PDT. WEINATA SAIRIN: MENIMBA MAKNA DARI SETIAP PERISTIWA

0
1143

 

_”Quae nocent docent. Apa yang merugikan juga memberi pelajaran”_

 

Hidup manusia diperkaya dan dipermatang oleh berbagai peristiwa yang menyinggahi kehidupan itu. Ada awan duka menggantung dilangit hitam, ada air mata yang mengucur membasahi lorong-lorong kehidupan; ada simfoni sukacita membahana serta tawa ria mengguncang ruang-ruang kehidupan. Baik awan duka maupun semilir angin sukacita yang hadir menjadi bagian dari perjalanan kehidupan kesemuanya memberikan pematangan dan penguatan bagi sebuah tatanan kehidupan.

 

Kedua aspek dari sebuah kehidupan yaitu kedukaan dan kegembiraan harus disyukuri kehadirannya dalam memperkaya kehidupan. Sosok manusia yang menghadapi kedua aspek itu dan menerimanya dengan ikhlas dan tawakal akan menjadi sebuah pribadi yang kuat dan mandiri, yang mampu menghadapi berbagai kenyataan hidup dengan gagah berani.

 

Banyak sekali dan beragam-ragam peristiwa duka dan kemalangan yang terjadi dalam sejarah manusia. Ada kasus-kasus tertentu yang dialami manusia dan mempengaruhi kejiwaannya sehingga ia mesti dicekam pengalaman traumatik. Realitas itu sangat kontra produktif dalam kehidupan seseorang. Kasus-kasus seperti itu biasanya amat erat dengan kapasitas pribadi. Misalnya pernah terjadi di dunia nyata (bukan fiktif dan dunia maya) seseorang yang akan dilantik untuk kenaikan pangkat tiba-tiba ia diganti oleh orang lain, karena soal *agama*. Ini adalah pengalaman traumatik yang disebabkan karena negara berfihak kepada sesuatu agama. Sejatinya tindakan negara tidak boleh berbasiskan agama apalagi dalam konteks rekrutmen, harus dikedepankan kompetensi, profesionalisme, pengalaman, pendidikan; bukan soal agama, suku, berdarah biru dan seterusnya.

 

Tapi itulah yang banyak terjadi di negeri ini yang pada sisi lain hal tersebut bisa dimaknai sebagai tindakan diskriminasi dari negara terhadap warganya sendiri. Bisa juga pengalaman buruk terjadi pada seseorang dalam konteks studi (lanjut). Seseorang sedang menjalankan tugas di sebuah organisasi dengan dukungan/rekomendasi dari institusi tempat ia aktif memberi kontribusi. Pada suatu saat ketika dibuka program studi  di lembaga pendidikan tinggi tak jauh dari kantornya, ia berkeinginan untuk ikut dalam program itu. Hingga dua kali pimpinan institusi berganti, institusi itu tidak mau memberikan rekomendasi studi bagi orang itu bahkan hingga usia uzur dan tak mungkin lagi mengikuti program studi lanjut seperti itu. Realitas seseorang tidak didukung untuk studi lanjut dan itu sejatinya terjadi karena sikap *iri hati* dari pimpinan institusi bisa menjadi pengalaman traumatik bagi seseorang.

 

Kasus-kasus kematian di rumah sakit terutama sekali akibat kelalaian tenaga medik, kelambatan tindakan dan atau terjadinya malpraktek menimbulkan pengalaman traumatik bagi banyak orang. Hal yang cukup membahayakan dari segi psikologis adalah ketika pihak keluarga dari korban malpraktek tidak mau lagi berhubungan dengan rumah sakit tersebut bahkan untuk datang ke rumah sakit itupun ia merasa tidak kuat. Kesemua pengalaman buruk yang pernah dihidupi seseorang baik traumatik maupun tidak memberikan pelajaran penting bagi kedua belah pihak. Dari satu sisi pengalaman buruk dan traumatik itu itu adalah sebuah “kerugian”; fisik, mental, dana, waktu terkuras habis, bahkan bisa juga harus dibayar dengan kematian. Namun pada sisi lain kesemuanya memberikan pembelajaran yang memadai bagi banyak orang terutama pihak terkait. Pembelajaran adalah sesuatu yang mahal dan berguna bagi kehidupan manusia. Seseorang akan tampil di pentas kehidupan dengan lebih mandiri, self confident, *mature* sesudah mengalami duka dan tawa dalam hidupnya. Selalu ada “blessing in disguise” pada setiap episode kelam dalam sebuah rentang kehidupan. Kita sendiri harus cerdas, cermat dan tajam menggalinya : apakah ‘lesson learn’ yang kita peroleh dari setiap pengalaman hidup!

 

Pepatah kita menyatakan “apapun yang merugikan juga memberi pelajaran”. Kita tidak menginginkan  kerugian, pengalaman buruk atau hal negatif dalam sejarah kehidupan kita. Tetapi realitas itu tanpa kita kehendaki bisa saja terjadi. Kita harus menggali adakah nilai edukatif dan positif pengalaman buruk itu bagi hidup kita. Sebagai umat beragama kita akan terus memohon kekuatan dari Tuhan ketika kita berhadapan dengan kesulitan dan pergumulan hidup. Makhluk fana selalu hidup dalam penyerahan diri penuh kepada Sang Khalik. Itu adalah sesuatu yang bersifat aksiomatis dan definitif. Mari terus tiada henti berserah kepada Dia, “surrender to God”. Tak ada pilihan lain.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here