatu negara, dan penyebab eksternal berada di luarnya. Pernah, di masa lalu, ada teori yang mengatakan penyebab gejolak ekonomi adalah timbulnya bintik-bintik di permukaan matahari (“sun-spot theory”). Teorinya dikemukakan Stanley Jevons pada tahun 1875. Badai di permukaan matahari menyebabkan perubahan iklim, yang mempengaruhi produksi pertanian, kesenjangan permintaan dan penawaran, inflasi, dan pengangguran, dan sebagainya.

Tetapi, kini, di era Industri 4.0, tidak ada lagi perbedaan antara faktor internal dan eksternal. Segala sesuatu berkaitan dengan segala sesuatu, di dalam dan di luar negeri, dan tidak dapat dikendalikan oleh siapapun. Tidak ada satu teoripun yang paling benar, dan tidak ada seorangpun yang dapat mengendalikan semua faktor peneyebab gejolak ekonomi, termasuk orang yang bernama Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangannya, Sri Mulyani yang dijuluki menteri keuangan terbaik di dunia sekarang ini, maupun Donald Trump.

Karena gejolak ekonomi terjadi sepanjang masa, muncul  cabang ilmu pengetahuan yang mempelajarinya: teori konjungtur atau “business cycle theory.” Salah satu usaha besar untuk mempelajarinya ialah terbentuknya sebuah kelompok orang dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang menamakan dirinya “The Club of Rome,” pada tahun 1968. Berbagai karya telah dihasilkan oleh “The Club of Rome”. Salah satu karyanya, “The Limits to Growth” (1972), mengatakan bahwa  sumber masalah ialah meningkatnya permintaan terhadap pembangunan, yang mengancam kelestarian alam. Obat yang dianjurkannya ialah: “zero growth.” Tidak bertumbuh. Bertahan pada pertumbuhan nol persen. Siapa yang mau? Karya berikutnya berjudul “Beyond the Limits to Growth” diterbitkan pada tahun 1989. Di bawah judul ini dikemukakan resep pembangunan yang sudah dimodifikasi. Pembangunan dapat berkelanjutan jika dilakukan ini dan itu, dan seterusnya.

Salah satu obyek kajian The Club of Rome adalah karya Simon Kuznets (1901-1985), pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 1971, tentang siklus bisnis yang berulang dalam waktu 15-25 tahun. Siklus itu disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang kait-mengait. Dengan lain kata, siklus tersebut dapat diantisipasi tetapi tidak dapat dihindari dan sukar  dikendalikan oleh siapapun.

Pemikiran terus berkembang hingga ke Rio de Janeiro dan seterusnya, yang berbicara tentang pembangunan berkelanjutan. Masalah belum juga terpecahkan. Orang lalu beralih ke pemikiran alternatif: kearifan lokal untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Kini, di dalam era Industri 4.0, apa yang terjadi di Indonesia segera berpengaruh ke bagian dunia lainnya dalam hitungan detik. Divestasi saham Freeport, misalnya, pasti mengganggu Donald Trump di Amerika Serikat dalam hitungan detik. Dan, ketika Donald Trump menyatakan sebuah pendapatnya, pendapatnya itu menghasilkan gejolak ke  seluruh dunia, termasuk  Indonesia, juga dalam hitungan detik. Apakah yang akan terjadi di seluruh dunia jika dalam satu detik Amerika Serikat mengumumkan menaikkan atau menurunkan suku bunga Bank Sentralnya?

Kesimpulan: Segala sesuatu berhubungan dengan segala sesuatu secara cepat dan intensif di era Industri 4.0. Masalah apapun yang dihadapi, banyak faktor penyebabnya yang kait-mengait, yang tidak dapat diatasi dengan jalan “menyembelih seekor kambing hitam.”

Saran: Jangan panik. Tenang, waspada. Pasang telinga dan buka mata. Ubah tindakan dari waktu ke waktu secara hati-hati, dengan kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat. Kepanikan yang digoreng menjadi sajian politik pasti tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan mungkin sekali lebih memperparah keadaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here