_”He who believes is strong; he who doubts is weak. Strong convictions precede great actions”._ (J.F.Clarke)
Kita hidup dan menghidupi kehidupan ini tidaklah dalam sebuah ruang kosong dan hampa. Tak ada dinamika, _baik-baik_ saja, _cool_ dan berjalan lancar, mengalir dengan tenang ditingkah gemericik air yang membangkitakan aroma sensasional. Kita sejatinya dan sama sekali tidaklah hidup dalam sebuah dunia yang _steril_,yang ‘suci hama’ yang bersih putih, mulus, hygienis. Kita hidup dan menghidupi sebuah dunia yang riuh, gaduh, heboh, hitam legam bersalut aib; dunia yang di penuhi virus hoax, tipu daya, muslihat, intrik, konflik; sebuah dunia yang amis dan anyir oleh darah merah yang bersimbah di tubuh-tubuh tanpa dosa; dunia yang sarat dengan primordialistik dan diskriminatif.
Dunia yang kita huni kini telah berangkat menjadi tua, sepuh bahkan uzur, nyaris defisit hikmat, kekurangan nilai-nilai tali silaturahim, ketiadaan damai-sejahtera, minus keadaban yang bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai wisdom lokal.
Tahun 2018 ini, yang tentu akan berlanjut ke tahun 2019, diberi predikat “tahun politik” karena ada kegiatan pilkada serentak bulan Juni yang lalu, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang akan berlangsung pada tahun depan. Penetapan dan penyebutan ‘tahun politik’ telah mengubah kondisi sosiologis masyarakat Indonesia dengan berbagai dampak ikutannya baik positif maupun negatif. Diantara dampak yang amat terasa dalam kehidupan kita adalah bahwa isu politik telah menjadi tema-tema perbincangan warga masyarakat di semua level dan disemua tempat; banyak orang yang tiba-tiba saja menulis feature dalam kapasitas pengamat/analis politik dengan tinjauan yang bisa dibilang sumir. Politik telah (kembali) menjadi _panglima_ dinegeri ini, politik telah menjadi amat powerfull dan merembesi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk agama.
Demi pemenangan dan kepentingan politik, acap harga diri manusia tidak lagi dihargai, nilai-nilai moral, etik dan spiritual tereduksi serta tergerus habis .Tatkala politik telah (dilantik) menjadi panglima maka politik mau tak mau menjadi acuan, pertimbangan, dalam pengambilan keputusan. Maka perasaan, basa-basi, tenggang rasa, fatsoen dan entah apapun namanya tidak lagi mendapat ruang, panglima lah yang mendapat ruang dan sekaligus menetapkan ruang.
Dalam realita seperti ini agama-agama yang ada harus lebih menampilkan diri, mengartikulasikan ajarannya yang luhur, sakral transendental melalui para umat penganutnya. Posisi politik sebagai panglima yang mereduksi aspek-aspek kehidupan lainnya harus diluruskan ulang oleh agama-agama. Agama-agama harus makin keras dan lantang menyuarakan suara kenabiannya ditengah realitas kekinian, dan mendorong semua pihak untuk tidak memposisikan politik sebagai “panglima”.
Mengacu pada pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini, maka dalam kondisi seperti ini seorang harus kuat dan memiliki keyakinan terhadap setiap sikap dan keputusan yang sudah diambil. Jangan ragu dalam menghadapi realitas karena keraguan akan membuat kita lemah. Menurut Clarke, ketegasan dan keyakinan akan bisa melahirkan tindakan besar.
Keyakinan terhadap agama yang dianut, ideologi negara, cita-cita bangsa harus makin kuat tertanam dalam kedirian kita sebagai bangsa sehingga sebagai bangsa kita mampu menghadapi realitas kekinian dengan tegar dan iman yang kukuh.
Mari kita terus berjuang mengembalikan politik kepada “tupoksi”nya dan tidak lagi menenempatkannya sebagai panglima. Agama-agama harus “menguduskan” politik sebagai media untuk menata kehidupan kota, bangsa dan negara menuju masyarakat yang adil, damai dan sejahtera.
Politik juga adalah seni, seni dalam memanage kota, _polis_. Politik bukan instrumen dan media untuk membangun permusuhan, untuk membeli kebenaran, untuk membangun dinasti, untuk mendesakralisasi agama, untuk membunuh karakter. Politik itu suci, melalui politik itulah Tuhan mengamanatkan manusia menbangun bangsa dan negara yang berkeadaban.
Selamat berjuang God bless.
*Weinata Sairin*