PDT. WEINATA SAIRIN: HIDUPI HIDUP KERAS DENGAN HUMOR DAN TIDAK DENGAN RUMOR

0
994

“Nec lussise pudet, sed non incidere. Jangan malu untuk bergurau tetapi hendaknya jangan menggores hati (orang lain)”.

Sejatinya hidup itu selalu menimbulkan _amazing_, hidup itu mempesonakan dan menggairahkan. Tidak terlalu tepat jika dikatakan bahwa hidup itu adalah sesuatu yang kering, monoton, klise membuat orang _boring_. Hal itu amat tergantung dari cara pandang, angle, paradigma yang digunakan untuk memahami dan atau menikmati kehidupan itu. Mengapa kehidupan itu selalu _amazing_ dan mempesona bahkan menggairahkan? Ya tentu karena setiap hari itu selalu berbeda nuansanya, beda _view_ nya, beda pengalamannya. Tak pernah ada yang persis sama yang terjadi hari-hari yang kita jalani.

Setiap hari itu selalu datang dan hadir berbeda dalam kehidupan kita, sebab itu mengapa kita selalu merindukan datangnya hari esok, hari yang baru. Kita selalu berucap penuh harap : “jika tidak hari ini, tentu esok akan kita peroleh”.

Selaku umat yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, setiap hari kita berdoa agar esok hari ada kehidupan, ada rezeki, ada berkat dan karunia yang dianugerahkan Tuhan sehingga kita bisa survive, bahkan bisa melanjutkan karya kita dengan baik dan optimal.

Bukan saja mindset, cara pandang, paradigma berfikir yang bisa membantu kita agar kita selalu mampu memaknai kehidupan itu secara baru, sehingga kita tidak tenggelam dalam sebuah lubang yang pengap, ada cara lain yang juga biasanya cukup menolong. Cara itu adalah _bergurau_, mengungkapkan humor, berguyon, mengucapkan narasi-narasi jenaka.

Menurut para ahli sense of humor itu penting diberi perhatian dalam kehidupan yang keras seperti sekarang ini sehingga kita bisa tetap survive, tidak stress dan panik serta bebas dari obat-obat anti depresan sejenis alprazolam dan turunannya. Dengan adanya rasa humor maka kecewa, galau, marah, sedih bisa sedikit terobati. Ada cukup banyak bentuk/jenis humorbkata para ahli, antara lain humor _sarkastis_, humor _kreatif_, humor _intelek_, humor _narsis_. Jenis-jenis humor itu terlihat dari kontennya dan penyampaiannya agaknya disesuaikan dengan segmen marketnya. Humor sarkastis, misalnya “Wah anda makin gemuk dan berisi bodynya, sering _disuap_ ya?”

Humor intelek, high joke, biasanya amat menggunakan logika  dan istilah-istilah/terminus tehnikus disuatu bidang yang hanya dikenal dilingkup terbatas. Misalnya “pasti anda mendapat suara terbanyak nyaleg di Dapil X, kan di daerah itu seluruhnya sudah menikmati program CSR anda!”

Dalam masyarakat kita, beberapa nama pelawak amat populer misalnya Bing Slamet, Warkop, Jojon, untuk menyebut beberapa nama. Pada waktu-waktu yang lalu ada grup-grup lawak (lokal) yang materi lawakannya terstandar dengan mengeksploitasi fisik manusia, atau suku tertentu. Di masa kini materi seperti itu sudah hampir tidak lagi digunakan, apalagi dengan tampilnya “genre” baru dalam humor seperti stand up comedy dengan tokohnya Ernest Prakasa, Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono.

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan agar kita jangan malu bergurau tapi jangan menggores hati orang lain. Tentu ada “etik” bergurau, ada materi-materi yang tidak layak menjadi bahan gurauan. Hal-hal tentang ajaran agama, ideologi negara, hal-hal mendasar tentang kebangsaan (UUD, dll); keragaman suku, tidaklah pantas menjadi bahan gurauan, bahan humor apalagi di ruang publik. Agaknya perlu dipikirkan oleh organisasi pelawak, atau oleh tokoh Stand Up Comedy Indonesia semacam kode etik atau “code of conduct” dari para komika, sehingga gurauan para komika itu benar-benar bisa melahirkan tertawa lepas yang sehat dan segar, serta tidak melukai warga bangsa yang majemuk.

Sebagai umat beragama kita semua pasti merindukan agar ajaran agama, nilai luhur agama disampaikan kepada umat dengan cara yang segar, bahasa standar, elegan dan tidak kaku serta dogmatis dengan narasi yang bisa difahami umat. Setiap agama pasti sudah memiliki semacam Prosedur Operasi Standar/SOP bagaimana tausyiah, kotbah disampaikan kepada umat dengan baik dan tidak menyimpang dari aturan agama. Bagaimana narasi yang sakral-transendental yang bicara tentang hidup didunia sekarang dan dunia yang akan datang itu dapat disampaikan dengan baik; yang muaranya adalah bahwa umat membarui diri sesuai dengan kotbah/tausyiah yang ia dengar.

Mari kita hidupi kehidupan yang keras dan berat ini dengan mengembangkan “sense of humor”. Hal ini tidak berarti kita melarikan diri dari kenyataan lalu “bersabu dan fly”. Kita justru sebagai manusia ciptaan Allah disuruh masuk kedalam dunia untuk mengelola isi bumi ini demi kemaslahatan umat manusia. Pengembangan sense of humor bukan dalam arti menyederhanakan masalah, bertindak “easy going”, tetapi bagaiamana mendekati masalah dengan sukacita, gembira; joyfull, humor dan jenaka tanpa raut wajah berkerut dan sangar yang tidak bersahabat.

Selamat berjuang. God bless.

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here